Malam ini aku pulang dengan membawa spaghetti instan dari minimarket dekat rumah. Aku tidak sempat masak yang rumit, jadilah aku makan itu. Sambil makan, aku lihat di seberang meja ada microwave. Aku membelinya sekitar sebulan lalu, dengan sebuah cerita yang melekat pada benda itu.
Microwave itu milik seorang kolega di kantor, aku beli secara tidak sengaja waktu aku main ke rumahnya.
"Wah, kamu punya dua microwave sekarang? Yang ini berapaan harganya dulu kamu beli?" sambil aku tunjuk microwave miliknya yang lama.
"Oh itu...aku lupa, browsing aja coba. Hmmmm atau gini aja, kamu mau beli ga? Aku jual deh ke dirimu, setengah harga aja. Soalnya aku bakal pake yang baru, yang itu ga aku pake lagi."
"Setengah harga? Yakin? Ini dulu kamu beli mahal lho."
"Udah gakpapa, itu bawa dulu aja, entar kapan tinggal transfer, beres, santai."
Jadilah microwave itu pindah rumah.
Sambil mengunyah, ku ingat-ingat, ternyata hari ini adalah minggu kedua setelah pemilik pertama microwave itu berpulang. Ia memutuskan mengakhiri hidupnya.
Aku kira kolegaku ini baik-baik saja. Di tempat kerja ia adalah orang yang ramah dan baik. Aku sendiri beberapa kali ditraktir makan, sampai kami pernah berdebat kecil siapa yang mentraktir siapa. Tapi memang, dia tidak terlihat depresi atau semacamnya. Ia cukup terbuka dengan lingkungan sosial, tidak melanggar norma sosial apapun, benar-benar dapat mengikuti arus dengan normal. Dia tidak terlihat aneh sama sekali.
Sepengetahuanku, dia belum menikah dan ia tinggal sendiri di rumah kontrakan daerah pinggiran kota besar ini. Kontrakannya bukan daerah kumuh juga, lingkungannya cukup berada.Â
Di usia 30 awal, orang kelas menengah seusianya sedang menikmati karir atau menikmati pernikahan. Teman-temannya yang aku kenal juga tidak bisa memberi banyak keterangan. Yang diketahui dari kejadian berpulangnya adalah jasadnya ditemukan setelah aroma tak sedap tercium tetangga sebelah kontrakannya.Â