Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hari 'Segene'... Masih Baca Koran?

5 Oktober 2012   02:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:14 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_209858" align="alignleft" width="240" caption="Ilustrasi: sumber britannica.com"][/caption]

“Hari segini, masih baca Koran?” Inilah salah satu pertanyaan atau sentilan yang paling ditakuti para pemilik Surat Kabar atau Majalah cetak. Betapa tidak, revolusi peradaban dalam media telekomunikasi, menciptakan tantangan atau ‘permusuhan’ terbuka terhadap sejarah panjang media cetak. Pertanyaan lanjutnya, “Apakah Media Cetak (koran-majalah) benar-benar akan mati dalam waktu lebih cepat dari yang diduga?” Lalu,  “Membaca Koran? Ga gaul banget.

Di Eropa Utara, koran dan majalah langsung menjadi ‘museum’ setelah hadirnya internet. Tidak ada lagi orang berbicara berita dari koran atau majalah, selain media on line. Pelaku bisnis media gulung tikar atau mengalihkan investasinya dari media cetak sebagai bisnis, hanya dalam hitungan sekejap.

Tentu, situasi Eropa Utara berbeda dengan di India, misalnya. Media cetak bahkan tampak (sedang) tidak terpengaruh sedikit pun dengan hadirnya media internet. Tetapi, apakah ‘kesuksesan’ mempertahankan dunia media sebagai sebuah ‘bisnis yang menjanjikan’ di India dapat menjadi patok pelaku bisnis media? Pertanyaannya, apa yang menjadikan media cetak di India masih bertahan? Jawabannya singkat: iklan. Tapi, berapa lama akan bertahan?

Yah, banyak media cetak di India praktis menjadi media cetak sebagai sumber informasi, tetapi pada saat yang sama menjadi ‘advertisement’ atau nyaris identik dengan “dunia periklanan”. Media di India, hidup karena berita, tetapi juga sama pentingnya dengan iklan. Kalau boleh diekstrimkan: hari ini ada berita, besok hidup dari iklan; atau, boleh tidak ada berita, tapi iklan tidak boleh tergantikan.

[caption id="attachment_209859" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi: christiancross.net"]

1349404296443544176
1349404296443544176
[/caption]

Memang, sebelum ada internet dengan tawaran-tawaran beritanya, media cetak dan (kemudian) radio dan televisi kemudian menjadi ‘media paling dinanti’, maka paling ‘mahal’ bahkan secara ekonomis. Singkatnya, dari perjalanannya yang hingga berabad, media cetak, radio dan tv benar-benar menjadi ‘bisnis’ yang menggiurkan. Selain melayani masyarakat, pelaku media mengeruk keuntungan karea bidang bisnisnya.

Gelisah Menanti Trend Bisnis Media di Indonesia

Kegelisahan ini tentu diam ataupun terbuka, telah menjadi ikhtiar para pelaku bisnis media. Jakob Oetama, pendiri grup Gramedia-Kompas dan menjadi salah satu pelaku terdepan bisnis media di Indonesia, dua tahun silam mengungkapkan kegelisahannya tentang kegembiraan dan kegelisahan dalam menghadapi revolusi IT terhadap grup-nya. Lebih dari dua tahun lalu, Jakob Oetama mengungkapkan kenyataan dan tantangan yang dihadapi bisnis media (27/3/2010), pada saat ‘kongkow bareng’ Kompasioner, di Palmerah, Slipi, Jakarta Barat.

[caption id="attachment_209860" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi: blogs.end.edu"]

1349404475273721221
1349404475273721221
[/caption] Setelah dua tahun, terbaca di publik adalah semua media cetak, kini nyaris memiliki baik media cetak maupun berita on line. Dengan mengambil alih judul atau penamaan cetaknya, seluruh media cetak mengantisipasi ‘rontoknya’ bisnis media, dengan resiko-resiko dan profit bisnis yang telah berbeda jauh.

Bahkan, bukan hanya media cetak. Bagi para pelaku bisnis ‘televisi’, internet menghadirkan aksi ‘pemurahan’ harga, atau banting harga terhadap ‘nilai berita dan gambar’ yang selama ini mereka tawarkan hanya lewat televisi. Berita on line tv, menjadi dianggap mutlak, seiring beralihnya ‘mata penonton’ dari TV ke berita-berita internet. Sebaliknya, berita-berita internet yang memperoleh ‘high rating’ atau ‘most viewed’ berubah menjadi konsumsi atau berita TV, betapa pun menjadi sekedar pengulangan.

Koran atau majalah, khusus di Indonesia, mungkin tidak akan segera tergantikan dengan media internet. Anda masih dapat menjumpai sejumlah pemerintah daerah atau wilayah-wilayah lain di Indonesia yang masih mengurus perijinan Radio atau TV lokal, hingga mendirikan koran atau buletin lokal. Peran perangkat sarana informasi ini mungkin saling melengkapi, terutama di daerah-daerah Indonesia yang masih sulit dijangkau dan disatukan dalam media tertentu.

Media cetak di Indonesia mungkin tak akan tergantikan, atau nasibnya setragis di Eropa Utara. Tapi, kita mengalami adanya perubahan sosial dan watak pembaca media cetak, penonton tv, dan pengguna internet, hingga pendengar radio pada saat yang sama. Koran cetak tidak dapat berfungsi lagi sebatas semacam editorial dari berita on line. Ia akan menjadi sebuah pilar bisnis, nyaris tanpa berita. Prihatin memang, bila media cetak menjadi sekedar iklan berberita.

*) Penulis, pebisnis dan peneliti sosial

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun