Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Trans-Jakarta, Trans-Seksual, dan Transaksi-Sosial

14 Juni 2010   05:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:33 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa keanehan muncul dari hal sederhana yang tampak sepele pula: berbaris berdasarkan jender di halte Trans-Jakarta. Luar-biasa kalau kita (terpaksa) harus menghormati pembagian PRIA-WANITA dalam jasa angkutan kota yang tak jarang menimbulkan kontroversi itu. 'Peraturan baru' berbaris berdasarkan jenis kelamin itu, datang setelah ramainya kisah sexual abuse yang berpuncak dengan laporan seorang wanita ke kepolisian Resor Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Pembahasan pembagian jender tidak berpretensi pada keyakinan iman yang menjadi wilayah privat.

Di ranah publik pembagian itu tampaknya perlu dicermati dan disikapi komprehensif, agar tidak malah menjadi bahan tertawaan, dan substansi permasalahan malah tertinggal tetap. Beberapa hari setelah pembagian itu, seorang pria berbadan kekar berlagak bak lady-boy, wanita-pria (wa-ria) menyindir petugas:"Terus aku di sebelah mana Mas?" (Kamis, 10/06/2010).

Meski dengan perdebatan seperti di kamar Toilet Pria-Wanita, seorang transjender ("entah mantan cowok" atau "mantan cewek"), pembagian itu langsung memberi mereka ruang keanehan pertama. Seperti pengecualian lainnya, tentu transjender bukan masalah serius kalau berbaris di baris PRIA atau WANITA. Masalah baru muncul apabila, misalnya seorang "Waria" (lady-boy) dilecehkan oleh seorang PRIA. "Amit-amit jabang bayi", kata pak Polisi, "masa waria bisa dilecehkan!" Apa iya ya... Dan, ini tentu tidak sebatas berapa sich jumlah wa-ria pengguna jasa angkutan itu.

Di hari lain (Jumat, 11/06/2010) ketika mencoba menaiki transjakarta, yang menyolok hanya acara berbaris menurut jenis kelamin itu antara tegas dan tidak tegas dalam antrean. Karena faktor jumlah calon penumpang tentunya. Saya jadi ingat ketika masih sekolah dasar dan harus berbaris seperti itu. Kalau Trans-Jakarta menganggap publik seperti para murid Sekolah Dasar, sebenarnya itulah keanehannya.

Seorang Ibu dan Suaminya kemarin (Minggu, 13/06/2010) sambil bergandengan, tampaknya melecehkan peraturan baris-berbaris itu. "Wah, bisa kehilangan isteri nich!" kata sang suami menyindir dengan suara protes, ketika seorang petugas Trans-Jakarta dengan kakunya meminta perarturan berbaris itu ditegakkan. Pasangan suami-isteri itu pun melepas tangan, dan baru bertemu kembali di dalam bis.

Peraturan itu sebenarnya BERTOLAK dari dasar faktual yang ada dalam proses yang mengganggu rasa keadilan sikap terhadap jender, atau terbalik mutlak. Adanya laporan pelecehan seksual terhadap seorang wanita yang melapor ke Polisi di jalur Blok M-Kota. Polisi sendiri kemudian menyatakan, bahwa TiDAK ADA PELECEHAN. Kecemasan 'tradisional' yang muncul bila seorang wanita yang dengan beban berat harus melaporkan sikap tak adil terhadap dirinya, malah menerima bahwa laporan itu dapat dianggap pembohongan. Pernyataan Kapolres Jakarta Selatan itu merupakan bentuk diskriminasi hukum terhadap wanita pencari keadilan. Ini berbeda azas dengan penerapan laporan dugaan terhadap Anand Krisnand. Kenapa ya, pak Polisi?!?

Anenya, setelah Polres Jakarta Selatan menyatakan tidak ada pelecehan, tetapi muncul peraturan baru ini. Kurang dari sepekan setelah ramainya pemberitaan itu, lahirlah ruang "Pria-Wanita", maaf, tanpa perbedaan pelayanan terhadap tua-muda, sehat difabel (diffrent ability), apalagi jenis "trans-seksual". Kasihan wanita pelapor itu, Karena Polisi menyatakan tidak ada cukup bukti.

