Bangunan berunsur China -- Bali dengan cat dinding didominasi oleh warna merah dan kuning yang berada di daerah Tanjung Kait ini masih terawat dengan baik.Â
Dikelilingi oleh pohon kelapa dan daun-daun yang rindang serta posisi bangunan yang menghadap langsung kearah laut pesisir Tanjung Kait menjadi objek alam yang sangat indah untuk tempat healing dan bersantai.
Bangunan tersebut dikenal dengan sebutan Kelenteng Ema Dato Kosambi. Bagi orang Tionghoa, kelenteng bukan hanya tempat menyembah dewa-dewi.Â
Kebanyakan kelenteng dibangun untuk menghormati tokoh tertentu, yang akhirnya dianggap sebagai patron profesi atau kaum tertentu, seperti Guan Gong yang terkenal karena keberanian dan kesetiaannya.
Oleh karena itu, kelenteng dianggap sebagai salah satu tempat keramat untuk sembahyang. Hampir semua kelenteng memiliki altar khusus untuk dayang lokal daerah mereka, seperti Empe Banten, Empe Dato, Neng Dewi, dan lainnya.
Di dalam bangunan yang hanya memiliki satu lantai ini menyimpan 4 pusara yang dikeramatkan yaitu, Ema Dato Kosambi, Encim Kosambi, Empe Kosambi, dan Pocoh Kampung beserta leluhur yaitu Mamang Compreng dan juga Altar Dewa Bumi dan TIAN (baca, Ti'en) atau Tuhan.Â
Kabarnya,dahulu makam ini tidak tersentuh dampak dari meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883 yang memicu tsunami dengan ketinggian 12 kaki. Kejadian tersebut menjadi buah bibir dikalangan masyarakat pada saat itu hingga terciptanya sebuah lagu "Kramat Karam".
Menurut informasi dari jurukunci keramat ema dato menceritakan bahwa tidak ada yang tahu secara pasti mengenai Ema Dato, tapi dari cerita yang sudah tersebar di kalangan masyarakat setempat Ema Dato dikenal sebagai Lou Bu Cia.Â
Ema dato merupakan seorang tabib dari China yang berlayar mengarungi laut bersama pocoh kampung dan para pedagang yang lain. Hingga akhirnya Ema Datopun menetap di Tanjung Kait sampai akhir hayatnya, beliau meninggal pada tahun 1748. Sedangkan untuk Empe kosambi dan Encim kosambi beliau merupakan seorang tabib yang berasal dari Pulau Bali.
Dahulu makam Ema Dato hanyalah sebuah gundukan tanah dan tumpukan batu, di belakangnya ada pohon kosambi besar. Pada saat itu tidak ada yang mengetahui kuburan siapa itu, namun menurut cerita para nelayan disana, mereka sering melihat seorang perempuan berdiri disekitar makam tersebut tepatnya di depan pohon kosambi besar.
Perempuan tersebut sering terlihat memegang sebuah daun, kemudian dengan mediasi barulah diketahui bahwa makam tersebut milik seorang tabib bernama Lou Bu Cia atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Ema Dato Kosambi.
Bangunan pertama makan Ema Dato dibangun pada tahun 1700-an, saat itu kondisinya hanya beratapkan jerami dan ditopang dengan kayu. Petani setempat merawat makam tersebut sebagai bentuk balas budi karena bantuan air yang berasal dari makam tersebut mampu menghilangkan hama yang merusak kebun para petani.
Pada 1961, makam Emo Dato dibangun kembali menjadi lebih baik yang hingga sekarang kokoh berdiri. Kelenteng keramat Ema Dato saat ini masih berfungsi dengan baik sebagai tempat penyembuhan tradisional dan destinasi wisata spiritual. Makam Ema Dato ini merupakan salah satu bukti dari banyaknya penyebaran kepercayaan yang dibawa oleh para pedagang dari Tionghoa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H