[caption caption="tni atm"][/caption]
Penyanderaan ABK kapal Malaysia di perairan Malaysia tak jauh dari Lahad Batu, Sabah adalah peristiwa penyanderaan ke 4 warga Indonesia oleh kelompok pemberontak Abu Sayyaf yang menyita perhatian publik Indonesia maupun Dunia, sebuah kejadian yang terbilang terlalu banyak dalam 5 bulan semenjak penyanderaan yang pertama pada tahun 2016.
Uniknya kelompok Abu Sayyaf (AS) memilah 7 ABK kapal Malaysia itu dan memilih 3 ABK Indoneisa untuk disandera. Mereka kemudian dibawa ke perairan Filipina menunggu pemerintah Indonesia untuk menebusnya. Sepertinya ada kilau memikat di "jidat" orang yang berpaspor Indonesia untuk dapat dikeruk uang negaranya bagi perjuangan AS, mirip seperti penjahat yang sedang kehabisan uang dan menemukan ATM tidak dijaga untuk dirampok, mereka akan bersegera menguras isi ATM yang ditemuinya itu.
Penyanderaan yang begitu cepat berulang kepada khusus WNI oleh kelompok AS menunjukan bahwa Indonesia adalah negara yang mudah dikeruk uangnya dengan cara menyandera warganya. Sebelumnya pemerintah mengklaim bahwa pembebasan sandera yang dilakukan oleh kelompok AS adalah dengan negosiasi komprehensif antara pemerintah Indonesia dan Filipina, dengan kelompok AS. Bahkan sang negosiator Indonesia, Kivlan Zen mendapat tabur pujian akan prestasi itu.
Secara logika hukum, sebuah kejahatan akan berulang tatkala pelaku tidak jera dan masih mendapatkan peluang untuk melakukannya. Dan sebaliknya, kejahatan tidak akan dilakukan kembali oleh pelaku tatkala ada ganjaran setimpal dan antisipasi terjadinya peluang kejahatan kasus tadi. Maka menjadi pertanyaan jika sebelumnya penyanderaan oleh kelompok AS dapat diselesaikan dengan jalur negosiasi namun terjadi lagi oleh pelaku yang sama, apa yang dirembukan oleh pemerintah dengan pelaku penyanderaan?
Jika telah dilakukan negosiasi, berarti ada sebuah kesepakatan yang dihasilkan. Sampai sekarang publik masih belum mengetahui apa yang dinegosiasikan dalam peristiwa penyanderaan-penyanderaan sebelumnya. Jika terjadi penyanderaan lagi, berarti ada kesepakatan yang dilanggar oleh salah satu pihak. Namun sayang pemerintah tidak terbuka dan cenderung menutupi substansi negosisasi yang dilakukan. Bisa jadi kesepakatan yang dilakukan, adalah dengan pemerintah Filipina untuk mengantar uang tebusan kepada penyandera. Karena sangat mustahil jika misi penyanderaan yang dilakukan oleh AS dalam mengumpulkan dana bagi perjuangannya dapat pupus hanya oleh sebuah negosiasi tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya, sementara kelompok AS masih bisa bergerak bebas di daerahnya.
Kelompok AS melakukan penyanderaan lagi karena usaha mereka sebelumnya untuk meminta uang tebusan yang dibutuhkan bagi perjuangan mereka berhasil dengan mulus, dan korban yakni pemerintah Indonesia dianggap sebagai mesin ATM penuh uang yang hanya digedor saja sudah keluar uangnya.
Jika kelompok AS menganggap pemerintah Indonesia sebagai ATM nya, mudah saja mengantisipasinya. Ibarat sebuah mesin ATM, ia rentan terjadi perampokan jika tidak ada penjagaan yang ketat. Layaknya sebuah mesin ATM di kampung berandal, ia harus dipasang CCTV, pengamanan sirkuit mesin, atau mungkin dengan menempatkan satpam di samping mesinnya.
Cara kedua adalah, ketika kita mengambil uang di mesin ATM, kita akan bersungut-sungut tatkala uang yang kita ingin cairkan ternyata tidak keluar dari ATM. Paling-paling kita hanya menggerutu, atau paling ekstrim kita akan mengeplak mesin tersebut namun tanpa merusaknya. Pemerintah jangan memberi peluang bagi penyandera untuk dapat mengancam Indonesia agar dapat memberikan uang tebusan. Begitupula bagi pihak ketiga, harus dapat dicegah untuk memberikannya secara mandiri. Karena pemberian uang tebusan bagi penyandera bermisi pemberontak, sesungguhnya kita sedang membesarkan dan membiayai perjuangan mereka untuk melakukan aksi kejahatan baik di negaranya, maupun di negara-negara lain termasuk Indonesia sendiri. Kelonggaran ini juga menyusahkan pemerintah Filipina yang harus menyiapkan kesiagaan ekstra untuk menangani pemberontak karena musuh mereka menjadi besar disebabkan pengucuran dana hasil pemerasan dari negara tersandera.
Negara kita dapat menempatkan kapal-kapal perang dan ditempatkan pada titik-titik tertentu untuk mengamankan kapal-kapal yang melintas agar tidak terjadi peristiwa yang tidak diinginkan dalam pelayarannya. Tentu ini membutuhkan kerjasama dan kordinasi antara negara-negara tetangga yang berkompeten terhadap lalu lintas pelayarannya. Walaupun ada di luar batas juridiksi Indonesia, kapal perang tadi bisa langsung menyerbu ke titik terjadinya sehingga kasus dapat tertangani dengan cepat dan tidak memberikan peluang bagi penyandera untuk melancarkan aksi dan memboyong sandera ke perairan kekuasaannya.
Dan cara yang ketiga adalah dengan tidak memberikan uang tebusan, baik oleh pemerintah maupun oleh pihak ketiga. Jika pemerintah berseru tidak akan memberikan uang tebusan pada peristiwa penyanderaan sebelumnya, namun belakangan tercium bahwa tebusan itu dilakukan oleh pihak pemilik kapal sebagai pihak ketiga yang lebih perduli terhadap ABK nya. Pemberian uang tebusan ini menjadi lampu hijau bagi penyandera untuk melakukan aksi-aksi penyanderaan selanjutnya.
Konsekuensi menyumbat aliran dana bagi penyandera memiliki akibat terburuk yaitu terjadinya kontak senjata dan tewasnya para sandera. Namun bukankah terjadinya kontak senjata antara TNI dengan penjahat adalah sebuah keniscayaan dalam membela kedaulatan negara dan melindungi rakyat. Dengan adanya sikap keras dan tegas, maka Indonesia akan dipandang sebagai negara yang tidak bisa dianggap main-main dalam kejahatan apapun, apalagi kejahatan yang menyinggung kedaultan negara. Jika ada korban, mereka akan dianggap sebagai pahlawan penegak kedaulatan bangsa yang akan diingat dan dijadikan pelajaran oleh generasi-generasi selanjutnya. Itu adalah hak sekaligus kewajiban sebagai warga dalam membela negara demi menjaga keharuman bangsa.
Pantas saja jika kapal-kapal asing masih merampok ikan di perairan Indonesia karena pemerintah belum tegas melindungi kekayaan alamnya. Walaupun sudah berbelas kapal yang diledakan/dihancurkan, namun itu tidak membuat jera para penjarah ikan berbendera asing untuk merampok sumberdaya alam Indonesia. Mirip kembali seperti mereka memperlakukan Indonesia sebagai ATM penuh uang. Peledakan kapal-kapal mereka mungkin hanya dianggap seperti mengambil uang di ATM tapi jarinya terjepit saluran uang di ATM ketika mengambilnya. Paling cuma diberi betadine sudah sembuh dan kembali mermpok ATM. Artinya peluang mencuri masih lebih besar kemungkinan serta hasil yang didapat dibanding frekwensi kapal yang tertangkap dan dihancurkan. Ibaratnya 1 kapal diledakan, masih bisa membeli 10 kapal dari hasil penjarahan SDA di perairan Indonesia. Selanjutnya, perampokan ikan dan sumber daya alam Indonesia akan terus terjadi oleh kapal-kapal asing.
Perlu sebuah tindakan yang tegas serta menyeluruh untuk dapat membela negara ini. Tidak cukup dengan slogan-slogan dan seruan untuk bela negara, tetapi negara harus menjadi penggagas dan promotor pelaksanaannya. Indonesia bukan ATM bagi para perampok yang uangnya murah dikeruk tanpa izin. Indonesia adalah negara yang bedaulat bagi negara-negara lain dan tidak mengamini perampokan asetnya oleh sebuah kejahatan individu maupun  terorganisir. Ibarat kata, ATM Indonesia hanya bagi para nasabahnya, bukan bagi perampok yang dengan mudah mendapatkan uangnya hanya dengan bersin bisa menggetarkan ATM dan keluar uangnya untuk dijarah.
Antrian service Daihatsu depok, 12 juii 2016, 10.00
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H