Di bibir laut Jawa yang lidahnya menjulur basah
Tersapu ludah payau berkelindan di relung akar-akar bakau
Sepotong puisi melarung butir-butir pasir abrasi
Tergerus kerinduan akan hangatnya matahariÂ
Hembusan angin laut terasa kering tanpa bulirÂ
Ledakan magma terburai melontarkan lava separuh daya
Tertampar keliaran, titik didih raksa meronta-ronta
Hijau memang hijau, gersang membakar bebatuan
Cadas mengeras dengan pecahan tajam tak beraturan
Menancap kuat-kuat pada nurani yang sekarat
Merajam perlahan di sekujur kelelahan yang tertelan
Kegelapan di ujung harapan, meronta kelopak mata
Meruntuhkan rasa, ah, awan hitam memayungi kemuraman
Sebentar lagi hujan, meski tak pernah diharapkanÂ
Sebab riuh kerosak dedaunan menampar-nampar gendang telinga
Dengan gending-gending lawas yang kini kehilangan jejaknya
Entah ke mana kosakata, penuh majas perumpamaan
Tergantikan oleh ungkapan liar dari belantara kataÂ
Frasa-frasa telah kehilangan hati dan perasaanÂ
Meloncat-loncat lapar dengan tarian zumba yang menyurutkan langkah
Ke lidah ombak, datanglah segala kebencian yang melegam
Dengan mantra-mantra doa sepanjang perbatasanÂ
Kelokannya meluluhlantakkan kebencian, melebur melebarkan layar-layarÂ
Berkibar, berkibar di lepas samuderaÂ
Mengangkangi segala kesombongan
Separuh hidup berlutut, melarung kebencian bersama tabir taburan cakrawalaÂ
Sepertinya, tak ada lagi yang harus dibawa, larutkan semua
Sepenuh jiwa dalam raya semesta
Biarkan berpesta
Bekasi, 27 April 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H