Acara baris berbaris-berbaris itu juga berasumsi, bahwa pelecehan hanya terjadi antara dan antar Penumpang patut dipertanyakan, tentu fatal. Kalau transjakarta tidak (belum) menyolok, menjadi rahasia umum bahwa kereta dan bis-bis ibukota, pelecehan sering terjadi justeru oleh para petugas. Bisa oleh sopir dengan sengaja menjalankan kendaraan secara ugal-ugalan, ataupun para kondektur yang "ramah" (rajin menjamah) para penumpangnya, karena dia 'berkuasa' untuk itu.

Perlakuan yang hidup di tengah mental para kru angkutan itu dan terkadang menjadi sebab itu, sepertinya dianggap tidak ada. Memuat kendaraan sehingga penuh sesak, itu pelecehan terbuka terhadap para penumpang, entah berjenis kelamin apa pun. Jadi, kalau bis trans-jakarta tak sebanding dengan penggunanya, memaksa para petugas memuatnya semaksimal mungkin, karena itu peraturan pria-wanita hanya berlaku efektif saat sedikit penumpang, tapi tidak saat mereka terpaksa bergerombol di dalam angkutan.

Dinas Perhubungan hingga Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta harus bertanggung-jawab atas kesemrawutan operasional Trans-Jakarta. Termasuk di dalamnya ketidak-nyamanannya. Ekses transaksi masyarakat dengan peliknya masalah angkutan ibukota yang tiada habisnya, karena penduduk Jakarta yang mencapai 10 juta, dan di siang hari mencapai 15 juta orang karena masuknya warga Bodetabek.

Dengan pelbagai detail faktual lainnya, yang sama sekali tidak menyentuh substansi peraturan baru itu, berbaris berdasarkan jenis-kelamin, Peraturan PRIA-WANITA segera ditiadakan. Itu penghinaan tak terkira terhadap para Penumpang, khususnya penumpang PRIA (yang dianggap agen-pelaku utama pelecehan).

Laporan orang yang menjadi korban pelecehan, umumnya wanita, harus ditanggapi serius oleh petugas Kepolisian. Bayangkan kalau itu Orang-tua atau saudari perempuan Anda yang mengalaminya. Wanita bukan hanya penumpang yang rawan, tetapi kondisi seluruh kota Jakarta yang mencapai penduduk 10 juta jiwa, dan akan lebih karena warga Bodetabek yang masuk Jakarta terutama di siang hari, Trans-Jakarta tidak akan mengatasi masalah arus pergerakan warga ibu kota secara maksimal, apalagi hanya dengan ATURAN yang maaf, berulang dianggap ANEH itu. Tidak hanya meminimalisir situasi, malah menimbulkan banyak masalah baru, kalau tidak dikatakan peraturan itu lucu dan lebih pantas ditertawakan.

Dalam angkutan jenis apa pun, orang-orang bertransaksi sosial secara bebas, dewasa, dan bertanggung-jawab. Mereka menjadi lebih dewasa lintas kelompok, golongan sosial, keyakinan, ras, suku, hingga jender. Gesekan kecil atau besar dapat terjadi sebagai kewajaran. Yang tidak wajar, kalau penginisiatif jasa, pengelolah, hingga para penegak hukum melemparkan semua persoalan tampak menjadi tanggung-jawab penumpang.

Peraturan berbaris itu berasumsi para penumpang trans-jakarta hanya sejumlah anak usia sekolah dasar yang ditertibkan? Ataukah dimasuki sejumlah pria dengan niat tak terkendali menyerang wanita? Think twice, dan jadi bijak. Berbaris hanya masalah sepele, tetapi memalukan penginisiatif dan pengelolah jasa transportasi yang katanya aman dan nyaman bagi kelas menengah. Acara berbaris itu tidak memberi jalan keluar, malah membuat penumpang menertawakan para penyelenggaranya. Ingin menyelesaikan masalah dengan menciptakan lebih banyak masalah baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun