Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Capres PDI-P Menurut "Mata Najwa"?

23 Januari 2014   20:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_307839" align="alignnone" width="300" caption="Megawati dan Najwa Shihab (foto: MetroTV)"][/caption] Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri telah menjawab dengan sangat gamblang, tegas dan jujur, siapa calon Presiden (capres) 2014 dari partai berlambang banteng moncong putih itu. Memang, tidak ada nama yang keluar dari mulut Megawati. Tetapi, sejumlah pernyataannya bahkan tanpa basa-basi, publik (mestinya) relatif mudah menyimpulkan siapa yang dimaksudkan Megawati sebagai capres PDI-P. Hal itu terungkap dalam acara "Mata Najwa", yang dibesut sendiri Najwa Shihab,  tayangan Metro-TV, Rabu (22/1, pkl 20.00-21.30). Bagi pendengar-penonton yang kritis, puteri mendiang Presiden RI Soekarno itu telah memberikan patok atau pernyataan telanjang, tanpa perlu interpretasi dan hermeneutik apa pun. Betapa pun, Megawati sendiri menyatakan pula secara analogi, bahwa tentang capres PDIP, amplopnya masih tertutup rapat. Dalam sejumlah konteks jauh dan dekat, paling sedikit lima (5) patok telah diberikan Megawati, tentang siapa capres itu. Karena itu, mari kita membuka lima lapis pembungkus yang diungkapkan Megawati tentang capres PDIP 2014-2019. Pertama, penolakan Megawati terhadap hasil-hasil survei. Megawati memang menganggap survei tidak sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat, katanya. "Tidak ada yang melampaui mas Jokowi (maksudnya, Gubernur DKI Joko Widodo) dalam semua survei". Tetapi, Mega secara terang dan tegas meminta Jokowi untuk tidak begitu saja menerima hasil suvei. Hal ini sejalan pula dengan sejumlah kompetitor capres 2014, semisal Prabowo Subianto, yang menganggap survei yang dirilis media, tidak begitu saja dianggap sebagai benar. Kedua, penolakan Megawati atas "apresiasi" kelompok masyarakat tertentu atas dirinya, untuk menerima gelar "Ibu Bangsa". Konteks pernyataan elemen masyarakat itu umumnya terkait imbuhan masyarakat mendorong Jokowi sebagai capres PDIP. Dan karena itu, Megawati 'digelari' Ibu Bangsa. Namun, Megawati menyatakan dengan tegas menolak julukan (-julukan) itu. "Bapak saya Soekarno saja pun nasibnya ndak keruan, bagaimana saya disebut Ibu Bangsa", demikian kira-kira penolakan tegas gelar dan konteksnya. Selain, menolak gelar Ibu Bangsa, Megawati juga menolak gelar "King Maker" (dan mungkin gelar lainnya) dalam konteks yang sama. "Saya (gender) wanita, koq, disebut "King" (Raja)?" Ketiga, secara spiritual-mistis Megawati yakin, Pemimpin Negara itu pilihan (dan kehendak) Tuhan, bukan kehendak manusia. Hal ini dikatakan Megawati untuk mempertegas sikapnya menolak hasil survei atau euforia-euforia publik terhadap orang per orang. Megawati mencontohkan dirinya, pada tahun Pilpres 1999, ketika PDI-P memenangkan Pemilu, namun akhirnya bukan dirinya yang jadi presiden RI ke-4, melainkan Presiden KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Dengan fakta sejarah itu, Megawati berargumen relijius(-mistik), bahwa "Untuk menjadi presiden, Tuhanlah yang menentukan. Sudah ditentukan dari Sana! Tahun 1999  "seluruh Rakyat Indonesia" Indonesia menghendaki saya jadi Presiden, tapi malah Gus Dur. Saya baru menjadi Presiden ke-5. Jadi, ini diatur dari "Atas". " Megawati juga menambahkan bahasa mistis-magis, bahwa menjadi Presiden itu garis-tangan. Jawaban Megawati ini, mengingatkan saya pada kisah Sekjen Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Nico Darjanto, yang mengungkapkan niat sejumlah elit dan cendikiawan Indonesia tahun 1990-an untuk menggantikan Presiden Soeharto dengan figur muda. Presiden Soeharto berdiplomasi perihal suksesi dengan mengatakan, "Jika Tuhan masih berkenan, insya Allah, saya tetap maju!" Soeharto masih bertahan (karena kehendak Tuhan?) hingga, Menteri Harmoko yang mengangkatnya pada tahun 1997, tetapi menjadi orang pertama pula yang meminta Soeharto turun pada Mei 1998, setelah rakyat Indonesia bergerak serentak. Keempat, sebenarnya tentang Pemilu 2014, terutama Pemilu Presiden, pertanyaan pertama Najwa yang dijawab Megawati, baru dipahami dengan lebih baik, setelah mendengar penyataan pertama, kedua dan ketiga. Atas pertanyaan Najwa, "Apa yang diharapkan Ibu Mega tentang Pemilu 2014?" Mega menjawab, "Harapan dan doa saya hanya satu: Pemilu (yang) JUJUR!" Artinya, jawaban Mega mengisyaratkan Pemilu sebelumnya tidak jujur, sehingga tidak mendatangkan pemenang sejati. Benar, hanya jawaban (pertama)  ini sangat terbuka terhadap pelbagai interpretasi figur (bila tidak ada konteks). Namun, konteks pernyataan Megawati mengandaikan (dengan tegas meski terselubung), bahwa jika Pemilu dilangsungkan dengan jujur, maka "pelontar harapan" yakni Ibu Megawati Soekarnoputri, mestinya menjadi pemenang Pemilu Presiden 2009. Kelima, dalam seluruh konteksnya, saya selanjutnya haq'ul yakin dan berkesimpulan, Megawati dan (sebagian) elit PDI-P tidak  menjagokan Gubernur DKI Jakarta Joko "Jokowi" Widodo, sebagai capres PDI-P. Hal itu juga dalam pernyataan langsung terhadap "Gubernur Kurus Jokowi", dalam bahasa verbal maupun bahasa tubuh timbal balik. Bukan karena terutama Jokowi masih mencium tangan Megawati. Megawati Terjang Antagonisme Rakyat? Jadi, siapakah Capres PDIP menurut "Mata Najwa"? Jika saya penasihat politiknya, Megawati dapat menjawab dalam bentuk pertanyaan, yang terbungkus rapat dalam amplop, yakni "Siapakah putera-puteri Proklamator Republik Indonesia Soekarno, yang bukan Saudaraku?" Itulah jawaban paling jujur dari beningnya "Mata Najwa" kepada para pendukung Jokowi for President. Harapan tidak sedikit orang, mungkin juga saya kepada Megawati untuk Pemilu 2014, hanya satu: Jangan lupa kehendak Rakyat! Kehendak Tuhan yang nyata adalah kehendak rakyat. Orang Romawi berani berseru kepada (para) Dewa: "Vox populi, vox Dei" (suara rakyat adalah suara Tuhan/Dewa). Karena itu, percaya pula bahwa suara rakyat adalah hukum tertinggi (Vox populi suprema lex). Hermeneutika sejarah ini mungkin relevan. Bung Karno mengingatkan puterinya sendiri: "Nak Mega, JAS MERAH!" Jangan lupa sejarah! Ia hanya berulang. Protagonis dan antagonis ditentukan oleh rakyat, pemilik kedaulatan. Hal lain yang obyektif dapat dipercaya adalah independensi sejumlah survei. Obyektifitas survei Litbang Kompas paling tidak salah satunya. *) Penulis, mantan Ketua Ex-Officio Partai PIB (2003-2005, Pimpinan DR. Sjahrir) & dosen President University Jababeka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun