Dalam dialog dengan Syarifuddin Gazal atau Ismaturophi, keduanya dosen di STAIN (dulu IAIN) berbeda kota (Syarif di Ternate, Ismaturophi di Ciputat-Jakarta) awal 1990-an, kami mendiskusikan atau mensharingkan sejumlah essensi keimanan. Esensi salah satu makna kata yang kami bahasa itulah “munafiqun”.
Bermakna amat luas bagi tidak hanya kelompok keyakinan, tapi bagi kemanusiaan dan kemaslahatan umum. Kata itu, “munāfiq” atau “munafik”, adalahkata benda dari bahasa Arab: منافق, plural munāfiqūn) adalah terminologi dalam keyakinan Islam untuk merujuk pada mereka yang berpura-pura mengikuti ajaran agama namun sebenarnya tidak mengakuinya dalam hatinya.
Dalam pengertian itu, munafik dapat dipergunakan di ruang privat keyakinan Muslim, sementara implementasi sosialnya bermakna di ranah publik dan pranata sosial yang luas. Dalam Al Qur'an terminologi ini merujuk pada mereka yang tidak beriman namun berpura-pura beriman.
QS (63:1-3) (1) Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.(2)Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.(3)Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. Dalam Hadits, Nabi Muhammad SAW, dikatakan :"Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila (saat) berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya" (HR. Bukhari dan Muslim'').
Dalam padanan kata umum, kata “hypocrite” (hipokrit) sering digunakan dengan makna sosialnya. Kata benda Inggris Pertengahan “ypocrite”, sebenarnya berasal dari Anglo-Perancis yang turun dari kata Latin “hypocrita”, atau kata Yunani hypokritēs (hypokrinesthai) berarti “aktor”, dengan konotasi negatif, bertindak tidak sesuai dengan suara hati. Kamus Webster mengartikan hipocrite sebagai, “a person who puts on a false appearance of virtue or religion”, atau “a person who acts in contradiction to his or her stated beliefs or feelings”.
Dalam quick_englis-indonesian, kata "hipokrit" diterjemahkan dengan munafik, orang munafik. Webster memberi perluasannya, bahwa orang munafik adalah “One who plays a part; especially, one who, for the purpose of winning approbation of favor, puts on a fair outside seeming; one who feigns to be other and better than he is; a false pretender to virtue or piety; one who simulates virtue or piety”' [1913 Webster].
Munafik ditemukan pula dalam Bijbel. Lebih khusus Injil Matius pasal 23, 13-15. Kata-kata Yesus dalam pasal Injil Matius 23, secara langsung mengecam secara terbuka sejumlah pemuka Yahudi dari golongan Farisi dan ahli Taurat. Sikap paling dikecam dengan kata paling pedas itu, munafik. Perkataan Yesus ditujukan kepada para pemimpin agama Yahudi yang telah menolak setidak-tidaknya sebagian dari Firman Allah dan menggantikannya dengan gagasan dan penafsiran mereka sendiri (Mat 23, ay 23, ay 28):
"Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi , hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk."
Atau, Mat 23, 14, "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.
Tindakan paling mengerikan yang ditunjukkan media beberapa pekan sejak acara NONTON BARENG bukan BOLA KAKI, tetapi nonton bareng KELALAIAN sosok kayak artis dalam film heboh itu. Kita semua tidak setuju dan tidak membenarkan tindakan itu. Media Nasional, khusus elektronik berada dalam lampu merah pemberitaan. Kriteria munafik itu, tampak memenuhi CARA MEREKA menyiarkannya. Pelaku media menyadari hal itu, termasuk yang kameranya dirusak.
Tidak sedikit kata yang tak pantas disebut, apalagi ke media masa. Anda terus mengulanginya. Saya malu menulis lagi. Ingat pesan sosial keyakinan Anda masing-masing. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jauh dari peka. Ketika mestinya bertindak, malah diam. Ketika orang susah seperti Tukul dalam batas dan kewajaran, eh, malah KPI bereaksi. Ada apa dengan kamu KPI? Saya setuju, bila ada teguran keras ke media soal peliputan "sensasional" dan "tak bermutu" soal kelalaian itu.
Untung masih ada aktivis blogger Iwan Piliang, teman kita yang masih dan tetap berakal-sehat untuk banyak hal. Iwan meminta Polisi mestinya lebih dulu menemukan siapa penyebarnya, sebagai langkah hukum pertama! Bukan langsung ikut dalam keramaian mencaci. Malah menyiapkan pasal-pasal hukum. Setuju sikap Iwan. Setujua bahwa kami berbeda dengan media dan polisi: menghukum sebelum segala sesuatu jelas. Setuju bahwa kami juga tidak ikut kemunafikan. Kepentingan kami berdua berbeda dengan pengacara OC Kaligis: akal-sehat. Dan, tetap kami tidak menyetujui tindakan-tindakan adegan-adegan dan kelalaian menjaganya. Risiko. Berisiko. Lalai fatal.
Namun, semua orang berpeluang lalai dalam kreativitas.Mungkin Iwan dan saya takut ikut menunjukkan jari ke mereka yang baru dikira sesuai dengan public-figure tertentu itu. "Membersihkan serbuk kayu di mata orang lain, tetapi balok kayu di mata sendiri tidak terlihat!", petuah suci lainnya. Media (elektronik), hati-hati, ingin mendidik, eh bisa terjerembab sendiri. Munafik, jangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H