Beberapa hari belakangan ini media sosial kita diramaikan dengan berita tentang seorang anak kecil, namanya Musa dan usianya belum genap 8 tahun, yang mengharumkan nama Indonesia di pentas MHQ Internasional di Mesir. Tentu saja saya yakin Anda tahu tentang ini karena penyebarannya di media sosial yang begitu cepat, dan bukankah mudah bagi kita untuk menshare sesuatu yang baik?
Sementara itu, ada begitu banyak berita palsu, fitnah dan lain-lain yang ramai betul dibagikan di media sosial. Ada begitu banyak posting pengejar “like, comment, and share” yang menggunakan agama, penderitaan orang lain (bahkan mereka mengedit gambarnya) dan tipu-tipu—tulis angka “satu” dan air dalam gambar akan hilang—sebagai landasannya, dan itu pun laku betul bagi kebanyakan pengguna medsos. Apalagi berita yang jelas-jelas benar adanya dan membanggakan kita—sebagai WNI—begini. Tidak aneh jika ia menyebar dengan sebaik-baiknya, seperti halnya air yang ngocor dari keran yang jebol. Saya yakin, ada perasaan bangga yang muncul di dalam benak kita, bangga kepada Musa, kepada bangsa ini, atau sekadar bangga kepada Islam saja. Tak jadi soal.
Sebelum saya masuk ke Musa, saya jadi teringat dengan kontes-kontes dai cilik yang selalu menjamur setiap menjelang bulan Ramadan. Di sana para anak-anak dari penjuru Indonesia disaingkan untuk memamerkan kemampuannya berceramah tentang Islam. Jujur saja, setiap kali saya melihat mereka, saya selalu bertanya-tanya di dalam hati, “Mengertikah anak-anak itu dengan apa-apa yang mereka sampaikan?” Anak-anak kecil yang usianya masih sangat belia itu, yang mungkin masih harus disuapi supaya mau makan, dan mesti dipakaikan seragam setiap kali berangkat sekolah.
Maksudku, bahkan orang dewasa pun belum tentu bisa menerima esensi dari ceramah agama (makanya ada begitu banyak aliran dalam sebuah agama dan tak jarang di antara mereka pun saling mengkafirkan satu sama lain). Lalu bagaimana caranya si anak-anak ini paham dengan esensi ceramah tersebut, yang terkadang membicarakan hal-hal yang mereka sendiri belum pernah mengalaminya. Mereka bicara tentang perbuatan buruk orang dewasa, tentang kehidupan rumah tangga, tentang kesakitan di masa tua, teroris, dan korupsi. Mereka, anak-anak itu, yang menyampaikan kebaikan dari lidahnya (atau hapalannya) itu bahkan tidak mampu menahan dirinya untuk tidak menangis jika sesuatu yang ia inginkan tidak ia dapatkan. Misalnya, ia dijauhkan dari mainannya atau dari orangtuanya. Bagaimanapun, mereka adalah anak-anak, itu fakta yang tidak bisa dinafikkan.
Tentu saja tidak salah jika kita ingin membimbing supaya anak-anak kita menjadi anak yang saleh. Itu baik sekali. Tetapi saya tidak setuju jika hal ini kemudian menjadi pembenaran bagi eksploitasi anak-anak, hanya karena ia berlandaskan keagamaan. Sama halnya saya tidak setuju jika seseorang menikahi banyak perempuan, perempuan di bawah umur, atau bahkan menghina orang lain dan keyakinannya, dan bahkan membunuh orang lain, hanya karena berlandaskan agama yang mereka yakini. Kamu tidak bisa menggunakan agama untuk meluluskan perbuatan tidak terpuji.
Musa adalah salah satu contoh, bahwa ada hal-hal luar biasa yang dimiliki oleh manusia, yang bisa bersinar terang dengan dukungan yang kondusif dari orangtua dan lingkungannya. Tetapi hal ini tidak akan berlaku untuk semua orang. Mereka adalah satu dari begitu sedikit manusia yang dikaruniai kelebihan oleh Tuhan. Alangkah kasihannya anak-anak yang lain, jika kemudian karena kemunculan Musa ini, banyak orangtua yang berbondong-bondong memaksa anaknya untuk seperti Musa, dengan alasan apa pun, apalagi hanya demi kebanggaan dirinya semata. Setiap anak mempunyai bakat dan minat yang berbeda-beda dan memaksa mereka untuk menjadi sesuatu yang tidak mereka gemari adalah perbuatan yang kejam.
