Pameran lukisan bertajuk Ratu Adil ini diadakan di ruang pamer Bentara Budaya Yogyakarta pada 25 Januari sampai 4 Februari 2024 yang selanjutnya diperpankang hingga 10 Februari 2024. Pameran tunggal ini memamerkan karya dari seniman rupa senior asal Yogyakarta, yaitu Budi Ubrux.Â
Tidak semata pameran seni rupa, opening pameran ini berbarengan dengan peluncuran buku karya Romo Sindhunata berjudul "Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Perlawanan Wong Cilik" yang menjadi fondasi gagasan dari pameran tunggal ini.Â
Pameran yang dikuratori oleh Agus Noor dan didukung oleh Ohana Gallery ini menampilkan 8 karya lukisan, 40 karya drawing, dan 1 karya instalasi.
Melalui karya-karyanya, Budi Ubrux menggambarkan berbagai potret masyarakat kecil - digambarkan kebanyakan petani - yang kental dengan perlawanan mereka terhadap penindasan pada era kolonial Belanda hingga kelahiran Marhaenisme.Â
Di dalam gambaran masyarakat kecil yang lekat dengan kelelahan, keletihan, dan kekecewaan akibat penindasan, seperti beberapa karya yang menggambarkan situasi kerja rodi dan tanam paksa, Budi Ubrux juga menggambarkan simbol-simbol harapan masyarakat akan situasi yang lebih baik di mana mereka lepas dari penindasan - yaitu representasi dari Ratu Adil itu sendiri.Â
Dalam menggambarkan harapan dan perlawanan terhadap penindasan tersebut - dengan minim potret anarki - Budi Ubrux dengan estetis mengemasnya dalam berbagai simbol seperti ayam, elang, kerbau, bahtera Nabi Nuh, tokoh-tokoh Buddha, wajah Yesus, figur Thomas Muntzer, figur Bung Karno, dan simbol-simbol lainnya. Variasi simbol-simbol yang digambarkan itu mencerminkan luasnya referensi si seniman dalam memaparkan semesta humanisme Ratu Adil ini. Simbol-simbol yang digunakan pun mencakup berbagai lapisan: dari yang universal seperti tokoh Buddha, bahtera Nabi Nuh dan wajah Yesus, hingga yang sangat otentik dan khas Indonesia seperti semedi Pangeran Diponegoro muda, Nyai Roro Kidul, dan tokoh-tokoh legenda cerita rakyat Indonesia lainnya.
Hal yang menarik - terutama pada kedelapan lukisan tersebut - adalah penempatan spesifik masing-masing lukisan yang seolah menceritakan isu secara kronologis: lukisan-lukisan yang mencerminkan penindasan, perjuangan melawan ketidakadilan, hingga lahirnya Marhaenisme yang disimbolkan figur Bung Karno dalam sebuah lukisan.
Beberapa lukisan yang berdimensi besar sekali (4 x 2 meter) dan bernuansa realis figuratif menciptakan kesan kolosal, masif, epik, dan mungkin dapat membuat audiens merinding jika memperhatikan karya-karya tersebut secara close-up.
Budi Ubrux yang dikenal dengan visualisasi orang-orang yang dibalut kertas koran, kali ini menampilkan figur-figur lain diluar style figuratifnya tersebut. Meskipun dalam beberapa karya, gaya dibalut kertas koran yang menjadi ciri khasnya itu tetap stand out.Â
Gaya ini terlihat jelas dalam satu karya instalasi kriya kayunya berupa orang-orang yang berkumpul mengitari satu figur ayam. Gaya figuratif dibungkus koran ini mengesankan bahwa tiap figur memiliki cerita mereka masing-masing.
Budi Ubrux sangat banyak menggunakan figur ayam jago dalam karya-karyanya di pameran ini. Berdasarkan pengantar pameran yang ditulis Agus Noor, figur ayam jago menjadi simbol harapan, simbol yang lekat dengan Budi Ubrux dan menggambarkan dari mana Budi Ubrux berasal, serta simbol yang menegaskan representasi Ratu Adil itu sendiri. Simbol ini pun ditemui dalam salah satu lukisan yang dijadikan cover buku Ratu Adil.
Pameran yang sudah dipersiapkan selama lebih dari satu tahun ini akan selalu relevan dengan situasi politik Indonesia, apalagi situasi politik terkini.Â
Menariknya, pameran lukisan yang telah dipersiapkan sejak Desember 2022 ini diluncurkan bertepatan dengan musim debat capres yang membahas kompleksitas konflik agraria, termasuk masyarakat-masyarakat yang menjadi korban konflik tersebut.
Diselenggarakannya sebuah pameran seni rupa kurang sahih jika tidak dibarengi katalog yang baik. Hal yang menarik dari katalog pameran Ratu Adil ini adalah pemaparan oleh Romo Sindhu, Agus Noor, dan beberapa tokoh lain mengenai kedalaman konsep, dinamika proses kreatif, dan pembahasan mendalam soal berbagai simbolisme pada karya-karya Budi Ubrux dari segi sejarah, ideologi, sudut pandang kreatif, serta kisah-kisah dan berbagai cerita rakyat yang menyertainya.
Melalui satu buah pameran ini, audiens dibawa untuk dapat menjangkau cakrawala humanisme yang lebih luas. Tidak heran katalog dari pameran Ratu Adil ini 127 halaman.
Menurut saya, selain relevansi, delivery atau penyampaian gagasan Ratu Adil dalam karya-karya Budi Ubrux ini dilakukan dengan gaya yang halus, jauh dari nuansa anarki dan kekerasan.Â
Hal ini penting karena pameran ini menampilkan wajah seni rupa bernuansa politik akar rumput - mungkin bisa saja dikategorikan artivisme - yang tidak melulu lekat dengan visualisasi anarkis, destruktif, penderitaan berdarah-darah, ataupun secara langsung mendiskreditkan tokoh-tokoh elit politik tertentu. Jika merefleksikan materi pameran ini, audiens bisa saja membayangkan bahwa rakyat Indonesia masih mengalami penindasan, hanya saja penjajah era kolonial Belanda saat ini telah menjelma menjadi penguasa berpanji kapitalisme.
Karya-karya pameran Ratu Adil ini tidak seperti karya-karya di beberapa pameran lain yang menggiring audiens untuk melihat pemandangan getir berdarah-darah atau secara langsung menyalahkan pemerintah karena sifat seperti itu malah menjauhkan fokus kita pada potret masyarakat yang nelangsa, yang kelelahan, namun tetap mau memiliki perlawanan dengan cara bertahan (seperti judul salah satu lukisan: Melawan dengan Bertahan), dan tetap mau memiliki harapan untuk situasi yang lebih baik.
Eksekusi teknis Budi Ubrux yang rapi dan epik menambah kecintaan saya pada pameran ini. Namun yang utama adalah pameran ini memperkaya pengalaman audiens dalam menikmati pameran seni yang esensial, humanis, dan berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H