Jadi saya ingin bercerita sedikit. Akhir-akhir ini saya merasa agak prihatin. Beberapa teman dekat saya kerap membahas bagaimana lingkaran sosial toxic mempengaruhi kehidupan sehari-hari banyak orang. Dalam obrolan-obrolan tersebut, kami banyak berempati terhadap teman-teman yang terjebak dalam lingkaran pertemanan, hubungan pacaran, maupun pernikahan yang toxic. Bahkan, ada juga yang terjebak dalam keluarga yang toxic.
Hal ini memang bukan hal baru lagi dalam kehidupan sehari-hari. Namun, terjebak dalam lingkaran toxic dapat mempengaruhi banyak aspek, seperti kualitas hidup, kebebasan individu, bahkan kebahagiaan personal.
Beberapa obrolan tersebut pada akhirnya memiliki pola: mereka terjebak pada lingkaran yang toxic karena mereka menempatkan faktor penunjang kebahagiaan mereka pada orang lain yang merugikan atau mengganggu mereka secara psikis. Dengan kata lain, mereka membiarkan orang-orang yang merugikan untuk tetap masuk di ranah pribadi mereka dengan alasan-alasan tertentu.
Salah satu obrolan membawa saya pada pembahasan tentang loneliness. Beberapa orang yang saya kenal secara pribadi ternyata kerap merasa kesepian, meskipun mereka hidup dalam lingkaran sosial yang dinamis dan pola kerja yang aktif, terutama di kota-kota besar. Salah satu masalah utamanya adalah kita terbiasa untuk menempatkan prestasi dan pencapaian eksternal sebagai tolok ukur personal well-being dan faktor penunjang kebahagiaan. Tidak ada yang salah dengan itu, namun hal itu dapat menjadi malapetaka jika hal tersebut menjadi faktor signifikan atas alienasi diri kita dari proses reflektif dan komunikasi intrapersonal terhadap diri sendiri. We may feel like we have to keep up with our peers and sometimes we sacrifice beyond our capacity for it. Mungkin juga hal ini membuat kita mengalokasikan uang, energi, dan waktu yang kita tidak punya untuk sesuatu yang bahkan kita tidak terlalu pahami esensinya bagi kita.
Terkadang, kita membutuhkan orang lain seperti teman, sahabat, maupun pasangan untuk merasa diterima. Jika tidak ada orang-orang ini, mungkin kita merasa bahwa kita tidak mendapatkan validasi atas apa yang kita lakukan. Maka, terkadang kita tidak merasa terlalu nyaman dengan kesendirian - apalagi dalam masa dewasa. Dianggap sendirian, tidak punya teman, tidak punya pasangan, maupun anggapan-anggapan negatif lain dapat menjadi neraka bagi sebagian orang - meskipun tidak sedikit dari mereka yang sadar bahwa anggapan-anggapan tersebut datang dari audiens imajiner. Mungkin terdapat lebih banyak lagi suara-suara negatif, yang dapat saja datang dari masa lalu maupun ekspektasi berlebihan yang datang dari lingkungan sosial. Suara-suara negatif tersebut dapat membuat kita merasa tak nyaman jika sendirian.
Saya tidak akan membahas secara panjang lebar mengenai bagaimana seseorang dapat menghadapi atmosfer negatif dari kesendirian tersebut. Saya sedikit membahas gambaran besar dari bagaimana kebutuhan atas validasi dan atmosfer negatif atas kesendirian tersebut dihadapi. Saya rasa, faktor penting dari keadaan mental yang baik adalah proses komunikasi intrapersonal yang baik. Singkatnya, komunikasi intrapersonal adalah pola komunikasi dalam diri seseorang. Dalam komunikasi intrapersonal, terjadi proses memikirkan, merasakan, dan merefleksikan peristiwa-peristiwa dalam diri seseorang. Seseorang dapat berperilaku berdasarkan persepsi-persepsi yang dihasilkan dari komunikasi intrapersonal tersebut.
Dalam proses komunikasi intrapersonal, sistem etika atau kemampuan seseorang dalam membedakan benar dan salah juga terbentuk. Setidaknya, keputusan-keputusan yang baik, bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, merupakan buah dari proses komunikasi intrapersonal yang baik pula - diluar persepsi etika berdasarkan norma sosial tertentu. Pada akhirnya, bagaimana seseorang memilah baik buruknya suatu hal dan bagaimana seseorang mengambil keputusan terkait hal tersebut - termasuk kebutuhan atas validasi dan atmosfer negatif atas kesendirian - merupakan produk pembentukan etika dan proses komunikasi intrapersonal yang meliputinya.
Pun, sistem etika seseorang dapat saja berubah seiring bertambahnya usia dan berkembangnya keadaan psikologis. Maka dari itu, sistem etika seseorang ketika masih remaja dan ketika sudah dewasa pasti berbeda. Apalagi teman-teman yang menghadapi quarter life crisis maupun midlife crisis yang kompas moralnya sedang diuji.
Sembari menulis entri blog ini, saya pun perlahan menyadari bahwa saya gemar menyendiri dan jumlah teman saya tidak habis jari tangan kaki. Saya tumbuh dewasa tengan keadaan demikian, sehingga saya dapat menerka titik keseimbangan ideal yang sebaiknya saya capai. Saya rasa ada baiknya jika kita memiliki sistem etika yang otentik dan dapat membuat keputusan yang ideal bagi diri kita sendiri dan orang lain. Pada akhirnya, semua ini dilakukan demi perayaan sebuah kehidupan yang indah dan petualangan agung yang epilognya masih misteri.
Ditulis dengan resah,
Yogyakarta, Minggu 8 Mei 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H