Menarik andong sudah menjadi keseharian Prapto yang telah ia lakoni sejak dulu. Kakek berkelahiran tahun 1944 itu tetap kuat dan sabar meski harus bekerja selama 62 tahun lamanya.
Prapto tidak memilikki pendidikan yang tinggi, tidak seperti kebanyakan orang. Tukang andong yang selalu ngetem di Malioboro itu hanya menyelesaikan pendidikannya hingga bangku Sekolah Dasar (SD).
"Saya ya cuma sampai Sekolah Rakyat dulu, waktu itu juga kan masih zaman dijajah Belanda," ujarnya.
Selepas kelulusannya dari SD, Prapto langsung menapakkan kakinya ke tangga kehidupan yang selanjutnya. Ia kemudian bekerja sebagai pembajak sawah bersama dengan sapi-sapinya, harta terbesar yang ia milikki pada saat itu. Meskipun pendapatannya harus ia bagi hasil.
Baginya, membajak sawah adalah salah satu hal yang menyenangkan untuk ia jalani. Ia bahkan kerap merindukan derakan roda kayu pembajak yang digunakannya itu untuk membajak sawah.
"Sekarang itu semua sudah pakai mesin, ada rodanya, kalau dulu saya cuma pakai roda besi yang ada kayunya itu," ujarnya.
Namun, keadaan memaksanya berubah. Ia memutuskan untuk menjadi tukang andong untuk mencari nafkah, guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
"Gak enaknya ya gini, kalau hari biasa itu sepi gini, gak ada penumpang," ujarnya.
Walaupun di luar hari biasa, termasuk di hari-hari libur, ia hanya mampu menarik penumpang setidaknya sebanyak empat hingga lima orang perhari. Ini lah yang terus mendorong Prapto untuk selalu bersabar.