(Karikatur Jokowi oleh GM Sud, sumber: sragenpos) Deklarasi Gubernur DKI Jakarta Joko "Jokowi" Widodo sebagai calon presiden (capres) RI dari kubu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), tampaknya secara politik tidak lagi diragukan. Bahkan, sebagian telah meyakini bahwa sepekan sebelum pemilu legislatif tanggal 9 April, berarti pada awal bulan yang sama Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri tinggal menyatakan secara formal kepada publik. Deklarasi resmi pada waktunya itu akan mengakhiri spekulasi dan kegemesan publik simpatisan dan pendukung Jokowi setidaknya. Namun, di sisi lain tidak mengakhiri dinamika politik yang lain, baik yang berhubungan langsung maupun tak langsung terhadap pencapresan itu. Saya bahkan berpendapat, deklarasi itu dengan segala entusiasme yang menyertainya, tidak sepenuhnya di titik kulminasi ekspektasi publik. Hal itu terkait lima varian atau lebih faktor dan kemungkinan politik yang menyertainya. Pertama, mungkinkah Proses Hukum penyelidikan dan penyidikan pembelian Transjakarta, memasuki tahap baru. Dua instansi penegak hukum di bidang tindak pidana korupsi, yakni Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dan Kejaksaan masing-masing mengirim penyidiknya "secara bersama". Mungkin pihak Kejaksaan akan mengalah, bila KPK secara publik menyatakan akan memulai proses hukum, tanpa harus rebutan dengan Kejaksaan. Pernyataan politik seperti, "Terlibat atau tidak, Jokowi harus diminta keterangan", dapat bergulir di 'puncak' deklarasi Capres Jokowi. Kedua, tetap menjadi pertanyaan, "Entahkah "faktor" potensi kompetisi Walikota Surabya Tri Risma, yang nota-bene adalah "Kawan Politik" tidak berubah arah atau diubah-arahnya menjadi "Lawan Politik" PDI-P dan Jokowi? Para kompetitior politik PDI-P dan Jokowi mengenal persis "kebaikan hati" figur kompetitif Tri Risma ini dan melakukan argumen-argumen yang mengguncang hingga mengubah "pilihan dan putusan politik Tri Risma" pada setiap saat, tanpa diduga. Jejak hubungan Tri Risma dan PDI-P dapat menyajikan kemungkinan politik yang tak terduga sebelumnya. (Baca juga Kompasiana Kamis, 13/3/2014, "Jika, Tri Risma Dirivalkan Jokowi di Capres") Ketiga, tentang Gerindra, Capres Prabowo Subianto dan Wakil Gubernur DKI Basuki T Punama atau Ahok. Mungkinkah Gerindra tidak "memaksa" Ahok menjadi Cawapres Prabowo? Gerindera dan Capres Prabowo berada di persimpangan jalan, setidaknya ketika kepastian Jokowi dimajukan. Tidak untuk memperpanjang bahasan, kita berasumsi, bahwa sinyal yang pernah dinyatakan Megawati, bahwa dirinya dan Prabowo Subianto telah mempunyai 'komitmen' perihal Capres 2014. Mantan capres-cawapres 2009 itu amat mungkin melakukan komitmen-komitmen baru. Bahkan, setelah hasil Pemilu legislatif diumumkan. Artinya, jika Jokowi resmi dideklarasikan jadi Capres, Gerindra dan PDI-P mempertimbangkan Prabowo menjadi wakil, adalah sebuah kemungkinan. Tetapi, terlalu pagi menyatakan hal ini. Ini juga terkait faktor X cawapres Jokowi. Keempat, betapa pun poin ketiga itu diandaikan menjadi happy ending untuk kubu Gerindra dan PDI-P, masalah Cawapres Jokowi akan menjadi debat tersendiri, tidak hanya seputar dan sebatas Gerindra dan Prabowo. Karena, tetap terbuka Prabowo akan maju sebagai Capres dan 'memaksa' Wagub DKI Basuki T Punama atau Ahok untuk menjadi wakilnya. Tidak mudah membayangkan Prabowo 'berkerendahan hati' untuk bersedia menjadi pendamping Jokowi. Jadi, deklarasi bukan menjadi puncak yang mengkhiri kompetisi. Mungkin hanya mengakhiri sebagian, tetapi memulai kompetisi yang lain. Itulah sebabnya, Deklarasi Jokowi hanya akan melahirkan dan memulai kompetisi politik yang lain, bahkan dalam internal PDI-P. Kelima, problem Pemilu Legislatif 2014 secara keseluruhan, diwanti-wanti dapat dieksploitasi pada saat Deklarasi Jokowi. Memang, pengalaman masalah akurasi data Daftar Pemilih Tetap (DPT), hingga manipulasi mesin IT. Gangguan umum ini adalah masalah seluruh parpol. Sehingga irrasional untuk diarahkan menjadi gangguan yang terpola hanya karena 'cemburu politik' terhadap PDI-P dan terutama Capres Jokowi. Akhirnya, betapa pun pelbagai kemungkinan dapat terjadi, sikap untuk melakukan Deklarasi Capres Jokowi adalah sebuah Amanah Rakyat yang dibayar PDI-P. Rakyat menghargainya dengan partisipasi politik publik lebih tinggi. PDI-P dipandang melanjutkan proses reformasi yang tersendat, sekaligus memantapkan masa Transisi Indonesia kepada demokrasi modern. Kehati-hatian mengkultus-individukan seorang Jokowi dari pimpinan PDI-P, juga dihargai publik. Akhirnya, semuanya untuk kemaslahatan umum rakyat dan bangsa Indonesia, siapa pun Pemimpinnya. Rakyat dan PDI-P (segera) memberi mandat kepada Jokowi. Kepastiannya adalah momentum deklarasi itu.**** *) Penulis, pemerhati sosial, pengajar di President University Jababeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H