Menurut cerita ayah Musa, ia yang juga seorang guru mengaji itu memang sudah memperhatikan bagaimana Musa tertarik dengan bacaan Alquran. Ia kemudian mencoba mengajari Musa dengan perlahan-lahan. Hari demi hari Musa didengarkan dengan bacaan Alquran dan dibimbing untuk mengucapkannya dengan baik. Pada awalnya ia kesulitan dan masih mudah lupa dengan hapalan-hapalan lama setelah menerima hapalan baru. Tapi, karena Musa adalah anak yang rajin dan punya minat yang kuat (punya minat yang kuat, saya ulangi) untuk menghafal Alquran, maka beginilah ia berakhir, menjadi seorang hafiz cilik yang membanggakan kita.
Tetapi, ada satu hal yang ingin saya garis bawahi, bahwa segala bentuk simbol keagamaan tidak akan sempurna tanpa dilengkapi dengan “ruh” beragama yang kuat pula. Sesuatu yang baik harus berawal dari kebersihan hati terlebih dahulu yang kemudian terpantul dari perilakunya. Bukan hanya dilihat dari tampilan luarnya saja. Salah satu karya seni yang paling memikat saya adalah sebuah lukisan yang pernah dibuat oleh Gus Mus. Ia berjudul “Berzikir Bersama Inul”. Di sana Gus Mus menggambarkan sekumpulan kiai dan ulama yang berzikir melingkar dan ada seorang penyanyi dangdut yang berjoged di tengah-tengah mereka. Dalam lukisan itu, Gus Mus ingin menyindir orang-orang beragama yang begitu memuja “daging” (dalam hal ini ia wakilkan dengan Inul) dan melupakan “ruh” dari keberagamaan itu sendiri.
Kita tahu, ada begitu banyak orang yang begitu membanggakan gelar ustaz, kiai, atau haji mereka. Semakin terkenal seorang ustaz (hanya karena ia tampil di sinetron) maka dianggap semakin benar ajarannya dan semakin besar pula bayarannya. Ada pula mereka yang saling memamerkan pengalaman berhaji masing-masing dan tentang berapa kali mereka pernah ke tanah suci, seolah semakin sering ke sana, berarti semakin mulia mereka. Orang-orang berzikir keras-keras hingga mengganggu kenyamanan orang lain di sekitarnya, dan semua aktivitas keagamaan lainnya yang dilakukan dengan cara yang terlalu “meninggikan”. Dan yang terbaru, yang sedang hangat-hangatnya digoreng oleh para politisi yang berjubah agama, yaitu diwajibkan untuk memilih seorang pemimpin yang seagama dengan mereka, apalagi jika ada gelar keagamaannya. Kenapa bukan kinerjanya yang menjadi bahan pertimbangan? Perilakunya, kebersihannya dari praktik KKN dan kepeduliannya pada rakyat?
Kita, menurut Gus Mus, melupakan “ruh” dari beragama itu sendiri, yaitu perilaku yang baik dan menghargai orang lain. Semata-mata karena mereka adalah manusia yang sama seperti kita, bukan karena agamanya, sukunya, dan rasnya yang sama dengan kita. Bukan. Tetapi karena mereka adalah manusia yang sama seperti kita. Indikasi ini bisa kita lihat dari seberapa sering orang melihat orang lain dari seberapa rajinnya ia melakukan aktivitas keagamaan ketimbang melakukan kebaikan (atau menunjukkan perilaku yang terpuji). Itu seperti kamu memilihkan anakmu sekolah yang gedungnya bagus dan fasilitasnya lengkap, tanpa perlu mengetahui bagaimana perilaku pengajar di sana dan sistem belajarnya. Tidak, itu sebuah kebodohan, membunuh akal sehat dan dibutakan oleh mata sendiri.
Musa mungkin adalah seorang hafiz cilik, tak ubahnya anak-anak lain yang hapal Pancasila atau Undang-Undang Dasar. Ia dibimbing untuk mengingatnya dan, untungnya, ia diberi kecerdasan yang cukup oleh Tuhan. Kita bangga, ya tentu saja. Tapi tidak ada yang bisa menjamin jika Musa akan memiliki “ruh” beragama yang kuat seperti yang disampaikan Gus Mus jika ia tidak dilengkapi dengan bimbingan yang ia butuhkan untuk memiliki kebersihan hati. Kamu tahu, para teroris yang meneriakkan takbir setiap kali membunuhi orang tersebut tentunya memiliki ketaatan yang utuh dengan aktivitas keagamaan. Mereka bisa jadi juga hapal beberapa juz Alquran, mereka tidak meninggalkan salat, dan mereka mengenakan pakaian yang, menurut mereka, paling islami.