Meskipun Syahril mengakui bahwa karakter mudah marah dan kurang sabarnya masih sering muncul hingga sekarang, ia tidak menutup mata terhadap pengalaman tersebut sebagai pelajaran penting dalam hidupnya. Perubahan karakter bukan hal yang mudah, tetapi ia terus berusaha untuk belajar dari pengalaman dan contoh yang ia temui dalam perjalanan hidupnya.
Syahril menyoroti pertemuannya dengan perempuan yang akhirnya menjadi pendamping hidupnya, yaitu istri yang sangat sabar dan baik hati. Pertemuan dengan istrinya adalah salah satu momen yang mengubah hampir seluruh karakter dan kepribadiannya. Istrinya berhasil membantu meredam sifatnya yang sering meledak-ledak, yang ia akui merupakan karakteristik umum orang Sumatera. Dengan kesabaran dan cinta yang diberikan oleh istrinya, Syahril mampu menemukan ketenangan dan keseimbangan dalam hidupnya, yang kemudian membantunya menjadi pribadi yang lebih baik dan mampu menghadapi berbagai tantangan.
Syahril menekankan bahwa pengalaman-pengalaman tersebut mengajarkannya tentang pentingnya kesabaran, keberanian untuk menghadapi ketidakpastian, serta dukungan dari orang-orang yang ia cintai. Semua ini membentuk perjalanan hidupnya dan membantunya memahami bahwa setiap pengalaman adalah pelajaran berharga untuk membangun karakter yang lebih baik dan menghadapi berbagai ujian dalam hidup.
Syahril mengungkapkan bahwa pengalaman merantau baginya sering kali terasa seperti sebuah perjudian, di mana ia harus berjuang dan berusaha tanpa memiliki rencana yang panjang atau kepastian. Keputusan untuk merantau lebih banyak didasarkan pada semangat dan tekad untuk maju tanpa memikirkan terlalu jauh tentang apa yang akan terjadi. Ini menunjukkan semangat juangnya yang besar untuk terus berusaha sekuat tenaga dan menerima setiap peluang yang datang di masa depan, tanpa terlalu banyak berpikir tentang hasil akhirnya.
Dalam refleksinya, Syahril berharap jika ia memiliki kesempatan untuk mengulang kembali momen-momen dalam hidupnya, ia akan lebih fokus pada kariernya sebagai seorang dosen. Salah satu penyesalan terbesar dalam hidupnya adalah tidak berhasil meraih pendidikan S3 dan jabatan akademik yang lebih tinggi. Ia mengakui bahwa terlambat memulai pendidikan S3 menjadi salah satu faktor yang menghambat pencapaian ini, terutama karena ia memulai perjalanan S3 di usia yang sudah lebih dari 50 tahun.
Meskipun penyesalan tersebut selalu menjadi ganjalan dalam hati, Syahril tetap bersyukur karena anaknya memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi hingga jenjang S3. Keberhasilan anaknya ini menjadi penghibur tersendiri dan mengurangi rasa penyesalannya. Ini menunjukkan rasa optimisme dan rasa syukur yang ia miliki meskipun mengalami kegagalan dalam perjalanan akademiknya sendiri.
Syahril menekankan bahwa perjalanan hidupnya mengajarkannya banyak hal. Bahkan dari ketidakterwujudan impian awalnya hingga perubahan arah yang tidak direncanakan, ia tetap memiliki semangat untuk terus berusaha dan beradaptasi dengan situasi yang ada. Pengalaman ini menjadi pelajaran berharga bahwa kadang dalam hidup, kita harus mampu menerima kenyataan, belajar dari setiap pengalaman, dan berusaha untuk tetap maju, meskipun tanpa rencana yang sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H