Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Apakah Sudah Waktunya Jokowi Dijodohkan dengan Sri Mulyani?

5 Maret 2018   08:24 Diperbarui: 5 Maret 2018   12:51 1574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah kah waktunya kubu calon presiden (petahana Joko "Jokowi" Widodo) menimbang dengan lebih serius sosok Sri Mulyani Indrawati (SMI) menjadi calon wakil presiden Jokowi pada pilpres 2019? Pertanyaan ini menjadi salah satu pertanyaan sentral dan utama di tengah publik ketika, wakil presiden Jusuf Kalla sendiri akhirnya menyatakan tidak lagi bersedia menjadi cawapres Jokowi putaran kedua pemerintahannya.

Sebenarnya, nama Jusuf Kalla (JK) masih menjadi primadona untuk maju sebagai cawapres pada pilpres 2019 beberapa versi lembaga survei dan pengamat. JK dianggap tokoh yang mewakili Islam, warga luar Jawa, dan menjadi penyeimbang dalam politik nasional.

Direktur Saiful Mujani Research and Consulting, Djayadi Hanan, misalnya menyebut potensi Jokowi maju kembali bersama JK terbuka. Hanya saja, ia mengemukakan beberapa catatan. Pertama, ia mempertanyakan soal aturan menjadi calon wakil presiden (cawapres). Sebab, JK sudah dua kali pernah menjadi wakil presiden. "Apa boleh lebih dari dua kali?" kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (13/2/2018). Kedua, usia JK yang sudah terlalu sepuh. Bila Jusuf Kalla kembali maju, menurut Djayadi, akan menjadi langkah mundur.

Perhatian JK pada kelanjutan pemerintahan presiden Jokowi yang telah resmi jadi capres PDIP juga tetap tinggi, sehingga JK berarap dan mengingatkan dua syarat bagi cawapres Jokowi, seperti dinyatakannya setelah Rapimnas partai Golkar di Lembang 9 di Hotel Aryaduta seperti dimuat Kompas.com (26/2/2018), bahwa "Pertama, bisa menambah elektabilitas," ujar Kalla usai acara. 

Menurut Kalla, siapa pun calon pendamping Jokowi di Pilpres 2019, wajib memiliki elektabilitas dan dikenal publik secara luas. Sehingga, kehadirannya bisa ikut meningkatkan elektabilitas Jokowi. Syarat kedua, menurut Kalla, kriteria ideal cawapres Jokowi yakni tokoh yang berpengalaman. Sebab, menjadi wakil presiden berarti harus mampu mengerjakan tugas seorang presiden.

Sejumlah pengamat perpolitikan Indonesia, sebut saja wartawan senior John McBeth, dalam tulisannya (Asia Times, Rabu, 7 Februari 2018), SteamsTowards Easy Second Run, mengatakan capres Jokowi pasca JKW-JK membutuhkan seseorang dengan latar belakang Muslim yang kuat. Sebab, apa yang terjadi pada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, bisa jadi memengaruhi hasil Pemilu dan Pilpres 2019.

Kesadaran akan elektabilitas cawapres dari Jokowi sebagai capres petahana begitu pentingnya, mengingat "meskipun elektabilitas Jokowi "belum tertandingi" nama-nama yang masuk bursa capres 2019, namun elektabilitas capres petahana Jokowi dipandang masih berada dalam zona "belum atau tidak aman".

Sri Mulyani, dari testing in the water menuju"water pass" Megawati dan PDI-P
Meski tidak punya partai, Sri Mulyani Indrawati, mantan Chief Director World Bank, dan sekarang adalah menteri keuangan RI dalam kabinet Kerja presiden Joko Widodo, senantiasa masuk dalam radar bursa survei capres-cawapres Republik Indonesia.

Sri Mulyani memang berbeda dengan banyak nama figur yang masuk dalam bursa survei Tanah Air. Tidak sedikit figur yang bahkan meskipun sudah digadang-gadang dari partai big five hingga partai yang pernah berkuasa, SMI yang lebih dikenal sebagai pendidik dan profesional dunia keuangan kita, sosok SMI nyaris tak tertandingi. Sosok menteri keuangan dalam dua pemerintahan presiden berbeda ini, tak pernah lengang dari silent supporter-nya, ya pendukung tanpa bendera partai.

Dalam Kompasiana hampir lima tahun silam (6 September 2013), saya menulis "Testing in the Water: Jokowi dan Sri Mulyani, Why Not?", ketika orang masih berdebat kepemimpinan capres Jokowi yang adalah Gubernur DKI Jakarta dan belum tuntas di Jakarta, saya mendukung penuh pemikiran opsional Jokowi capres 2014, sambil mencari cawapres Jokowi ketika itu, yang kemudian jatuh ke tangan JK yang tidak sedang memimpin partai Golkar, partai yang membesar JK dalam friksi-friksi internal hingga hari ini. 

Sekadar menyebut contoh tahun 2011, polling Kompas, yang menempatkan Prabowo Subianto, yang telah membesarkan partai Gerindra sebagai capres urutan teratas dengan capaian elektabilitas 57%, Sri Mulyani 52%, yang ketika itu berada dalam bayang isu Century, menempatkan wanita penerima gelar Menteri Keuangan Terbaik Asia, itu pada urut kedua dengan prosentase kedua membayangi figur Prabowo, jauh meninggalkan yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun