[caption id="attachment_215766" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi: Presiden dan Grasi (sumber Indonesiagituloh.com)"][/caption]
Pro-kontra pemberian grasi kepada kurir (atau gembong) narkoba Pranola "Ola", akan dapat terus mendorong Presiden SBY dalam “lumpur pasir” hukum, di mana setiap langkah hukum yang disarankan para pembantunya hanya akan menjerumuskan Presiden dalam pertentangan dan inkonsistensi kasus yang satu, dan mempertentangakan prinsipnya untuk kasus yang lain. Mengapa demikian? Kemungkinannya, seperti disinyalir Mahfud MD sebagai seorang mahaguru - bukan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa para pembantu atau pembisik Presiden berkontribusi pada keputusan yang kontroversial dan saling bertentangan.
Pertanyaan selanjutnya, “Sebaiknya apa yang dibuat Presiden SBY dengan grasi yang telah terlanjur diberikan - khususnya kepada Pranola?”. Dua langkah yang mungkin ditempu para penasihat Presiden SBY, yaitu, pertama, memberi pertimbangan kepada Presiden, bahwa apa pun yang terjadi Presiden harus tetap merealisasikan grasi kepada Pranola, betapa pun kontroversialnya, di satu pihak. Di lain pihak, betapa pun Presiden sendiri menimbang-nimbang bahwa, keputusan yang diambil telah “sesat” , ia harus menegakkan kepastian hukum itu sendiri.
Langkah yang lain terhadap grasi yang terlanjur kontroversial dan dianggap keliru itu, sikap atau pertimbangan kedua yang dapat disarankan kepada Presiden adalah menyatakan bahwa, karena ada “kesaksian lain” (semacam novum dalam proses hukum pro iustitia), maka, Presiden dapat mempertimbangkan kembali keputusan pemberian “grasi” kepada Pranola itu. Namun, pada hemat saya, langkah kedua justeru dapat menjadi preseden buruk bagi Presiden, baik dalam kelemahan keputusan pertama memberikan grasi, maupun dalam hal Presiden dapat ditempatkan para pembantunya dalam posisi “mengintervensi suatu proses hukum”, hal yang senantiasa ditabukan oleh Presiden, bahwa “Saya tidak pernah mau mengintervensi proses hukum”.
Artinya lagi, para penasihat Presiden tidak pernah boleh menempatkan keputusan Presiden dalam apriori (lawan dari presume of innocent) mendahului sebuah proses penegakkan hukum, baik dari tahap penyelidikan, penyidikan, penggelaran perkara, hingga vonis pada tiap tingkatannya. Jika grasi dipertimbagkan kembali, justeru karena adanya “isu” bahwa Pranola bukan hanya kurir tapi gembong narkoba, sebuah “isu” yang masih harus dibuktikan secara hukum dan mendapatkan keputusan hukum. Karenanya, para penasihatnya dapat menempatkan Presiden terlampau jauh dalam sebuah intervensi hukum, langsung maupun tidak langsung.
Seburuk-buruknya memberi grasi kepada Pranola, akan jauh lebih buruk kalau memberi nasihat kepada Presiden SBY untuk mempertimbangkan kembali grasi itu. Karena, pertama, Presiden akan ditempatkan dalam posisi “ikut mengintervensi sebuah proses hukum”. Kedua, dalam hal semua keputusannya, baik MEMBERI maupun MENOLAK grasi seseorang, Presiden sangat amat mungkin pernah atau sering keliru. Ketiga, khusus tentang hukuman mati, jangan-jangan Presiden pernah menyesal pernah menolak grasi mereka yang dihukum mati dan telah dieksekusi. Kalau Presiden pernah ragu akan mereka yang ditolak grasi dan telah dieksekusi mati, Presiden dapat menyatakan secara publik, dan merehabilitasi nama baik mereka.
Keliru yang berhubungan dengan nyawa manusia, akan dipikul di dunia dan akhirat, katanya. Jadi, grasi sebagai upaya hukum yang diberikan konstitusi sebagai hak prerogatif Presiden, jangan ditaburi interese lain, kecuali kepentingan Rakyat dan Negara. Presiden harus tunduk pada semangat konstitusional itu. Para pembantunya tidak perlu merasa lebih hebat. Betapa pun saya berbeda pandangan dengan Prof. Mahfud MD soal hukuman mati (death penalty), dan lebih sejalan misalnya, dengan Fadjroel Rachman yang pro life - menolak hukuman mati, saya mengapresiasi ketulusan Mahfud sebagai Ketua MK. Para pembantu presiden perlu berkaca diri. Maaf, kalau saya memang membela Prof. Mahfud, karena dia mengawal Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi negara kita.
Daniel Sparingga, staf khusus Presiden, sebaiknya tidak memandang komentar Mahfud tentang Presiden hanya dalam kasus grasi Pranola sahaja. Itu sejarah sebatas depan dahi kita, maka perlu jauh ditarik ke belakang. Rakyat yang memiliki kedaulatan mutlak atas negara ini, ingin melihatnya dari “depan hingga belakang”, “dari yang tersurat hingga tersirat”, bukan sekedar adu argumen untuk pil ekstasi, tetapi tentang mengapa banyak orang menjerumuskan diri dan menggunakannya. Bercermin bersama. Black hole dan lumpur pasir menanti gerak moral kita, siap menyedot ke alam ganasnya.
Publik bersalah kalau membiarkan para pembantu Presiden melakukan kesalahan (fatal). Maka, lebih bersalah lagi, bila check and balance publik dan instrumen lainnya, mendatangkan mekanisme defensif berlebihan, ketidak-dewasaan mental-politik. Rakyat lebih terhina apabila hak-hak konstitusionalnya terlanggar oleh penyelenggara, termasuk oleh (para pembantu) Presiden.
*) Penulis, Sekjen Para-Legal Padma untuk Kasus Tibo Cs.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H