“Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagipula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapapun juga.” Kutipan pidato jenderal Soedirman, Jogjakarta, 12 Nopember 1945
Doktrin militer atau ucapan Jenderal Soedirman ini tampak menjadi ruh dan mengalir dalam darah dan semangat patriot Jenderal (purn) Soemitro. Jenderal Angkatan Laut (purn) Laksdya (purn) Raden Soemitro tidak hanya menjadikan bahan permenungan di wilayah privat keyakinan. Selain mengungkapkan sebagai ajaran-sosial publik, Jenderal Mitro, meski lama tidak aktif lagi dalam dinas militer, nilai-nilai luhur kemiliteran dan perjuangan terus terjaga dalam ucap dan tindak-lakunya.
“Pada era presiden Soeharto nama saya sempat masuk urut pertama menjadi KASAL, kepala staf angkatan laut, orang nomor satu di TNI Angkatan Laut.” Tetapi yang keluar nama orang lain”, tutur Mitro penuh semangat mengenang.
“Tetapi saya bersyukur alhamdulilah, tidak terpilih. Karena kalau saya jadi KASAL tidak pernah bertemu mas Berthy dan saudaranya ustad Qadir ini”. Karena misalnya, kalaupun kenal kalau ke rumah harus melapor di pos sebelum ketemu dan seterusnya. Dan kalau saya didalam rumah tapi oleh penjaga dianggap (orang) tidak kenal atau tidak penting, ya mereka menjawab sekenanya, “Ya Jederal tidak ada”. Ungkap Mitro yang membuat kami tidak dapat menahan tawa.
Jenderal Mitro dan KRI Sultan Nuku
Sesi lain pembicaraan Jenderal Mitro bertepatan 10 November 2016 lalu, ketika dikunjungi rombongan keluarga Ustad Qadir Nuhuyanan, yang asal-usul keluarganya diasalkan pada Sultan Nuku, Jenderal Mitro pun berkisah tentang nama lengkapnya yang mengisyaratkan darah-biru yang mengalir dalam turunannya, namun rela ‘dihilangkan’ demi kolegialitas satuan.
“Nama saya sejak bocah hingga menjalani dinas pada militer TNI-AL, awalnya saya masih bernama lengkap “Raden Soemitro”. Kaena risih sendiri, saya hilangkan nama pertama.
“Sebagai mantan panglima Armada Timur, saya sempat bingung dengan nama KRI Nuku, siapa Nuku?” Namun saya kagum setelah mendengar dan mengetahui tentang kepahlawanan Nuku.
Sultan Nuku Muhammad Amiruddin, atau Sultan Nuku (Soasiu, Tidore, 1738 - Tidore, 14 November 1805). Di kemudian hari Nuku ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Dia merupakan sultan dari Paparangan”. Kesultanan Tidore yang dinobatkan pada tanggal 13 April 1779, dengan gelar “Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Amiruddin Syah Kaicil Pada zaman pemerintahan Nuku (1779 – 1805). Karena semangat Nuku menghidupi ideologi penyatuan empat-sayap “Maloko Kie Raha.” Maka cita-citanya membebaskan seluruh kepulauan Maluku dari penjajah bangsa asing, ia digelar Pahlawan Nasional. Hingga usia senja, semangat dan perjuangannya tidak berhenti. Ia meninggal dalam usia 67 tahun pada tahun 1805. Sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Sultan Nuku sebagai "Pahlawan Nasional Indonesia". Nuku juga disebut “Lord of Fortune”.
“Ternyata figur Sultan Nuku adalah figur pejuang Nusantara yang pluralis dan patut dikenang,” tutur pak Mitro menutup sesi mengenal Sultan Nuku dan hipotesa sejarah keturunan Sultan Nuku dengan Ustad Qadir.
***
Jenderal ‘Milenial’ tentang Ahok
“Ahok adalah saya. Saya tidak bisa seperti Ahok, tapi setuju kejujuran hingga cara dia membangun dengan kejujuran tanpa sikap munafik,” tutur Mitro penuh keyakinan kepada rombongan Ustad Qadir hari itu.
“Rugi kalau kita kerja untuk Ahok dan berharap mendapat sesuatu. Tetapi, untungnya, Ahok bekerja untuk kesejahteraan banyak orang, bukan untuk kelompoknya, apalagi untuk dirinya, ucap Mitro yang mengakui, ikut menggalang KTP ketika ‘Teman Ahok’ membutuhkan KTP untuk calon independen ketika itu. “Saya sadar Ahok sepenuhnya mengabdikan diri untuk kemaslahatan umum dan tidak mungkin mencari keuntungan pribadi, karena itu saya ikut mencari KTP dukungan ketika itu”.
***
Mendengar kejadian yang menimpa pimpinan PT. PAL Surabaya, yang tertangkap tangan OTT, Beliau sangat gusar dan kecewa dan mengungkapkan… ”Sebagian besar pejabat yang kendalikan anggaran tidak memiliki integritas/tidak amanah dan tidak sadar, bahwa mengambil yang bukan hak adalah dosa.” Jenderal Mitro bahkan dengan nada tegas menyatakan, ketika melakukan korupsi mereka beranggapan tindakan mereka hanya satu di antara banyak lain yang ‘beruntung’ jadi (OTT) hanya “kesialan”. Dasarnya mental koruptor. Tulis Mitro yang rajin broadcast moral messages perbaikan mental bangsa, antara lain dengan dukungan pada Ahok.
Mimpi Jenderal Soemitro memiliki “Paguyuban Rahmatan lil Alamin” merupakan penghayatan akan nilai-nilai uniersal yang indah nan luhur yang diyakini dan diajarkan Islam.
Inilah ajaran Islam yang saya anut. Kalau ada yang mengajarkan lain, itu bukan ajaran keyakinan Islam saya. Maaf.” Tutur Mitro yang bertekad mempercepat pendirian Padepokan “Rahmatan Lil Alamin” impiannya. Warga milenial siap diperintah oleh Jenderal ‘Soleh Rahmatan lil-Alamin Raden Soemitro’.
Jika Soedirman dapat kita sebut sedemikian, Mitro yang berada di tengah generasi milineal menjadi sebagai Jenderal milinenial yang berarti visioner dan berintegritas dan ‘gaul’, Soemitro adalah hanya purnabakti yang tetap konsisten dengan doktrin militer Soedirman tanpa batas waktu (tugas) maupun tempat. Tentara Nasional Indonesia, impian Soedirman.
Soeltan Nuku, Soedirman, Soemitro dapat kita sebut 'dengan sebutan kehormatan tidak resmi, kecuali up-date dan inti semangatnya seperti ada di Ahok.
Semangat Mitro mengingatkan kita akan ungkapan Jenderal Douglas MacArthur: “Old soldier never dies, just fade away!” Jauh sebelumnya kita punya Sultan Nuku, Lord of Fortune
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H