Tesis bahwa kebodohan dan ketertinggalan menjadi sebab musabab sebagian paham ekstremisme, eksklusivisme, nasionalisme sempit, mudah terprovokasi 'main stream', yang menjadi akar kekerasan dan ajaran anti-sosial dn anti-pluralitas, ternyata sedang tidak dibenarkan dalam realitas sosial politik Indonesia saat ini. Mengapa demikian? Karena beberapa gejala hadirnya tensi sosial yang tinggi justeru melibatkan mereka yang mestinya jadi suri-teladan dalam mayarakat, ya pengabdi pendidikan itu.
Dekadensi berasal dari kata dekaden yang berarti keadaan merosost atau mundur suatu moral atau akhlak. Dengan kata lain, dekadensi moral merupakan bentuk-bentuk perubahan sosial atau suatu kondisi moral yang jatuh, jauh dari ciri-ciri kelompok sosial, kondisi merosot, kemunduran yang sementara ataupun kemrosostan yang berlangsung terus menerus baik itu sengaja atau tidak disengaja dimana kemunduran ini sulit untuk dikembalikan atau diarahkan seperti keadaan sebelumnya.
Dekadensi Moral (Para) Dosen-Profesor Saat Ini?
Fenomena dekadensi moral saat ini sangat menarik untuk diteliti. Dewasa ini berbagai macam kemajuan teknologi sangat berkembang pesat. Budaya dari luar yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi penduduk Indonesia masuk tanpa disaring. Sehingga hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi moral dan perilaku masyarakat umumnya dan remaja pada khususnya.
Untuk menyebut beberapa orang berpredikat dosen yang tersangkut masalah, seperti Buni Yani dan terakhir dosen USU Medan Himma Dewiyana Lubis alias Himma. Dosen Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (USU) ini menjalani pemeriksaan sampai akhirnya ditetapkan menjadi tersangka. Himma mengaku menyesal atas perbuatannya.
Tak terkecuali sahabat saya yang juga saya kritisi, dosen Rocky Gerung, yang "memberi lampu hijau" kepada penyebaran "HOAX" , Â Pembenaran HOAX lebih Kejam dari Machiavellianis, (dalam Kompasiana 29 Agustus 2917), saya beranggapan Rocky tidak sungguh serius dengan pernyataannya, tapi, setidaknya pernyataannya berpotensi masuk ranah pidana, betapa pun pernyataannya dalam bentuk tertentu bisa sebatas retorika politik.
Apa pun, sudah saatnya bagi publik, untuk memiliki kesadaran kritis tertentu, minimum, hal yang perlu diingat, bahwa, sejak tahun pertama belajar Filsafat 1983, dosen Logika yang saya hormati Prof. DR. Yan van Paassen, meninggal awal tahun 2017 lalu, Â mengemukakan salah satu bentuk falasi, sesat pikir, yang disebut "argumentum ad verecundiam".Â
Argumentum Ad Verecundiam adalah sesuatu dianggap benar/salah, bukan dengan mengkaji bukti-bukti pendukungnya, tapi semata-mata hanya karena seseorang yang (dianggap ahli, atau menyebut diri ahli di bidang tertentu itu) mengatakan demikian. Pada kenyataannya, ketika diselidiki lebih jauh, ternyatalah pernyataan "Sang Ahli" patut diragukan, karena terkait hal yang sama para ahli (seringkali) memiliki pendapat yang berbeda-beda, belum tentu sama.
Publik kiranya makin sadar, yang menyandang seabrek gelar, pakai profesor dan label akedemis lainnya, tapi dalam berbicara dan bertindak sifat 'anti-sosial', anti-perbedaan sangat menonjol, Â destruktif dan menyesatkan. Tenaga "kategori pendidik" sedemikian", sering bersikap, "Menjilat ludah sendiri.... " dan seterusnya. Â Orang-orang ini mengalami dua hal secara mendasar: "krisis identitas, tidak terus belajar, tidak berintegritas", petualang di dunia pendidikan....
"Guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Kini dipelesetkan: "dosen kencing berdiri, mahasiswa kencingi dosennya... ".
Profesor-profesor yang lama ber-tualang dengan ambisi-ambisi pribadi yang makin tidak realistis, merendahkan martabatnya sebatas provokator, maaf, Â kelas teri. Hak untuk menilai ini adalah, publik, masyarakat warga negara Indonesia yang memiliki kedaulatan yang dilindungi konstitusi. Jangan biarkan sikap kritis anda dinihilkan otoritas, apalagi label-label publik tanpa reserve-sikap kritis sedikit pun.