Mohon tunggu...
Berti Khajati
Berti Khajati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumni IKIP Muhammadiyah Purworejo (1998) dan SPs UHAMKA Jakarta (2021) menulis puisi, cerpen, pentigraf, cerita anak dan artikel nonfiksi lainnya bersama berbagai komunitas literasi di dalam dan luar negeri, mengabdi sebagai Kepala Sekolah di SDN Samudrajaya 03 Tarumajaya - Kab. Bekasi. Mempunyai quote "Filternya ada di dalam jiwa."

Selanjutnya

Tutup

Trip

Bruno, Jejak Sejarah yang Terlupakan

7 Mei 2019   04:00 Diperbarui: 7 Mei 2019   04:33 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bruno yang akan diketengahkan di sini adalah nama sebuah kecamatan yang terletak di wilayah kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Kecamatan Bruno adalah wilayah paling utara yang berbatasan langsung dengan Wonosobo. Jika Anda memasuki wilayah ini dari arah Kutoarjo, maka Anda akan disambut oleh ucapan selamat datang dengan relief Pangeran Diponegoro dan sepasang harimau. Gambar yang terukir dalam relief tersebut bukanlah dicomot sembarangan melainkan ada fakta sejarah dan cerita di baliknya.

Asal-usul Nama Bruno 

Jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia, wilayah ini masih merupakan hutan belantara. Begitu rapatnya hutan ini hingga sulit bagi manusia untuk memasukinya. Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh pasukan Diponegoro ketika dikejar-kejar oleh pasukan Belanda pada masa Perang Diponegoro. Pasukan Diponegoro yang bergerak ke arah wilayah Bagelen dan terus ke arah Utara menyusuri hutan menjadi pilihan untuk menghindari kejaran Kompeni Belanda.

 Hutan lebat yang terletak di wilayah pegunungan tentulah menyulitkan pihak Belanda untuk bergerak, sehingga "menghilangnya" pasukan Diponegoro di wilayah ini tidak pernah terdeteksi oleh Kompeni. Sebagai penanda, maka kelak wilayah ini berkembang dan diberi nama Bruno, akronim dari "diburu ora ono". Artinya, pasukan Diponegoro diburu oleh Kompeni Belanda dan ketika mencapai wilayah ini yang diburu ora ono atau berarti tidak ada. 

Kyai dan Nyai Karangmalang 

Konon, menurut cerita turun temurun, hutan rimba Bruno dahulu dijaga oleh sepasang harimau. Harimau tersebut bukanlah harimau buas pada umumnya, namun justru merekalah yang melindungi siapapun yang berada dalam kesusahan untuk tetap aman berlindung dalam hutan tersebut. Mungkin juga termasuk pasukan Diponegoro yang berlindung di sana ketika dikejar-kejar oleh Kompeni Belanda. Sebagai bentuk penghargaan, penduduk setempat memberikan julukan Kyai dan Nyai Karangmalang. Untuk kebenarannya memang belum tercantum dalam sejarah,  namun diceritakan kepada anak cucu dari mulut ke mulut. 

Petilasan Brawijaya 

Menurut cerita orang tua saya, di sebuah bukit dari jalur wilayah Pituruh dan Kemiri masuk dalam wilayah Kecamatan Bruno, ada sebuah petilasan yakni tempat beristirahat sementara Prabu Brawijaya V yang sedang melakukan perjalanan. Bekas-bekasnya kini masih ada dan lokasi tersebut ditandai seadanya oleh penduduk setempat. 

Kambangan, Ibukota Sementara Propinsi Jawa Tengah 

Desa Kambangan merupakan salah satu desa di wilayah kecamatan Bruno. Terletak jauh di atas pegunungan yang sulit dijangkau dengan kendaraan umum. Pada masa revolusi fisik 1948 - 1949, KRT Wongsonagoro, Gubernur Jawa Tengah kala itu hengkang dari Semarang yang sudah tidak aman dari rongrongan Belanda. 

Pilihan untuk berhenti jatuh pada sebuah desa kecil di atas bukit yang bernama Kambangan. Di sana Sang Gubernur menjalankan pemerintahannya selama kurang lebih 100 hari. Dengan kata lain, ibukota Jawa Tengah pada masa itu berpindah sementara dari Semarang ke Bruno. Selama menjalankan pemerintahannya, KRT Wongsonagoro memboyong satu peleton pasukan militer yang terdiri dari empat kompi. 

Sedangkan tempat tinggal sekaligus kantor pemerintahan dipusatkan di rumah seorang warga yang bernama Dul Wahid. Hingga saat ini, barang-barang peninggalan bersejarah tersebut masih dirawat oleh penduduk setempat. 

Bunga Rampai 

Kisah tentang Bruno dan jejak sejarah yang pernah terukir memang tidak banyak terekspose oleh media. Namun lebih banyak  diceritakan dari mulut ke mulut secara turun temurun sebagai bentuk kebanggaan penduduk Bruno kepada tanah kelahiran. 

Satu-satunya keterangan tertulis hanyalah sebuah "Bunga Rampai Perjuangan 45" yang disusun oleh Bapak Istiharto yang kala itu menjabat sebagai Kepala Kantor Pos Purworejo dan Bapak Soekoso DM yang hingga sekarang masih aktif di pemerintahan serta menjadi Ketua "Kelompok Peminat Seni Sastra" (KOPISISA) Purworejo. 

Dalam bunga rampai tersebutpun, kisah tentang Bruno hanyalah menjadi salah satu bagian dari sekian banyak kumpulan kisah perjuangan di berbagai wilayah Purworejo dan sekitarnya. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun