Mohon tunggu...
Berti Khajati
Berti Khajati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumni IKIP Muhammadiyah Purworejo (1998) dan SPs UHAMKA Jakarta (2021) menulis puisi, cerpen, pentigraf, cerita anak dan artikel nonfiksi lainnya bersama berbagai komunitas literasi di dalam dan luar negeri, mengabdi sebagai Kepala Sekolah di SDN Samudrajaya 03 Tarumajaya - Kab. Bekasi. Mempunyai quote "Filternya ada di dalam jiwa."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelangi di Kaki Bukit

11 Agustus 2020   11:19 Diperbarui: 11 Agustus 2020   11:35 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Di sinilah Jaka Tarub mencuri selendang Nawang Wulan," kata nenek Sari sambil mengibaskan selendang tarinya. Spontan Riris, Ajeng, Alya, Iza dan Kayla duduk melingkar sambil mengikatkan selendang tari mereka di pinggang. Nenek Sari yang masih tampak cantik dan lincah melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat. 

"Dan setelah selendangnya ditemukan di lumbung padi, pulanglah Nawang Wulan ke kayangan. Jaka Tarub hanya dapat menyesali kecerobohannya. Seandainya Jaka Tarub mematuhi pesan Nawang Wulan untuk tidak membuka periuk nasi, tentulah Nawang Sasi masih memiliki ibu."

Malam itu bulan purnama. Piringan berwarna kuning emas membuat ujung selendang tari nenek Sari tampak berkilauan ditimpa cahaya bulan. "Coba lihat bulan purnama itu!" Sambil mengibaskan kembali selendang tarinya, nenek Sari memandang persis ke arah bulan yang bundar sempurna. Wajah nenek Sari berseri-seri. Riris berbisik di telinga Alya, "Aneh sekali nenek Sari malam ini." Alya mengedikkan bahunya, "Dengarkan dulu ceritanya!"

Lampu sorot menerangi panggung. Tujuh bidadari berselendang aneka warna turun ke bumi. Di kaki bukit yang hijau itu terdapat sebuah danau kecil. Orang desa menyebutnya sendang. Kecipak air terdengar semakin jelas, bersamaan dengan iringan musik yang makin menghilang. 

Selendang beraneka warna berkilauan seumpama pelangi. Sayup-sayup terdengar suara riang para bidadari berenang di sendang. Musik perlahan mengeras, lalu tiba-tiba menghentak seiring melesatnya para bidadari dengan selendangnya.

"Semakin sering Jaka Tarub melihat pelangi di kaki bukit, semakin penasaran ia. Sore itu sehabis hujan, kembali Jaka Tarub melihatnya." Nenek Sari menyesap teh hijau kegemarannya. Ajeng masuk ke dalam rumah dan keluar lagi membawa seloyang bolu pisang keju yang masih hangat. 

Langit sore membiaskan warna lembayung di ufuk barat. Sebentar lagi matahari terbenam, meninggalkan keriuhan cericit burung yang beterbangan pulang ke sarang masing-masing. Nenek Sari kembali melanjutkan ceritanya.

Pencahayaan panggung sedikit meremang. Jaka Tarub mengendap-endap. Sekilas warna pelangi menerpa wajahnya. Silau sejenak, namun ia kembali fokus pada perannya. Kecipak air terdengar lagi, diseling senda-gurau bidadari yang tengah mandi. Dengan selendang ungu di balik kain lurik yang dipakainya, Jaka Tarub beranjak pergi. 

Irama musik semakin perlahan seiring sepinya suasana sendang. Jaka Tarub perlahan melangkahkan kaki, namun urung karena terdengar isak tangis dari balik rimbunan semak di tepi sendang. Lampu sorot berputar, tampak seorang gadis bersimpuh sendirian.

"Gadis itu menangis kehilangan selendang ungunya. Karena warna ungu merupakan warna terakhir busur pelangi, maka ia mendapat giliran terakhir untuk pulang. Naas, selendang ungunya hilang." Nenek Sari memandang ke arah langit. Bulan bundar itu  tampak semakin mengecil karena posisinya semakin meninggi. 

Iza dan Kayla saling berebut bolu yang tinggal sepotong. Nenek Sari tersenyum. Diulurkannya sepotong bolu dari tatakan cangkir tehnya kepada Kayla sehingga Iza dapat menikmati potongan bolu terakhir dari loyang.

Seiring meredupnya pencahayaan panggung, dua sosok bayangan beriringan seirama alunan instrumentalia Moonlight sonata. Penonton tersihir memandang ke arah panggung yang masih kosong. Sekonyong-konyong terdengar suara tangis bayi. 

Lampu sorot di belakang panggung menampilkan tiga sosok bayangan sepasang manusia dengan bayi dalam gendongan ibunya. Perlahan suasana riang memenuhi panggung. Ribuan kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung beterbangan memeriahkan suasana. Lalu meredup, kembali sepi.

"Suatu hari Nawang Wulan pergi ke sendang. Saat itu ia sedang menanak nasi. Nawang Sasi masih terlelap di buaian. Nawang Wulan berpesan kepada suaminya untuk menjaga Nawang Sasi, namun jangan pernah menengok periuk nasi." 

Malam merambat perlahan, bulan mulai bergulir ke sebelah barat. Riris dan Alya segera melipat selendang tari aneka warna. Iza dan Kayla sudah terlelap saling berpelukan. Ajeng membenahi loyang bekas bolu. Rumah nenek Sari sepi, lampu-lampu dipadamkan.

Sayup-sayup terdengar celoteh bayi. Jaka Tarub beranjak dari tempat duduknya sambil memegang perut dengan tangan kirinya. Jaka Tarub masuk. Lampu sorot di belakang panggung menampilkan siluet Jaka Tarub membuka periuk nasi. 

Tiba-tiba sosok Nawang Wulan muncul. Musik menghentak menggambarkan keterkejutan yang luar biasa. Terdengar suara tangis bayi membahasakan kegelisahannya.

Danau kecil berair bening itu tak terlalu dalam. Bayangan pepohonan hijau terpantul jelas di permukaan air. Sementara batu-batu kecil di pinggir danau terlihat jelas menghiasi dasar danau. "Sejak dibukanya periuk nasi oleh Jaka Tarub, Nawang Wulan mulai menumbuk padi agar dapat menanak nasi." Nenek Sari berkisah sambil menyampirkan selendang tarinya di bahu. Ujung selendang yang keemasan sedikit tercelup air,  menimbulkan semburat cahaya kuning menyilaukan ditimpa sinar matahari.

Latihan diakhiri saat matahari sepenggalah memyorotkan sinarnya yang semakin menghangatkan bumi. Ajeng, Riris, Alya, Iza, dan Kayla mengikuti langkah nenek Sari menyibak bulir-bulir padi yang mulai meranum. 

Burung pipit pemakan biji padi serentak terbang bersamaan dengan gemerisiknya daun-daun padi bersemtuhan dengan lambaian selendang warna-warni. Wangi aroma nasi yang baru dikukus menyapa indera penciuman. Kayla berlari ke dalam rumah dengan girang. Disusul Iza yang tak mau ketinggalan sambil mengibaskan selendang tarinya.

Bunyi alu beradu lesung yang akrab menyapa gendang telinga kini berakhir, berganti alunan lagu "Bunda" yang dilantunkan oleh Melly. Nawang Wulan menggendong Nawang Sasi sambil mengibaskan selendang ungunya.

Jaka Tarub hanya dapat terduduk lemas, menyesali kecerobohannya membuka periuk nasi. Alunan musik semakin perlahan seiring berpindahnya bayi Nawang Sasi ke gendongan Jaka Tarub. Musik tiba-tiba menghentak seiring melesatnya Nawang Wulan dengan kibaran selendang ungunya.

"Kini Nawang Sasi beribu rembulan." Nenek Sari mengakhiri cerita sembari memandang bulan yang kini tak sebulat malam sebelumnya. Wajahnya tampak redup, seperti menyimpan kerinduan yang lama tertanam. Ajeng, Riris, Alya, Iza, dan Kayla saling bertukar pandang.

Jangan-jangan, nenek Sari adalah Nawang Sasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun