Jika ditanya apa yang saya lakukan selama pandemi, jawabannya hanya satu, "menonton drama korea alias bucin oppa". Namun, baru-baru ini saya mendapatkan rekomendasi untuk menonton film "Her" yang dirilis pada tahun 2013 lalu dan seketika saya merasa "wah, kita banget nih filmnya". Secara tidak langsung, menonton film ini juga membangkitkan cerita masa lalu saya kala ditinggal doi. Haha...
Awal menonton film Her (2013), saya merasakan kebosanan karena memang jalan ceritanya terkesan lambat dan penataan layar cenderung minimalis (mungkin hal ini untuk memperkuat jalan ceritanya). Walau bosan, saya tetap melanjutkan film ini karena penasaran sebagus apa film ini.Â
Mulai terbiasa dengan film beralur lambat, saya mulai merasakan film ini lekat dengan kehidupan yang sedang saya jalani, mungkin kamu juga sedang dalam posisi ini?
Her(2013) menceritakan tentang sosok Theodore Twombly (Joaquin Phoenix) yang introvert dan cenderung anti sosial. Theodore kerap melewati harinya seorang diri sambil bermain video game.
Keseharian seperti ini sudah dijalani oleh Theodore selama kurang lebih satu tahun dan berawal dari retaknya hubungan bersama sang istri, Catherine Klausen (Rooney Mara).
Kesepian, satu kata yang cocok untuk Theodore. Rasa hampa yang dialami Theodore seakan menyentil saya yang sedang dalam fase mencari jati diri. Saya sering berada di posisi Theodore, berada di keramaian namun merasa sendiri.Â
Film yang disutradarai oleh Spike Jonze ditulis dalam kurun waktu 5 bulan dan Spike Jonze turun tangan untuk pertama kalinya dalam penulisan naskah. Semua usaha tentu terbayarkan dengan penghargaan yang didapat film Her (2013) ini.Â
Penggambaran keadaan yang suatu saat akan terjadi di masa depan, dalam artian kecanggihan yang semakin menjadi, tentu akan berdampak bagi kehidupan semua orang. Film bergenre romantis dan sci-fi yang diproduksi Warner Bros mungkin hanya dianggap sebatas sebuah film belaka, namun tidak ada yang tahu, bisa jadi film ini menjadi nyata?
Selanjutnya, saya ingin mengajak kamu untuk melihat film Her (2013) melalui paradigma fenomenologi. Sudut pandang ini mengajak kita untuk memaknai film Her (2013) berdasarkan pemaknaan secara sadar dari pengalaman seseorang yang erat dan saling berkaitan (Hasbiansyah, 2008)
Menyamakan sudut pandang kita akan mempermudah dalam mengerti tahap selanjutnya tentang film Her (2013) yang akan saya bahas.
Film Her (2103) berangkat dari ide dan juga realitas di masa depan mengenai kehadiran AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan. Kecerdasan yang diprediksi lebih canggih daripada siri.
Penggambaran film juga cukup detail namun klasik mengenai kemajuan teknologi. Jika dilihat dari scene awal, Theodore tidak perlu menulis atau ribet mengetik walaupun pekerjaannya adalah penulis surat. Dengan mudahnya, Theodore hanya tinggal menyebutkan kata demi kata dan tampilah tulisan tersebut di layar.
Walau menampilkan zaman yang serba canggih, keklasikan masih bisa dirasakan melalui gadget yang simple (atau mungkin ini gambaran gadget masa depan?) dan style pakaian yang dikenakan.
Film Her (2013) yang memeroleh rating 95% mengingatkan saya kepada kita yang sekarang sibuk mengakses gadget dan akhirnya menyebabkan pepatah "yang jauh jadi dekat, yang dekat jadi jauh" terwujud.
Rasa kesepian itu kian lekat dan tidak semua orang bisa menemani masa rapuh ini. Pada akhirnya, jalan pintas yang saya ambil adalah dengan mengakses gadget dan mengisolasi diri dari keramaian. Karena jujur saja, saya adalah Theodore yang hampa di tengah keramaian dan gadget menjadikan saya sebagai pusat untuk menerima hal yang 'lebih bahagia'.
Seperti cuplikan film di atas, Theodore dan kepribadian 'id' menyebabkan dia tidak memandang segala hal dengan baik adanya. Dalam artian, ia jarang melakukan kehidupan sosial namun banyak menghabiskan waktu dengan menjadi seorang yang introvert tanpa memikirkan konsekuensi di depan.
Manusia dikuasai oleh teknologi, bukan sebaliknya.
Theodore yang akhirnya menemukan cara bebas dari rasa kesepiannya, berakhir dengan kenyamanan memiliki Samantha (Scarlett Johansson) untuk menemani setiap detik waktunya.
Bahkan, digambarkan pula dalam scene, ada satu waktu dimana Samantha menghilang (karena adanya pembaharuan sistem), Theodore menjadi 'takut' ditinggalkan. Padahal, jika ingin sedikit waras, Samantha kan hanya teknologi, bukan manusia.
Kepribadian Id dalam Theodore juga bisa kita lihat ketika ia memutuskan jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan Samantha. Terlihat tidak masuk akal, namun bagi Theodore, asalkan ia puas, tanpa mempertimbangkan sesuatu yang rasional, ya tetap akan dijalani hubungan tersebut.
Tapi, semua terjawab di akhir film. Dimana, perpisahan Samantha dan Theodore terjadi dikarenakan seluruh perangkat seperti Samantha akan berhenti dan tidak bisa diakses.
Adanya kejadian ini menyadarkan Theodore (selain scene istrinya yang coba mengingatkan dirinya akan kesalahan hubungannya) bahwa ia sempat disesatkan dengan indahnya teknologi yang membuatnya asing dengan dunia nyatanya. Di sinilah superego berperan dalam mengontrol sesuatu yang baik dan salah.Â
Film Her (2013) secara keseluruhan tidak hanya membuat kita bingung dengan hubungan yang tidak jelas antara manusia dan teknologi, di lain sisi, ada sindiran untuk kita yang menggunakan teknologi tersebut. Terkait bagaimana kita dalam mengendalikan nabsu atau sifat kita terhadap sebuah kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan teknologi.Â
Gunakan teknologi dengan seperlunya saja dan perbanyak kembali tugas kita sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan dengan banyak orang.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbiansyah, O. (2008). Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi.
Savitra, K. (2017). Teori Psikoanalisis Klasik Menurut Sigmund Freud. diakses dari dosenpsikologi.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI