Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang merupakan orang kepercayaan HOS. Tjokroaminto menindaklanjuti usaha rekonstruksi khilafah Islam dengan menyusun brosur sikap hijrah berdasarkan keputusan kongres Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII ) tahun 1936. Kemudian pada 24 April 1940, Kartosoewirjo bersama para ulama mendirikan Institut Shuffah di Malangbong. Institut ini merupakan suatu laboratorium pendidikan tempat mendidik kader-kader mujahid, seperti di zaman Nabi Muhammad saw. Institut shuffah yang didirikan telah melahirkan pembela-pembela Islam dengan ilmu Islam yang sempurna dan keimanan yang teguh.Â
Alumnus shuffah kemudian menjadi cikal bakal Laskar Hizbullah-Sabilillah. Laskar Hizbullah-Sabilillah tidak diizinkan ikut hjrah ke Yogyakarta mengikuti langkah yang diambil tentara RI, sebagai akibat dari kekonyolan tokoh-tokoh politiknya. Laskar inilah yang pada akhirnya menjadi Tentara Islam Indonesia (TII).
7 Agustus tahun 1949 ia memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di Malangbong, Jawa Barat. NII dianggap sebagai satu-satunya rumah alternatif kebebasan bagi muslim Indonesia disebabkan Negara Republik Indonesia dipandang tidak memiliki kekuasaan karena telah dibekukan oleh Belanda (Vacuum Power).Â
Kartosoewirjo yang juga murid HOS Cokroaminoto -sebagaimana Soekarno, mengambil posisi dengan memproklamirkan kemerdekaan NII agar kaum muslimin siap bersatu melawan penjajahan Belanda di bawah kobaran api spiritual Islam. Namun Republik Indonesia dengan presiden Soekarno-Hatta yang ditangkap pada 19 Desember 1948, ternyata masih hidup setelah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) diamanahkan kepada Syafroeddin Prawiranegara, dan diserahkan kembali pada tanggal 14 Juli 1949 kepada Soekarno-Hatta yang berhaluan nasionalis.
Semangat NII melawan Belanda, harus berubah haluan menjadi melawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) karena NII dianggap sebagai pemberontak terhadap Negara RI yang sah pimpinan Soekarno-Hatta. Walhasil, pertempuran sporadis sering terjadi antara TII dengan TNI. Musuh NII bukan lagi belanda, tetapi RI. NII harus kandas secara de facto dan de jure setelah Kartosoewirjo ditangkap dan kemudian dihukum mati pada September 1962 oleh saudara seperguruannya sendiri, Soekarno.
Soekarno untuk pertama kalinya menjadi terkenal ketika dia menjadi anggota Jong Java cabang Surabaya pada tahun 1915. Bagi Soekarno sifat organisasi tersebut yang Jawa-sentris dan hanya memikirkan kebudayaan saja merupakan tantangan tersendiri. Dalam rapat pleno tahunan yang diadakan Jong Java cabang Surabaya Soekarno menggemparkan sidang dengan berpidato menggunakan bahasa Jawangoko (kasar). Sebulan kemudian dia mencetuskan perdebatan sengit dengan menganjurkan agar surat kabar Jong Java diterbitkan dalam bahasa Melayu saja, dan bukan dalam bahasa Belanda.
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemeene Studie Club (ASC) di Bandung yang merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada tanggal 29 Desember 1929 di Yogyakarta dan esoknya dipindahkan ke Bandung, untuk dijebloskan ke Penjara Banceuy. Pada tahun 1930 ia dipindahkan ke Sukamiskin. Dan di pengadilan Landraad Bandung 18 Desember 1930 ia membacakan pledoinya yang fenomenal berjudul "Indonesia Menggugat", hingga ia dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo) yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional, namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Setelah menjadi Presiden pertama RI, Soekarno harus dilengserkan dengan ditolaknya pertanggung jawaban di hadapan MPR pada tahun 1967. Ia dipenjara-rumahkan oleh bangsanya sendiri setelah mengorbankan segalanya demi terwujud idealisme menjadikan bangsa ini mandiri dan dihormati negara-negara lain.