Mohon tunggu...
Berny Satria
Berny Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis bangsa

Bangsa yang Besar adalah yang berani berkorban bagi generasi berikutnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Presiden Jewer Gubernur di Atas Banjir

3 Januari 2020   11:32 Diperbarui: 3 Januari 2020   17:28 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang namanya Pemerintah Pusat itu bagaikan seorang Bapak. Ia memiliki sebuah otoritas untuk memaksa kepala daerah sebagai anaknya untuk melaksanakan perintahnya. Kalau anaknya sudah disuruh tapi malah sibuk bersolek ria, Bapaknya berhak "Jewer telinganya". Kalau perlu tugas si anak diberikan kepada anak lain yang lebih pantas dan mentaati perintahnya. Jika seorang bapak tidak mampu mengarahkan anaknya dengan perintahnya, berarti Bapaknya punya masalah. Bisa jadi lumpuh, bisu, atau yang lebih parah malah menginginkan supaya anaknya tidak sepandai dirinya karena takut tersaingi. Yang ada adalah perang dingin yang tak kunjung usai. 

Sementara rakyat yang jadi penonton dan penderitanya. Lihat, bagaimana rendahnya kualitas komen pada berbagai sosial media yang mengkomentari fenomena-fenomena yang terjadi, selalu dikaitkan dengan keberpihakannya kepada kubu yang diinginkan. Padahal tidak ada hubungannya secara langsung antara banjir dengan "Kadrun" atau apalah itu. Ini terus terjadi pada tiap level sosial karena lumpuhnya sang Bapak untuk mengatur anaknya.

Bagaimana solusinya? Mudah saja. Kembalikan fungsi "Bapak" sebagai kepala rumah tangga Negara. Jika fungsi itu sudah dimandatkan kepada Bapak tapi tidak dilaksanakan dengan tegas karena berbagai alasan, maka cita-cita, tujuan, dan impian, hanyalah isapan jempol belaka. Negara ini akan terlihat maju, tetapi kemajuannya masih bertaraf BAB I, sedangkan negara lain sudah BAB VII bahkan lebih tinggi lagi. Negara kita tertinggal sementara kita berbangga dengan ketertinggalan itu. 

Presiden harus berkuasa penuh terhadap hirarki pemerintahan di bawahnya. Ia harus punya hak untuk mengarahkan bahkan memaksa hirarki di bawahnya untuk mewujudkan program-program nasional yang dicanangkan. Ia harus berlakon seperti Bapak yang dapat mengendalikan negara dan bangsa sebagai rumah tangga, karena Presiden bertanggungjawab penuh terhadap kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. 

Maka tak akan ada lagi mobil yang berenang di jalan. Tak ada lagi air toilet bercampur masuk ke ruang tamu, dan tak ada lagi rakyat dengan bebasnya mencurahkan kekesalannya terhadap kebijakan pemerintah daerah dan gubernurnya yang dianggap tidak mampu mengayomi rakyatnya. 

Apakah Presiden punya nyali menjewer anak-anaknya yang nakal? Kita dorong Ia untuk menjadi kepala rumah tangga yang gagah berani dan mampu menjadi pengayom rakyat seutuhnya.

Bogor, 3 Januari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun