Mohon tunggu...
Berny Satria
Berny Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis bangsa

Bangsa yang Besar adalah yang berani berkorban bagi generasi berikutnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pendeteksian Tsunami yang Terkendala APBN

25 Desember 2018   15:25 Diperbarui: 26 Desember 2018   02:10 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berkali-kali kejadian Tsunami terjadi di Indonesia dalam berbagai skala kerusakan dan korban. Berkali-kali pula setelah kejadian berusaha diungkapkan apa penyebab dan bagaimana metode pencegahan sebelum peristiwa Tsunami terjadi.

Tsunami di Aceh, Palu, Banten, dan Tsunami-Tsunami kecil lain di berbagai belahan bumi negeri ini, telah membuat negara kalang kabut menangani korban dengan dampak yang tidak kecil serta cukup memilukan.

Tsunami di Aceh 26 Desember 2004, tak kurang dari 230.210 orang korban meninggal dilanda Tsunami yang tak bisa dihentikan.

Tsunami pangandaran yang terjadi pada 17 juli 2006 menyebabkan 668 orang meninggal dunia, 65 hilang dan 9.299 lainnya luka-luka.

Tsunami di Mentawai Sumatera 25 Oktober 2010, mengakibatkan 286 orang dilaporkan tewas dan 252 orang lainnya dilaporkan hilang.

Tsunami di Palu 28 September, menurut data BNPB, lebih dari 2.000 orang tewas, luka-luka 4.612 orang, 1.309 orang hilang dan menyebabkan 223.751 orang mengungsi.

Dan baru saja Tsunami di Selat Sunda 22 Desember 2018, hingga tulisan ini dibuat terdapat 373 orang meninggal, 1459 orang Luka, 128 orang hilang, dan 5.665 orang mengungsi dari rumahnya. Korban meninggal diperkirakan akan terus bertambah disebabkan banyaknya orang yang hilang.
Belum lagi kerugian material yang cukup besar diderita para penduduk yang terkena musibah.

Korban dan kerugian materil itu bisa diminimalisir karena adanya alat pendeteksi gejala Tsunami dini (Deep Ocean Tsunami Detection Buoy). Sebuah alat untuk mendeteksi perubahan permukaan air laut sebagai pendeteksi dini gejala akan datangnya Tsunami.

Indonesia memiliki 21 Buoy. 10 buah dari hibah pemerintah Jerman senilai 610 Miliar, dan 3 buah hibah dari Pemerintah Amerika Serikat. Peralatan Buoy itu awalnya dipasang di titik-titik strategis lokasi rawan Tsunami agar kejadian Tsunami dapat diketahui semenjak dini sebelum menyebabkan korban dan kerugian lebih besar bagi penduduknya.

Namun keberadaan, fungsi dan pemanfaatan Buoy tersebut ternyata amat terpasung oleh birokrasi institusi dan anggaran. Badan Meteorologi-Klematologi dan Geofisika
(BMKG) tidak dapat menerima data dari Buoy secara cepat karena aturan Pemerintah yang memutuskan pengelolaannya ditangani oleh BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Padahal skenario awalnya data Buoy mendukung kerja BMKG. Sehingga jika ada gejala Tsunami, BMKG dapat mengetahui data tersebut secara cepat untuk mengantisipasi terjadinya efek dari Tsunami bagi para penduduk. Namun BMKG menjadi salah satu institusi kambing hitam akibat terjadinya Tsunami yang disebabkan kakunya birokrasi dan lumpuhnya keluwesan institusi yang justru hatus dapat menggunakan peralatan dan prosedur Buoy.

Belum lagi kasus-kasus Buoy yang rusak bahkan hilang. Buoy yang ada banyak yang baut-bautnya hilang dan dijadikan Gantungan jala bagi nelayan. Begitupula Buoy yang hilang, mungkin sudah mendarat di lapak besi kiloan ditukar dengan beberapa lembar rupiah saja. Padahal fungsinya dapat menyelamatkan ribuan penduduk disekitarnya. 

Di lain sisi, ternyata Tsunami yang terjadi tidak terdeteksi oleh institusi-institusi terkait karena minimnya masalah anggaran perawatan peralatan pendeteksi dini. Akibatnya, di tempat yang kerap terjadi gempa akan terus berulang tanpa antisipasi dini karena kurangnya alat dan anggaran pemeliharaan pendeteksi dini.
Dari 170 alat sensor gempa yang dimiliki BMKG, anggaran yang turun hanya untuk 70 sensor. Berarti ada 100 lokasi gempa di Indonesia yang kemungkinan besar akan tertimpa korban dan bencana disebabkan malfunction nya peralatan karena kurangnya perawatan.

Kenyataan ini membuktikan bahwa negara tidak terlalu perduli terhadap antisipasi dini terhadap bencana. Terbukti semenjak bencana Tsunami besar diaceh tahun 2004 hingga sekarang, minimnya perhatian membenahi permasalahan anggaran peralatan ini, padahal dengan menggunakan alat ini bangsa dapat menghindari korban dan kerugian yang tidak kecil. Tapi sayang Tsunami Palu tidak terdeteksi dini, dan Tsunami selat sunda terjadi tanpa antisipasi awal. Ini membuktikan sangat sedikit perhatian Pemerintah terhadap hal ini.

Semenjak rezim sebelumnya hingga hari ini ternyata tidak ada perbaikan perhatian terhadap hal deteksi dini terhadap bencana.
Mungkin juga ini karakter orang Indonesia yang panik dan kalap tatkala penanganan terjadinya bencana. Padahal itu semua bisa diminimalisir dengan menambah sedikit saja perhatian dan dana APBN terhadap deteksi dini.

Semua penanganan, rasa sedih, perhatian Pemerintah, akan terasa getir jika tak ada usaha dan program penangan serta menggelontorkan dana lebih bagi sektor ini. Padahal negara Indonesia terletak di kawasan cincin api (Ring of Fire), dimana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memprediksikan akan terjadi lebih dari 2.500 bencana pada tahun 2019. Banjir, longsor, angin topan, gempa, dan bencana-bencana lain akan menerpa Indonesia.

Jika Pemerintah masih saja mengabaikan antisipasi dini dibanding penanggulangan nya, maka rakyat akan terus meraung dan menangisi korban dan kerugian yang akan terjadi.
Pendulum perhatian Pemerintah harus bergeser terhadap keselamatan bangsa, dibanding menguras untuk pembangunan infrastruktur yang nantinya justru akan dirusak oleh bencana.

Gerak alam tak ada yang bisa menghentikannya. Tapi Pemerintah sebagai penanggung jawab dan pengendali negeri ini harus dapat mendeteksi dini untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkannya.
Sehingga Slogan: Menghindari Bencana lebih baik daripada menanggulanginya, harus menjadi acuan dalam visi Pemerintah, bukan sebaliknya.

Pemerintah harus "pelit" terhadap penggunaan anggaran, namun harus "murah"  terhadap penggunaan untuk kesejahteraan dan keselamatan warganya. 

Bogor, Selasa 25 Desember 2018 15.30 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun