Mayoritas partai politik (parpol) yang ada hari ini lahir dari rahim reformasi yang menghendaki adanya demokrasi. Namun, apa jadinya kalau mayoritas parpol itu justru berkongsi mewujudkan oligarki dan melemahkan demokrasi?
Ya, gelaran Pilkada Serentak 2020 yang dilaksanakan pada 9 Desember lalu mendapat banyak sorotan. Tak hanya dari publik dalam negeri. Media-media asing juga "mempelototi" gelaran pesta rakyat lima tahunan ini. Sorotan paling tajam difokuskan pada majunya putra dan menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Alasan media-media asing menyoroti majunya anak menantu Jokowi di pentas politik tak lain karena sumpah Jokowi yang sempat dimuat dalam buku autobiografinya yang diterbitkan pada 2018 lalu.
"Menjadi presiden bukan berarti menyalurkan kekuasaan kepada anak-anak saya" mengutip perkataan Jokowi dalam autobiografinya.
Media kenamaan Inggris, The Economist dalam artikel yang berjudul "Indonesian politics is becoming a family affair", menulis Jokowi nampaknya sudah berubah pikiran. Hal ini dibuktikan dengan majunya sang putra Gibran Rakabuming Raka dan menantunya Bobby Nasution di pilkada 9 Desember 2020 lalu. Padahal, keduanya tidak memiliki pengalaman dan latar belakang politik.
Tak berbeda jauh, media asal Singapura, Strait Times melalui artikel berjudul "Mayoral bids by Indonesia President Jokowi's son And son-in-law spark 'political dynasty' debate" menyebut bahwa Jokowi kini getol memupuk politik dinasti di Indonesia. manuver politik yang jauh dari "wajah" Jokowi sebelumnya ini terlihat dari beberapa lawan politik Gibran yang tiba-tiba mundur dari kontestasi politik.
Apakah Jokowi benar-benar telah berubah dan menjilat ludahnya sendiri, serta membangun oligarki politik?
Seperti yang sering disampaikan Bang Napi; salah satu ikon program kriminalitas di salah satu televisi nasional, "Ingat! Kejahatan bukan semata-mata karena ada niat dari pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan."
Kesempatan dalam artian ini bisa dibaca sebagai dukungan parpol-parpol pengusung "oligarki" keluarga Jokowi. Jika saja parpol yang ada berpegang pada konsep sebagai pilar demokrasi, tentu kontestasi akan lebih menawarkan beragam warna.
Bayangkan, putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka di Pilkada Solo didukung oleh 9 (sembilan) parpol, yakni PDIP, Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PSI, PPP, PKB, Partai Nasdem, dan Perindo. Sedangkan menantu Jokowi di Pilkada Medan didukung oleh 8 (delapan) parpol, yakni PDIP, Partai Gerindra, PAN, Golkar, Partai Nasdem, PSI, Hanura, dan PPP.
Apakah dari sekian banyak parpol yang mengusung anak menantu Jokowi tersebut tidak mempunyai kader yang layak diusung menjadi kepala daerah?
Jadi, berhentilah parpol yang mendukung oligarki berteriak tentang tatanan kehidupan yang demokratis. Toh, nyatanya dalam aplikasi kehidupan berdemokrasi justru berkongsi melanggengkan oligarki.
Rakyat harus senantiasa mengingat "kejahatan" yang berupaya melanggengkan oligarki di Indonesia. Tercatat ada 10 parpol yang menghendakinya, yakni PDIP, Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PSI, PPP, PKB, Partai Nasdem, Perindo, dan Hanura. Apakah di tahun-tahun selanjutnya kita masih mempercayakan demokrasi pada 10 parpol yang nyata mendukung oligarki ini?
Pilihannya ada di tangan kita. Apakah kita akan terus menjadi pencaci kegelapan, atau kita bertindak sebagai lentera --lentera kecil untuk mengusir kegelapan oligarki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H