Pelanggaran terhadap hukum acara pidana khususnya di instansi Kepolisian sudah tidak tabu terdengar ditelinga. Hal yang demikian masih saja marak terjadi baik penangkapan yang semena-mena maupun tidak memberikan hak-hak lainya bagi Tersangka sebagaimana yang telah diatur oleh KUHAP. Metode pemeriksaan yang masih menggunakan kekerasan masih dianggap efektif dan cenderung melanggar hak asasi Tersangka itu sendiri.
Kemudian, dalam KUHAP juga telah mengatur suatu ketentuan bilamana terjadi suatu tindak pidana yang ancaman hukumannya di atas 5 (lima) tahun, wajib di damping oleh Penasihat Hukum. Mengapa demikian?, karena pada umumnya ancaman hukuman di atas 5 (lima) tahun adalah termaktub dalam kategori tindak pidana biasa sehingga Tersengka tersebut wajib didampingi oleh Penasihat Hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 56 KUHAP.
Hal yang menjadi menarik perhatian adalah ketika ketentuan Pasal 56 KUHAP tersebut dianggap oleh segelintir oknum hanya sebagai formalitas belaka. Terlihat pada praktiknya didampingi oleh Penasihat Hukum yang hanya dicantumkan dalam Berkas Perkara (BAP) namun tidak pernah mendampingi Tersangka, baik di tingkat Kepolisian maupun pada tingkat proses persidangan di Pengadilan. Oknum-Oknum tersebut, terkesan hanya melewati proses yang diwajibkan oleh KUHAP agar Tersangka tidak dapat melakukan upaya hukum Pra-Peradilan. Sementara itu, KUHAP memberikan hak yang tercantum dalam Pasal 56 KUHAP tersebut secara filosofis untuk membantu mereka yang tidak mengerti hukum (awam hukum) agar terhindar dari unfair trail dalam setiap proses peradilan pidana yang dijalaninya.
Akibat dari keserampangan Oknum Kepolisian tersebut sehingga berani memeriksa Tersangka tanpa didampingi Penasihat Hukumnya yang mana Tersangka adalah "awam hukum" yang berakibat harus menerima penganiayaan dan tekanan dalam pemeriksaan yang dipaksa untuk mengaku suatu tindakan yang tidak pernah Tersangka lakukan. Selanjutnya, secara prinsipil tindakan yang dilakukan oleh Oknum Kepolisian tersebut telah bertentangan dengan ketentuan International Covenant On Civil And Political Right, sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Repbulik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan  International Covenant On Civil And Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) selanjutnya disebut "ICCPR", Pasal 14 ayat 3 huruf (g) yang bunyinya sebagai berikut:
"Dalam penentuan suatu tindak kejahatan, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal di bawah ini secara penuh, yaitu : (g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya sendiri atau dipaksa mengaku bersalah."
Lebih lanjut lagi, berdasarkan Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, khususnya dalam bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana ("Juklak dan Juknis Penyidikan"). Bab III angka 8.3.e.6 Juklak dan Juknis Penyidikan telah menegaskan:
"Pada waktu dilakukan pemeriksaan, dilarang menggunakan kekerasan atau penekanan dalam bentuk apapun dalam pemeriksaan."
Hal ini juga berkaitan dengan salah satu hak yang dimiliki oleh tahanan, yaitu bebas dari tekanan seperti; diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik. Pengaturan lain soal penyelenggaraan tugas Kepolisian ini juga antara lain, terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia ("Perkapolri 8/2009") yang menegaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan. Sesuai dengan pengaturan Bab III angka 8.3.d jo. angka 8.3.a Juklak dan Juknis Penyidikan, hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mengenai BAP ini ditegaskan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya "Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan" menjelaskan (hlm. 137) bahwa jika suatu BAP adalah hasil pemerasan, tekanan, ancaman, atau paksa, maka BAP yang diperoleh dengan cara seperti ini tidak sah.
Kehadiran KUHAP sebagai cara main/ rule of game juga untuk menjamin hal-hal yang prinsipil berkaitan demi tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan dan demi memastikan terpenuhinya kepastian hukum yang adil sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang berbunyi:
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum."
Lebih lanjut pada Pasal 28I ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang kutipannya antara lain menegaskan:
"Hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun."Â
Secara filosofi bahwa Manusia sebagai Makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa oleh Pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat dirinya yang bersifat universal dan langgem, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Hak memperoleh keadilan yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara Republik Indonesia ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 7 dan Pasal 8 TAP MPR No. XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil." dan "Setiap orang berhak mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama dihadapan hukum."
Ketentuan a quo, dijabarkan lebih lanjut di dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu bahwa:
"Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan, baik dalam perkara pidana serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar."
Lebih lanjut, Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, berbunyi bahwa:
"Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap."
Atas dasar norma-norma hukum tersebut, kepastian hukum yang adil merupakan salah satu prinsip penting dalam Hak Asasi Manusia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik), dimana semua orang adalah sama dimuka hukum dan tanpa diskriminasi apapun serta berhak atas perlindungan hukum yang sama. Lebih lanjut, Pasal 114 KUHAP juga menegaskan bahwa:
"Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 56".
Penjelasan Pasal 114 KUHAP :
"Untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka sejak dalam taraf penyidikan kepada tersangka sudah dijelaskan bahwa tersangka berhak didampingi penasihat hukum pada pemeriksaan di sidang pengadilan".Â
Namun, menurut keterangan para Tersangka yang dijumpai oleh Penulis pada saat mendampingi dalam proses Tahap II di Kejaksaan mengaku bahwa dalam pemeriksaan ditingkat Kepolisian Para Tersangka tidak pernah ditawarkan maupun didampingi oleh Penasihat Hukum. Bahwa pada umumnya kerab terjadi Oknum Kepolisian dengan sengaja mencamtumkan dalam BAP, bahwa Tersangka selama ini menggunakan Penasihat Hukum yang mana sama sekali tidak pernah muncul untuk mendampingi Tersangka baik pada saat pemeriksaan ditingkat Penyelidikan dan Penyidikan. Adapun pemeriksaan terhadap dugaan tindak pidana yang ancaman hukumannya di atas 5 (lima) tahun tidak didampingi penasihat hukum adalah tindakan diluar ketentuan hukum acara (undue process) sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP di atas, dan terhadap hal itu berakibat terlanggarnya hak Tersangka untuk mendapatkan pendampingan hukum yang dijamin oleh standar beracara yang berlaku universal (due process of law).
Bahwa Kata-kata "wajib" dalam kedua Pasal a quo (Pasal 56 ayat (1) & Pasal 114 KUHAP), tidak dapat ditafsir lain oleh Aparat Penegak Hukum (APH) berdasarkan doktrin hukum "in claris non fit interpretatio/in claris nont est locus conjecturis" yang bermakna sesuatu yang sudah jelas tidak perlu ditafsirkan diluar dari itu. Merujuk pada pembahasan diatas, frasa "wajib" di dalam Pasal 56 dan 114 KUHAP tidak boleh ditafsirkan lain daripada yang telah tertulis. Tindakan Kepolisian hanyalah menjalankan dan menegakkan perintah norma sebagaimana jelas tertulis. Oleh karena itu, syarat menyiapkan Penasihat Hukum kepada Tersangka yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih adalah kewajiban asasi/mutlak bagi Penegak Hukum, sebab penyediaan Penasihat Hukum merupakan "syarat mutlak" bagi diterimanya surat dakwaan Penuntut Umum. Bahwa perlu di ingat, dasar dari peradilan pidana diatur secara tegas (expressis verbis) dalam Pasal 2 KUHAP yaitu:
"Undang-Undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan".Â
Lebih lanjut Pasal 3 KUHAP menyatakan bahwa:
"Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini".Â
Berdasarkan norma a quo, maka secara a contrario, setiap tindakan penegak hukum dalam semua tingkatan peradilan tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan KUHAP. Ditambah lagi dengan pendapat M. Yahya Harahap bahwa Pasal 56 ayat (1) KUHAP menggariskan prinsip "miranda rule" yang menegaskan setiap penuntutan atau persidangan, terdakwa didampingi penasihat hukum, ketentuan ini merupakan "syarat yang diminta" Undang-undang apabila tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan, diancam dengan pidana mati atau pidana 15 tahun lebih atau bagi yang tidak mampu dan diancam pidana 5 tahun atau lebih wajib disediakan penasihat hukum bagi mereka. Apabila ketentuan Pasal 56 ayat (1) tidak dipenuhi, dianggap pemeriksaan tidak memenuhi syarat yang diminta undang-undang, yang berakibat " Tidak Dapat Diterima".
Berkenaan dengan hal itu, Yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan MA No. 1565 K/Pid/1991, tanggal 16 september 1993 dan Putusan MA No. 367K/Pid/1998 tertanggal 29 Mei 1998). Menurut MA dalam Putusan No. 1565 K/Pid/1991 menyatakan bahwa :
"Apabila syarat-syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya Penyidik tidak menunjuk Penasihat Hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima".
Bahwa ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP adalah ketentuan yang bersifat "imperatif atau dengan kata lain pendampingan seorang Penasihat Hukum terhadap Tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal tersebut adalah merupakan "kewajiban hukum" yang wajib dilaksanakan oleh seluruh komponen catur wangsa (Polisi, Jaksa, Penasihat Hukum dan Hakim) sesuai dengan tugas dan wewenangnya pada setiap tingkat pemeriksaan. Mengabaikan ketentuan a quo, mengakibatkan "dakwaan/tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima", sebab bersumber dari penyidikan yang "tidak sah" (illegal) karena mengabaikan Pasal 56 ayat (1) KUHAP.
KUHAP bertujuan melindungi dan menghormati hak-hak asasi utama, satu diantaranya ialah "hak menyiapkan pembelaan secara dini". Untuk itulah KUHAP memberikan hak kepada Tersangka atau Terdakwa didampingi penasihat hukum "dalam setiap tingkat pemeriksaan". Sebaliknya apabila hak itu tidak dipenuhi maka Tersangka atau Terdakwa tidak dapat mengupayakan pembelaan secara dini terhadap dirinya. Selain itu KUHAP bersifat lex stricta yang artinya harus ditafsir secara ketat, sehingga dalam proses peradilan, para penegak hukum tidaklah dapat menafsirkan selain yang telah tertulis jelas di dalam ketentuan hukum acara. KUHAP tidak lain adalah aturan main, cara, sekaligus jalan bagaimana menerapkan hukum pidana materiil dengan baik sehingga sikap taat kepada hukum acara merupakan pilihan cara atau jalan yang benar, sesuai dengan asas hukum "Linea Recta Semper Praefertur Transversali" (jalan yang benar selalu dipilih untuk menyelesaikan perkara). Sehingga permasalahan hukum diatas adalah menjadi tugas kita bersama terkhusus bagi Aparat Penegak Hukum untuk menjalakan profesinya dengan baik dalam menegakan hukum acara pidana dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.Â
Rudi Situmorang, S.H.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H