Metode hitung cepat atau Quick Count (QC) telah menjadi salah satu sarana penting dan relatif dipercaya publik, maka menjadi media komunikasi Pemilihan Umum (Pemilu) Kepala Daerah hingga Pemilu Presiden di tengah masyarakat Indonesia. Menjamurnya lembaga QC (ataupun polling) di samping membangun ekspresi-ekspresi positif demokrasi, ia membawa serta skeptisisme dan sikap kritis masyarakat terhadap seberapa besar obyektifitas hasil-hasil survei, serta fraktor integritas dan tanggung-jawab etis-moral para penyelenggara. Topik-topik seperti "Lingkaran Survei Indonesia Bantah Surveinya Hasil Pesanan Golkar", "PDI-P Tak Gubris Hasil Suvei Pesanan Parpol", atau "Demokrat Sorot Survei LSI Sarat Kepentingan Politik", dan seterusnya.
Hal ini bertolak dari kenyataan, bahwa tidak sedikit Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) telah menggeser obyektifitas hasil survei, dan bahkan terkadang terbuka menjadi alat kampanye para kompetitor. Maka, tidak cukup hanya bersikap sinis terhadap hasil polling dan QC, sebaliknya membangun kontrol publik terhadap hasil polling dan QC.
Mengapa QC begitu penting dalam Pemilu Legislatif? Menetapkan ambang batas angka parlemen atau parliamentary threshold (PT) yang 4 % dan Presidential Threshold (20%) agar partai secara sendiri dan tanpa gabungan dengan partai lain, dapat menentukan calon presidennya sendiri. Pada hemat saya, tahun 2009, penetapan angka batas parlemen menjadi sangat rawan, jika tidak terus terang dikatakan menjadi "alat transaksi" para stake-holders atau stock-holders.
Pada kenyataannya, dalam skala berbeda hasil Pemilukada di sejumlah daerah mengindikasikan pula aspek 'manusiawi' lembaga penyelenggara dan manusia di dalam lembanga mbangun saling kontrol positif. Rivalitas antara "lembaga survei" berjalan paralel dengan rivalitas "obyek suvei" merendahkan sebuah nilai obyektivitas dan rasional dalam hakekat ilmiah QC dan polling. Namun, tak bisa disangkal pula bahwa sejumlah hasil QC' ataupun polling telah menjadi 'alat' kampanye lembaga dan 'sponsorship' penyelenggara yang sulit bebas kepentingan. Polling dan QC jadi rawan terhadap distorsi dan boncengan kepentingan.
Perbedaan parliamentary threshold yang dibutuhkan partai-partai, terutama Partai dalam "garis merah" terdegrasasi menjadi "partai Non Parlemen" dapat diubaha oleh sebuah formasi polling hingga pemboncengan 'QC'. Hal ini akan dibuat rumit dengan masalah umum lain terkait akurasi data hingga kritik publik terhadap peluang manipulasi dalam internal penyelenggara Pemilu.
Maka, pelbagai faktor ini turut memberi konteks pentingnya sebuah QC dan lembaga penyelenggaranya dalam "menentukan" dampak hitungan nol koma (0,..) terhadap nasib Partai-Partai (hingga nasib Calon Presiden) kelak. Tanggung-jawab pelbagai pihak, tertama tuntutan etika-politik atau nurani Lembaga Penyelenggara Quick Count agar makin menjadi "manusia Indonesia seutuhnya" dalam menyelenggarakan Pemilu (legislatif dan Presiden), menjadi penting.
TV dan QC: Kompas Acuan Masyarakat?
Masuknya pemilik dan pelaku media dalam politik praktis, suka tidak suka, akan berpengaruh terhadap minat dan 'trust' masyarakat terhadap hasil hitung cepat atau QC yang akan diumumkannya. Menyebut sebagai salah satu contoh, televisi berberita Metro-TV, Partai Nasdem, Surya Paloh dan lembaga surveinya. Hal yang sama berlaku bagi hasil QC media TV-One (ANTV) milik politisi Golkar Aburizal Bakrie. Demikian juga, group media cetak elektronik di bawah pimpinan politisi Partai Hanura Harry Tanoesoedibjo atas RCTI-MNCTv-GlobalTV dan koran SINDO.
Pernyataan Direktr Eksektif P0l-Tracking Institute Hanta Yuda dalam Pencapresan Jokowi Pengaruhi Hasil Semua Partai (Kompas.com 26 Januari 2014), bahwa "Partai lain dalam survei tersebut kurang berpeluang menembus PT (parliamentary threshold atau ambang batas)," masih tetap menjadi pertimbangan serius sejumlah partai Politik dan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Angka-angka awal QC sungguh menjadi perhatian serius  semua pihak, baik KPU dan Bawaslu, terutama masyarakat. Rivalitas Angka (obyektif dan interese) akan sangat menjadi perhatian semua pihak, setelah TPS-TPS dinyatakan ditutup secara nasional.
Masyakat akan membandingkan semua QC dari Lembaga dan TV penyelenggara dan penyiarnya. Mungkin media TV Kompas akan menjadi salah satu yang relatif bebas kepentingan langsung hasil survei. Angka-angka QC-nya akan menjadi acuan masyarakat, KPU dan Bawaslu. Bahkan, TV dan lembaga survei lain.
Sebagai warga negara yang akan menggunakan Hak Memilih, saya tidak golput, maka saya tidak bebas kepentingan ketika harus mengurai keruwetan konflik kepentingan para stake dan stock holders Pemilu Legisltatif (dan Presiden). Tetapi, kepentingan publik yang obyektif meminta seluruh warga negara mendorong berkurangnya interese (privat) di ruang publik.
*) Penulis, dosen Filsafat Negara pada President University
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H