Sebenarnya jika kita mengacu pada peraturan Undang- undang nomor 8 tahun 2016 pada pasal 53, pemerintah maupun pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) wajib memperkerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dan 1 persen bagi perusahaan swasta. Tapi, benarkah persyaratan tersebut telah cukup aplikatif di lapangan? Adakah contoh daerah yang sudah benar-benar melaksanakannya?
Saat ini, memang masih membutuhkan sosialisasi dan realisasi oleh pemerintah untuk memupus keraguan bagi perusahaan. Bagaimana sebenarnya kualitas, kebutuhan kerja difabel dan bagaimana pula perusahaan bisa menggandeng mereka sesuai dengan keperluan perusahaan.
Begitu pula, jika kita amati dengan seksama terkait tingkat fasilitas difabel, Indonesia juga sangat rentan praktik diskriminasi akses pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan pelatihan keterampilan sehingga, solusi yang lebih tepat bagi kaum difabel sebaiknya di pahami dengan lebih komprehensif dan lintas instansi pemerintahan.
Berdasarkan hasil riset Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2016, ada sekitar 51,12 persen partisipasi penyandang disabilitas dalam bursa tenaga kerja dari 12,15 persen (30 juta jiwa) jumlah keseluruhan penyandang difabel di Indonesia. Sedangkan yang bukan penyandang disabilitas, tingkat partisipasinya lebih besar yakni sekitar 70,40 persen dari penetrasi pasar tenaga kerja.
Hal tersebut mencerminkan perlu sosialisasi dan edukasi pemerintah kepada pihak terkait perusahaan swasta ataupun milik negara. Apalagi, dari riset yang di laksanakan UI juga menyimpulkan, kaum disabilitas lebih banyak bekerja pada sektor informal daripada formal.
Dengan begitu, gambaran stigma masyarakat terhadap tenaga kerja formal penyandang disabilitas memang masih kuat. Seolah-olah penyandang disabilitas tidak memiliki standar kompetensi. Hanya sekitar 65,5 persen bekerja di sektor informal dan 34,45 persen di sektor formal. Miris, bukan ?
Untuk itu di butuhkan terobosan agar kaum penyandang disabilitas memiliki akses dan gagasan baru dalam meningkatkan taraf hidupnya. Salah satu solusi jitu yang bisa langsung di terapkan oleh pemerintah adalah dengan mengakomodasi jaringan Balai Latihan Kerja (BLK) dengan membuka lebar-lebar kesempatan pelatihan bagi kaum difabel---yang tentu saja ruang dan programnya di sesuikan dengan kebutuhan mereka agar mampu mengikuti pelatihan dengan lebih nyaman.
BLK sekarang dapat menjadi ruang pelatihan ideal untuk pengembangan tenaga kerja bagi penyandang disabilitas. Menjadi peserta BLK tidak perlu persyaratan yang rumit dan syarat standar ijasah pendidikan. Ada sekitar 301 BLK di seluruh Indonesia sehingga lebih efektif dan merata dalam menyerap calon peserta difabel.
Program Revitalisasi, Re-Branding, & Re-orientasi yang di canangkan oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) harus juga sikron dengan kebutuhan daerah agar tidak terjadi benturan program jurusan yang tidak banyak di minati atau berdampak signifikan dalam serapan dunia kerja sekarang atau di masa depan.
Misal, dengan membuka jurusan pemograman untuk aplikasi, laman, game yang sekarang masif peminat dan pasarnya. Apalagi Kominfo telah memproyeksi bahwa ekonomi berbasis digital Indonesia pada tahun 2020 akan melonjak tajam dengan nilai Rp 1700 triliun. Dengan nilai ekonomi raksasa itu, tentu saja membuka ragam sektor ekonomi lebih luas, apalagi terkait penjualan daring yang sangat membutuhkan programer handal karena membutuhkan berbagai rancangan platform.
Uniknya lagi, gagasan segar pemasaran daring secara langsung dapat di arahkan kepada kaum penyandang disabilitas karena proses kegiatan pemasaran tersebut bisa di lakukan dari rumah sendiri dengan cukup memiliki konektivitas internet dan perangkat pendukung seperti smartphone, mengingat kebanyakan difabel terkendala fisik. Selain itu juga, fleksibilitas waktu dalam menjalankannya.