[caption id="attachment_182802" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
“Kita melihat harga BBM yang tak kunjung diputuskan. Penundaan kenaikan harga BBM pada tahun 2001, telah menimbulkan anggapan luas di masyarakat bahwa Pemerintah menjadi sponsor terbentuknya “black market” BBM, dan juga secara tidak langsung memicu lebih jauh kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat...”. Ini bukan salah ketik. Itu sepenggal pidato almarhum DR. Sjahrir tanggal 14 Januari 2002, kepada Ormas Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) di Grand Hayyat Jakarta, sebagai pidato politik dalam rangka peringatan 28 tahun Peristiwa Malari 1974.
Saya merasa ‘beruntung dalam kemalangan’, untuk mendapat kembali pidato Sjahrir sepuluh tahun silam ini, atau lebih dari 38 tahun setelah Malari, karena, pertama, situasi Indonesia sekarang nyaris mirip tahun 2002; dan kedua, sejumlah kerabat Sjahrir, yakni Rahman Tolleng, Hariman Siregar, Salim Hutadjulu, dan tokoh lain masih giat hingga hari ini. Salim Hutadjulu bahkan ikut berdemo rencana kenaikan harga BBM Maret 2012. Mereka hidup tidak ‘senyaman dan seenak’ Koruptor.
Sjahrir, Malari 1974, Mei 1998 dan Pasca-1998
Pidato Sjahrir 14 Oktober 2002, menjelaskan bukan hanya berulangnya suatu situasi yang persis sama satu dekade lalu (2002), tetapi juga menempatkan bagaimana cara pandang Sjahrir atas Peristiwa Malari, Perjuangan Mahasiswa 1998, dan Pasca 1998.
“Besok, adalah tanggal 15 Januari 2002, persis 28 tahun setelah 15 Januari 1974. Peristiwa yang dikenal sebagai Peristiwa Malari, sampai kini belum mendapat resolusi final yang secara mendasar, dan dapat memberikan pemahaman kepada kita dalam mempelajari Sejarah Indonesia Modern”, demikian alinea kedua Pidato.
Dalam alinea yang sama, Sjahrir memberi eksplanasi atas apa yang disebut teori “teori killing ground”, yang menjelaskan seluruh rangkaian dan konteks peristiwa Malari. Bahwa, Malari adalah upaya untuk menggiring aktivis, khususnya mahasiswa dan pemuda, sebagai orang-orang yang dianggap bertanggung-jawab atas berbagai kerusuhan (vandalisme atau anarkhisme) yang terjadi. Ya, kriminalisasi pemuda-mahasiswa, victimized the victim.
Masih dalam alinea ke-2 itu, Sjahrir menghubungkan Malari 1974 dan Peristiwa Mei 1998, katanya “Perkenankan saya sejenak menoleh pada Peristiwa Mei 1998, di mana pemicu terpenting dari pelbagai kerusuhan adalah ditembak matinya mahasiswa-mahasiswa Trisakti (13 Mei). Puncak gerakan reformasi adalah jatuhnya Presiden Soeharto. Tapi, sebenarnya itu skenario buruk “Teori Provokasi” yang sebenarnya dimaksudkan Soeharto untuk dapat melakukan represi yang lebih keras terhadap mahasiswa-pemuda dan mereka yang vokal. Di luar perkiraan skenario Soeharto, dia harus tergilas oleh skenarionya dan mengundurkan diri atas kemauannya sendiri.
Alinea selanjutnya, Sjahrir mengungkapkan, bahwa tidak seperti situasi “teori killing ground” dan ‘teori provokasi’, Sjahrir mengatakan, bahwa “yang terjadi pada tahun 2002, dapat menjadi benih-benih dari suatu keadaan yang lebih serius dari Peristiwa Malari maupun Kerusuhan Mei 1998. Sjahrir kemudian, menyatakan keprihatinan atas tiga hal itu: pertama, terbentuknya “black market” BBM atau tidak menentunya kenaikan harga BBM dan dengan sengaja menciptakan ketidak-pastian harga BBM untuk suatu keuntungan kelompok tertentu; kedua, black market of justice atau telanjangnya peradilan dan persamaan di depan hukum serta law enforcement; dan ketiga, conflict of interest dari kekuasaan, dan contoh yang diambil adalah Taufik Kiemas yang anggota DPR RI, tetapi juga suami Wakil Presiden Megawati, yang harus menangani urusan yang seharusnya tidak diurus oleh Taufiek Kiemas.
Relevansi Pidato
Tahun 2004 Sjahrir menerima tawaran menjadi salah satu Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) SBY untuk bidang ekonomi dan menjadi bagian dari kekuasaan. Sebagai salah-satu Ketua Ex-Officio Partai PIB, saya terakhir kali bertemu Sjahrir, ketika menyerahkan amplop permohonan penundaan eksekusi Tibo Cs di depan rumah pribadi Sjahrir, pertengahan tahun 2006, dan kembali Juli 2008 untuk melayat dengan kedukaan yang dalam. Di situ, saya bertemu SBY lagi. Keadaan gelapnya keadilan (black market of justice), makin lebih tragis terjadi di bawah pemerintahan Presiden SBY. Keyakinan masyarakat adalah, hukum sebagai panglima hanyalah retorika yang kosong. Anggota Wantimpres yang diduga terlibat Korupsi hari ini, adalah bagian tragedi pemerintahan SBY.
Herannya, 10 tahun kemudian demam isu kenaikan BBM masih terasa dan akan terus terasa. Demonstrasi telah dianggap sebagai alih-isu terhadap proses pengadilan dan merosotnya legitimasi Presiden SBY di mata masyarakat. Karena, isu sosial hingga pengkriminalan ‘kelompok teroris’, misalnya, makin tumpul sebagai alat pengalih isu. Ibaratnya, orang dungu ditipu berulang akan bijak juga. Ini saya sebut ‘teori alih isu’, menjadi teori ketiga, karena laris digunakan di bawah pemerintahan SBY.
Tentang sinyalemen kedua Sjahrir akan conflict of interest ketika itu, adalah soal Taufik Kiemas dan Wakil Presiden RI Megawati yang adalah isterinya. Sepuluh tahun kemudian atau hingga hari-hari ini, benih-benih revolusi yang dikhawatirkan Sjahrir hanya tertunda. Isu BBM, gelapnya keadilan di bidang penegakkan hukum, dan conflict of interest kekuasaan dalam ruang belakang pemerintahan Presiden SBY, misalnya, antara lain bau amis dapur Partai Demokrat, perlahan sulit ditutupi.
Pemerintahan SBY tinggal memilih ‘teori killing ground’, ‘teori Provokasi’, atau ‘teori alih isu’, untuk memperpanjang kekuasaan konstitusional. Orang tidak perlu menghabiskan sisa waktu dua tahun bicara waktu akhir konstitusional. Karena esensinya telah bergeser. ‘Enak aja, turun waktu seperti sekarang’, ini lebih buruk dari menjatuhkan Presiden.
Sjahrir mungkin sengaja tidak sebut bentuk revolusi lain. Pernyataan-pernyataan SBY, setelah 2x9 kebohongan, komentar Ulama adalah “Speechless, kami tidak dapat bicara apalagi!” Jean-Paul Sartre adalah filsuf beri penjelasan dalam peran dari manusia untuk menyapa sesama. Hilang kata suatu kesengajaan, seperti mogok komunikasi, adalah tragedi dan revolusi. Saya memandang, alim-ulama telah memulai revolusi. Perlawanan diam oleh Ulama, dapat berarti tertutupnya Pintu Akhirat bagi penguasa lalim. Hilangnya kata, karena semua disampaikan berulang, sebelum dan ketika SBY sedang memerintah. Hari ini tidak ada pidato. Sjahrir tidak akan lagi berpidato. Benih revolusi diam sedang berkembang...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H