Banyak orang, tepatnya kebanyakan komentar,  menyindir usulan  menteri HAM(Hak Azasi Manusia) kabinet merahputih Natalius Pigai, yang meskipun mungkin sudah punya alasan-dasar berharap kementriannya ditingkatkan budgetnya hingga 20 trilyun rupiah dari sebelumnya kurang dari 100 milyar rupiah. Komentar-komentar  itu wajar bila datang dari publik yang kurang paham masalah hokum dan hak azasimanusia. Komentar itu menjadi serius, kalau datang justeru dari kalangan ilmuan atau praktisi hokum (apalagi pemerhati hak azasi manusia).
Adil jika publik boleh menanti, penjelasan dan sosialisasi agenda menteri HAM Pigai yang mengakui dirinya adalah anggota kabinet yang berasal dari lapangan praktisi, sebagai komisioner Komnas HAM periode lampau. Jadi, menteri Pigai sudah "kerja dan ahli" di bidang HAM sebelum jadi menteri.
Sebaliknya, sebagai pemerhati HAM, praktisi hokum dan pengajar, saya menerka-nerka agenda menteri Pigai, dengan tiga alasan berikut, di tengah arus apriori, ya cenderung suudzon, pada angka budgeting menteri Pigai. Maka, di bawah ini, kami melempar tiga alasan ini untuk jadi barometer dan ditimbang komentator.
Alasan Normatif: Tiga puluh (30) Macam Hak Asasi Manusia Menurut PBB
Secara normatif, PBB menyebut 30 butir HAM. Maka, kita sederhanakan lagi, bahwa, mestinya, potensi pelanggaran HAM atau yang telah dilanggar, dalam pemikiran menteri Pigai, satu butir HAM di PBB ditangani dengan 1 (satu) trilyun rupiah. Maka, 10 butir HAM bisa "belum diprioritaskan", bahkan tidak dihiraukan, atau bisa digabungkan dulu dengan butir HAM yang lain.
Sebut saja tiga butir HAM PBB, di bawah ini:
1. Terlahir bebas dan mendapat perlakuan sama. Kita semua dilahirkan bebas. Kita semua memiliki pemikiran dan gagasan kita sendiri. Kita semua harus diperlakukan dengan cara yang sama.
2. Hak tanpa ada diskriminasi. Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan tanpa pembedaan apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau lainnya, asal kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran, atau status lainnya.
3. Hak untuk Hidup. Kita semua memiliki hak untuk hidup, dan hidup dalam kebebasan dan keamanan.
4. Dan dua-puluh tujuh lainnya, sebagai ilustrasi
Alasan Kedua:Â terkait pelbagai Pelanggaran HAM
Di Indonesia ada 17 kasus peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi, antara lain Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Wasior 2001-2002, Wamena 2003, Pembunuhan Dukun Santet 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, Rumah Geudong 1989-1998, Timang Gajah 2000-2003 dan Kasus Paniai 2014. Seluruh peristiwa tersebut sudah diselidiki oleh Komnas HAM.
Dari belasan peristiwa yang telah diselidiki Komnas HAM, disebut empat peristiwa yaitu, Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura dan Paniai telah memiliki keputusan pengadilan. Meskipun hasilnya belum memberikan keadilan bagi para korban.
Hidup sinikal aktivis HAM: "Belum menjaga dan menegakkan HAM sudah melanggar". Dua-duanya berbiaya (mahal)!
 Alasan Ketiga, bersesuaian Agenda  presiden: Makan siang gratis
Bahwa agenda makan siang gratis dari presiden Prabowo yang diperkirakan mencapai Rp.460 trilyun adalah salah satu bagian (kecil) satu dari 30 butir HAM PBB.
Jadi, tidak keliru bahkan tepat pilihan presiden Prabowo untuk Saudara Natalius Pigai menjadi Menteri Hak Azasi. Natalius sudah khatam dalam penanganan Hak Azasi di lapangan praksis.
Menurut hemat saya, saudara menteri HAM dalam kabinet merah putih Natalius menguatkan dan mengkomunikasikan kekayaan dan kedalaman visi dan target penanganan masalah HAM kepada publik segera, untuk meyakinkan presiden dan publik, sehingga publik dan saya bisa berujar, apalah arti 20 trilyun rupiah  untuk 30 hak azasi manusia versi PBB. Lebih menyederhanakan lagi, bila setiap butir HAM PBB di mata menteri HAM sepantasnya 1 trilyun, karena target dan akuntabilatas yang menyertainya menuntut itu?
Kita negara Hukum, bukan negara kekuasaan. Kalo HAM dibudgetkan murah-meriah melatarbelakangi kedangkalan pikir sejumlah praktisi hokum dan ilmuan, kasihan amat saya pada mereka. Apalagi, dengan embel-embel penasihat presiden dengan ingin mengintervensi hak prerogatif presiden dalam menentukan anggota kabinetnya. Praktisi dan ilmuan sedemikian berpotensi melanggar HAM secara verbal.
Jadi, siapa bilang 20 trilyun usulan menteri Pigai itu terlalu besar? Tiga alasan di atas menyimpulkan, bahwa, bahkan 30 trilyun pun --asosiasi 30 butir HAM PBB, biaya menteri Pigai relatif masih terlalu kecil.... Â tergantung seberapa dalamAnda mau seriuskan berpikir dan mengurus masalah HAM-mu. Jangan sampai budgeting HAM-mu balik menakar kedalaman hatimu. Kiranya, Pigai (akan) menuntunmu memahaminya.
Penulis adalah pengajar, praktisi Hukum (Advokat), dan aktivis HAM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H