Mohon tunggu...
Bertold Gerry
Bertold Gerry Mohon Tunggu... Freelancer - Membaca dan menulis sebagai rekreasi.

Membaca dan menulis sebagai rekreasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Microwave - Sebuah Cerpen

3 Agustus 2020   15:31 Diperbarui: 3 Agustus 2020   15:39 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Toh, kalau dia memilih untuk megakhiri hidup, siapalah aku yang merasa berhak dan berlegitimasi penuh atas dasar ultimatum norma sosial, mematahkan keputusannya dan segala pertimbangan-pertimbangan yang melatarbelakangi eksekusi keputusan pribadinya yang personal tersebut? Ya, aku memang tidak ingin mati juga, tapi dengan pemikiran-pemikiran...ah entah aku jadi pusing sendiri. Aku ingin peduli tapi tidak ingin mencampuri urusan orang lain.

Sambil melihat-lihat kendaraan yang lewat, aku jadi berpikir. Toh orang-orang yang lewat itu juga kehidupannya jelas, dalam artian kehidupannya yang penting dapat bertahan hidup, mungkin mereka menikah, atau bisa menyenangkan orang tua, atau anak, atau keluarga, atau apalah. Mungkin mereka pikirannya kompleks, punya visi hidup sendiri yang dengan jelas mereka ketahui bagaimana mencapainya langkah demi langkah. 

Atau juga mereka hampa, ada suatu hal yang kurang dalam hidup, namun mereka tak tahu apa yang kurang. Hanya merasa kurang saja, tapi entah bagaimana mereka mencarinya dan memenuhi rasa kurang itu. 

Dinamika psikologis dalam diri kita, sulit juga dijelaskan karena banyak faktor. Memang tidak bisa juga kita lalu tanpa ada angin dan hujan, terus lalu langsung bisa memahami segala hal dalam diri kita secara komprehensif dan penuh kesadaran. Kan, selalu dibutuhkan waktu dan proses untuk menengok ke dalam.

Toh, gampangnya saja, dunia terus berjalan, dengan ada atau tidaknya kasus-kasus seperti ini. Ini kenyataan, hidup itu berharga, tapi kesannya seperti ada yang lebih berharga dari hidup kalau kasusnya seperti ini, apapun itu. 

Esensi kehidupan itu pun, bisa menguap seperti tidak pernah terjadi apa-apa dalam beberapa situasi serupa ini. Toh, apakah iya, kita benar-benar paham apa yang terpenting dalam hidup kita, jika di depan mata melihat kasus sepert ini?

Kembali ke dalam rumah, aku berpikir, bagaimana sebaiknya aku mendoakan temanku ini. Sekilas, kutatap microwave itu...sepertinya akan aku jual saja. Tapi terdapat cerita yang terkandung dalam history benda itu. 

Yah, memang, tanpa aku peduli dilema yang ada dalam kisah itu, aku tidak mau terbawa oleh emosiku sendiri. Aku butuh microwave ini, sehingga daging yang hendak ku santap bisa matang, tanpa harus kupikirkan kisah-kisah pemilik sebelumnya yang mempengaruhi kegiatan makanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun