Menyusul gempa 6,4 SR di kepulauan Maluku Utara pagi ini (Senin, 14/11), rangkaian kegempaan di sejumlah patahan aktif di wilayah Indonesia yang terjadi belakangan, kembali diperbincangkan publik. Melakukan antisipasi dengan kehati-hatian berlebihan adalah tidak perlu. Tetapi, menyampaikannya secara bombastis seperti disampaikan Andi Arif, stafsus Presiden untuk Mitigasi bencana, juga malah menimbulkan irrasionalitas lain.
Tetapi, suka tidak suka, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) tetap perlu menyampaikannya. Masyarakat mungkin tidak perlu mengetahui secara detail strategi dan antisipasi serta persiapan Tim Mitigasi Bencana. Tetapi, informasi media perihal kegempaan tetap perlu mendapat sikap dan komentar dalam rangka tugas mitigasi bencana secara standar. Karena, masyarakat secara luas telah menyadari wilayah Nusantara sebagai “cincin api” bencana.
Masyarakat mudah berspekulasi, misalnya, soal Gempa dan tsunami Aceh tgl. 26 Desember 2004 berkekuatan 9 SR, dapat dikatakan berantai dengan bencana gempa di Manokwari, Minggu 4 Januari 2004 (02.43 WIT). Pada bencana dinihari waktu setempat itu, tercatat empat orang tewas dan delapan luka parah, dan puluhan luka ringan. Kekuatan gempa berkisar 7,6 SR dan gempa susulan 5,2 SR.
Para ahli kegempaan atau letusan gunung cenderung menghindari spekulasi rangkaian kegempaan dalam hubungan sebab akibat. Toh, pada kenyataan rangkaian kegempaan atau letusan gunung mudah dan lumrah dispekulasikan masyrakat.
Dalam bulan November 2011 telah terjadi gempa di beberapa tempat. Di Nusa Dua, Bali, terdapat Gempa 5,2 SR di kedalaman, 4/11/2011, 21.59 waktu setempat, di kedalam 70 Km. Penduduk Nusa Dua sempat dibuat panik. Keesokan harinya, tgl 5 November, terjadi gempa dengan kekuatan 5,4 SR di Ujung Kulon, Banten, pkl 04.31 di kedalaman 10 Km. Kembali gempa terjadi keesokan harinya Minggu lalu (tgl 6/11), di Merak Banten, pada 5,2 SR, kedalaman 159 Km, pkl 11.41.
Gempa di Maluku Utara hari ini (14/11), pkl 11.05 WIB, mencapai 6,4 SR di kepulauan Sanana dan Labuha, di kedalaman 10 Km, di perairan perbatasan Maluku Utara dan Sulawesi Utara. Informasi rantai kegempaan dan perhatian publik secara wajar, diperlukan tanpa panik. Tapi, juga tidak dengan sikap apatis dan pandang remeh. Sikap wajar perlu, yaitu antisipatisi secara wajar. Itu tugas Tim Mitigasi Bencana.
Catatan Buruk BMKG dan Tsunami Mentawai
Kita bahkan punya pengalaman buruk, bahwa ketika gempa dan tsunami Mentawai, Sumatera Barat, tahun 2010. Awal mula terjadinya sunami mentawai berawal dari gempa berkekuatan 7,2 skala Richter (7,7 SR versi USGS) mengguncang kawasan Mentawai, Sumatera Barat, pada pukul 21.42 WIB, dimana gempa tersebut dinyatakan berpotensi tsunami, kemudian pada sekitar pukul 22.38 WIB, peringatan tsunami dicabut dan dinyatakan nihil.
Seorang warga Australia Rick Hallet melaporkan hal sebaliknya dan menjadi saksi peristiwa tsunami yang diperkirakan setinggi tiga meter yang terjadi setelah gempa Mentawai. Pengakuan yang dimuat SkyNews Australia, Selasa 26 Oktober 2010, mencengangkan dunia. Hallet mengisahkan tragedi yang dialaminya, saat warga negara Indonesia tertidur lelap ketika itu.
Tentu, kita tidak sekedar bersikap seperti komentar ketua DPR RI dari Fraksi Demokrat Marzuki Ali, yang menuai kecaman publik itu. Masyarakat tetap perlu dipersiapkan menghadapi kenyataan bahwa negara kita rawan bencana.
Bagaimana tanggung-jawab publik sikap BMKG terhadap tsunami Mentawai pun, tidak jelas. Atau, memang seperti banyak kealpaan tanggung-jawab publik, yang diambangkan dan menjadi bencana kemanusiaan tersendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H