Ignas Kleden adalah Ignas pertama yang ingin saya kutip sebagai sosok antropolog, sosiolog, sastrawan Indonesia yang pemikiran-pemikirannya dalam dunia sastra menjadi refleksi yang tajam dan dalam tentang kehidupan, khususnya kepemimpinan Indonesia sebagai Negara Maritim. Seacara pribadi saya bertemu dan dikenal pula oleh Beliau, entah bersama dalam forum yang dihadiri sastrawan Goenawan Mohammad, sosiolog Thamrin Amal Tomagola, HB Jassin, dan sastrawan lainnya.
Ignas kedua bukanlah penulis buku. Setingginya, ia pencatat sejumlah peristiwa. Ia hanya menjadi narasumber atau penutur untuk genealogi dasar klan Rahawarin, sekelumit kependudukan Tentara Jepang, hingga penutur sejumlah fakta sejarah kepulauan Kei di Maluku, yang sejalan dengan tulisan Mohammad Adnan Amal, Christian Frans van Fraassen, hingga Rumphius, tentang nyaris hilangnya, misalnya, Kerajaan Utan Faak Roa dalam tata ideologi Fala Raha Maloko Kie Raha di Maluku Utara dan diterapkan dalam kerajaan-kerajaan Kecil di Kepulauan Kei (Ryan Todd, Little Kingdoms in Kei Island). Nota bene: Ryan Todd menggunakan salah satu catatan kami dalam Kompasiana, 19 Oktober 2009 "Tommy Winata dan Feodalisme Suku Kei, Maluku", sebagai referensinya). Tanpa sejumlah titik tuturan sejarah dari Ignas Rahawarin,ambisi saya untuk menyusuri suatu geneaologi,ideologi, morfologi, konteks sejarah dan antropologi itu hidup akan menjadi sia-sia,atau lenyap terkubur. Bahkan, penelitian genealogi telah melibatkan keyakinan akan hidayah sejarah atau historical revelation tertentu, dengan kawalan standar metodologi penelitian tentunya.
Tema Sentral: Kepemimpinan Kapita Laut
Ignas Kleden, ahli dari pemikiran Antropolog kenamaan Clifford Geertz, cukup sering mengungkapkan dan berulang menekankan, bahwa Indonesia adalah negeri kepulauan, mungkin negeri kepulauan terbesar di dunia. Dari seluruh keluasannya sebesar 1.923.715 kilometer persegi, dua pertiganya terdiri dari laut. Sekalipun daratan hanya membentuk sepertiganya, boleh dikatakan orientasi penduduk negeri ini adalah ke daratan. Padahal, sebelum kedatangan orang Barat pada awal abad ke-16, yang diteruskan dengan sejarah kolonisasi, pelayar-pelayar dari kawasan ini telah melanglang buana lewat lautan, dari Filipina hingga ke Madagaskar, dari Lautan Teduh hingga ke India.
Kini, penduduk pesisir bukan menggantungkan hidup pada laut, melainkan pada pertanian, entah sawah entah ladang. Menangkap ikan dan mengolah sumber daya laut hanyalah pengisi waktu senggang untuk mendapatkan lauk-pauk dan memperoleh sedikit tambahan pendapatan kalau orang sedang tidak bekerja di kebun.
KlPesan utama Kleden dari kepemimpinan Kapita Laut adalah seperti semua kapten laut, ya kapita laut dalam perahu Bugis cukup sering disebut,dia akan memastikan, bahwa semua penumpang dalam sebuah kapal akan bertindak menyelamatkan semua penumpang terlebih dahulu,barulah ia menyelamatkan dirinya terakhir. Dalam tragedi bilamana kapten tidak dapat menyelamatkan kapalnya, etika heroik tertinggi kapita laut adalah merelakan dirinya bersama kapalnya masuk ke dalam laut, asalkan penumpang (sebanyak mungkin) selamat.
Ignas Kleden, Sosiolog dan Kritikus Sastra,menulis artikel ”Dari Laut dengan Kapitan Perahu” (Maret 13, 2020), dalam Beranda Negeri.com, sambil mengutip Chairil Anwar mengingatkan demikian, “Kalau kita ingat bahwa Indonesia adalah Negara kepulauan, dan bila diingat juga bahwa tradisi kelautan mempunyai akar sejarah yang demikian mendalam, patutlah dipikirkan, apakah mungkin, dan bagaimana caranya, pola ini dapat diterapkan dalam politik Indonesia saat ini, yang menghadapi masalah serius mengenai kepemimpinan. Penyair Chairil Anwar bahkan sudah menulis puisi tentang laut pada 1946:
Beta Pattiradjawane
Kikisan laut berdarah laut
Beta Pattiradjawane