Bicara soal masa lalu dan masa sekarang, tentu perubahan akan terus terjadi. Setiap individu dari masa ke masa akan bertumbuh dengan pengetahuan baru dan kebetulan saat ini teknologi mendukung untuk hidup berdampingan dengan setiap individu.
Lantas, apakah perubahan juga terjadi pada bidang jurnalisme? Apakah produksi dan konsumsi dari jurnalisme menunjukkan perbedaan jika dibandingkan dengan zaman dulu sebelum digitalisasi booming?
Sebelum kamu menjawab pertanyaan tersebut, simaklah tulisan ini yang akan menjadi acuanmu untuk menjawab pertanyaan yang ada.
Dulu, sebelum era digital berkembang pesat, saya yang berumur 7 tahun di tahun 2007 sadar betul akan pentingnya informasi hanya dapat saya peroleh melalui televisi atau koran. Dengan menonton televisi yang terdapat reporter maupun presenter yang menjabarkan informasi, saya langsung mengetahui berita terkini yang sedang terjadi. Begitu pula dengan koran yang setiap pagi selalu saya nantikan untuk dibaca bersama ayah.
Namun jika melihat situasi sekarang di zaman serba digital, rasanya susah menemukan koran, menonton televisi pun sudah jarang karena adanya smartphone yang selalu memberikan informasi up to date bahkan informasinya berlimpah. Lantas, bagaimana keadaan koran dan televisi?
Meluasnya pemanfaatan internet di era digitalisasi, perlahan mengubah pola penduduk dalam mengakses informasi dan berdampak pula pada cara kerja media untuk menyampaikan informasi.
Koran yang dulu hanya berbentuk media cetak, mau tidak mau harus beradaptasi dengan keadaan digital dan beralih menjadi media online. Bahkan, media sekarang gencar untuk mengembangkan situs jurnalisme warga dan membuka peluang untuk menjadi kontributor bagi tulisan warga.
Tentu digitalisasi banyak mendatangkan perubahan yang baik pula, beberapa warga secara mudah mengakses informasi dan kehadiran jurnalisme warga sangat membantu untuk mendapatkan berita tanpa terhalang ruang dan waktu, namun tentu ada dampak lain yang tidak bisa disepelekan.
Media informasi yang dulu sangat lekat dengan proses verifikasi dan mengagungkan sebuah konten, sekarang kebanyakan media (walaupun tidak semuanya) menggunakan resep klasik untuk bertahan di era digital yakni "Kejar kecepatan dan jual sensasi".
Sensasi menjadi hal utama dan kunci agar media dapat tetap memiliki nama bahkan tak jarang akurasi informasi tidak menjadi poin utama. Media online lebih tergoda untuk memberikan informasi yang 'ingin' dibaca bukan yang 'seharusnya' dibaca.
Namun, di balik semua dampak digitalisasi, tentu untuk kamu yang memiliki cita-cita sebagai jurnalis profesional harus memahami konsekuensi menjadi seorang jurnalis di tengah digitalisasi ini. Seorang jurnalis harus memperdalam skill, harus mampu bekerja multitasking, terbuka terhadpa teknologi, dan masih banyak lagi agar dapat bertahan menjadi jurnalis di era digital.