MENGAPA SIKAP MODERASI DALAM BERAGAMA SANGAT PENTING?
Judul tulisan ini  merupakan tema besar yang di sampaikan Dr. Abd Aziz, SS., M.Pd.I Dosen Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta dalam kegiatan Bimtek Pengembangan Konten Moderasi Beragama bagi Guru Agama dan Guru Madrasah di Lingkungan Kanwil Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta Tahun 2024. Pada tulisan saya sebelumnya saya memaparkan tentag pentingnya sikap toleransi beragama. Toleransi menjadi salah satu sikap yang harus dibangun dalam menggalakan toleransi dalam hidup beragama.
Pertanyaan mendasar mengapa sikap moderasi Beragama sangat penting? Menurut Dr. Abd Aziz, SS., M.Pd.I, ada beberapa alasan yakni, pertama: menguatnya pandangan, sikap, dan perilaku keagamaan eksklusif yang bersemangat menolak perbedaan dan menyingkirkan kelompok lain. Kedua, tingginya angka kekerasan bermotif agama yang disebabkan pandangan, sikap, dan cara beragama yang eksklusif. Ketiga, berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI. Keempat, berkembangnya cara pandang, sikap dan praktik beragama yang berlebihan (ekstrem), yang mengesampingkan martabat kemanusiaan.
Dalam kehidupan sehari-sehari seringkali  terjadi bias kognitif, hal ini tentunya yang harus kita waspadai. Bias Kognitif adalah bias sistematis dalam memandang dunia dan kehidupan pada sistem berpikir kita. Ia akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang muncul dari cara orang memproses informasi. Bentuk-bentuk bias kognitif: 1. Egocentric Memory: mengingat bukti yang menguatkan pendapatnya dan melupakan bukti yang tidak mendukung pendapatnya 2. Egocentric Myopia: melihat sesuatu hanya dari sudut pandangnya 3. Egocentric Righteousness: menganggap diri paling benar/hebat 4. Egocentric Hypocrisy: menerapkan standar ganda kepada orang lain 5. Egocentric Oversimplification: terlalu menyederhanakan masalah 6. Egocentric Blindness: tidak memperhatikan bukti yang berlawanan dengan keyakinannya
Bagimana cara mengoreksi pemikiran seperti ini?Â
Egocentric memory: kecenderungan alamiah seseorang untuk 'melupakan' bukti dan informasi yang tidak mendukung pendapat dan 'mengingat' bukti dan informasi yang mendukung pendapatnya.Â
Cara Mengoreksinya: sengaja mencari bukti dan informasi yang tidak mendukung pendapatnya dan secara eksplisit mengarahkan perhatian kepada bukti dan informasi ini. Ketika mencoba kemudian tidak menemukan bukti dan informasi tersebut, asumsikanlah bahwa proses mencarinya belum dilakukan secara benar.Â
Egocentric myopia: kecenderungan alamiah seseorang untuk berpikir 'absolutist' dalam sudut pandang yang sangat sempit, hanya dari sudut pandang dirinya.Â
Cara Mengoreksinya: secara rutin berpikir dengan sudut pandang yang berlawanan dengan sudut pandangnya. Misalnya, kalau Anda sebagai aktivis, coba berpikir sebagai pemerintah; kalau Anda sebagai wakil pemerintah, coba berpikir sebagai aktivis; kalau Anda sebagai pengusaha coba berpikir sebagai pekerja, begitu sebaliknya, dan seterusnya. Ketika Anda belum menemukan prasangka-prasangka pribadi dalam proses ini, tanyakanlah apakah Anda sudah jujur untuk mencobanya.Â
Egocentric hypocrisy: kecenderungan alamiah untuk mengabaikan inkonsistensi. Misalnya inkonsistensi antara kata dan perbuatan atau standar yang kita terapkan pada diri sendiri dan orang lain.Â
Cara Mengoreksinya: secara berkala membandingkan standar yang kita terapkan pada diri sendiri dan orang lain Jika tidak menemukan inkonsistensi dalam pikiran atau perbuatan Anda, bertanyalah apakah Anda sudah menggali lebih dalam atau tidak.Â
Egocentric oversimplification: kecenderungan alamiah untuk mengabaikan kompleksitas masalah dengan memilih pandangan yang sederhana bila kompleksitas itu akan mengubah pendapatnyaÂ
Cara Mengoreksinya: Secara rutin memfokuskan pikiran pada kompleksitas masalah dan secara eksplisit memformulasikannya dalam kata-kata :Jika Anda tidak menemukan bahwa Anda telah menyederhanakan banyak masalah penting, bertanyalah apakah Anda telah benar-benar mengonfrontasikan diri pada kompleksitas dalam masalah yang dihadapi.Â
egocentric blindness:kecenderungan alamiah untuk tidak memperhatikan fakta atau bukti yang berlawanan dengan kepercayaan dan nilainilai yang diyakiniÂ
Cara Mengoreksinya: secara eksplisit mencari fakta dan bukti tersebut. Bila Anda tidak mendapati diri Anda mengalami keresahan dalam mencari fakta dan bukti ini, maka Anda perlu bertanya apakah Anda telah secara serius menanggapi fakta dan bukti ini. Bila Anda dapati bahwa semua kepercayaan-kepercayaan Anda benar sejak awalnya, maka mungkin Anda telah secara canggih "mengelabui diri sendiri.
Dalam konteks keberagaman di Indonesia khususnya berkaitan dengan Agama tentunya penting untuk secara terus menerus melatih diri untuk berpikir positif tentang orang  di luar diri kita. Pada umumnya kita dengan mudah memberikan sebuah kesimpulan, bakhan mengadili orang lain ketika melihat sebuah konten baik berupa gambar atau video di media sosial  tanpa melihat fakta yang sebenarnya. Maka kita perlu open mind, open heart and open will. Kita membuka pikiran kita untuk memahami lebih tentang oranglain. Membuka hati untuk menerima orang lain dalam kondisi apapun meskipun kita berbeda. Membuka tekad atau keinginan untuk berdialog, bertegur sapa agar menghindari salah paham. Untuk itu ada 9 kata kunci dalam moderasi beragama yang harus kita pahami dan hidupi dalam kebersamaan dengan orang lain: kemanusiaan, kemaslahatan,  Adil, berimbang, taat konstitusi, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, penghormatan kepada tradisi.Â
Mari kita jaga negara kita tercinta dengan mengedepankan semangat kebersamaan, menyingkirkan ego sektarian.
Bernadus Jebatu
Guru SMA Santo Antonius Jakarta Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H