Mohon tunggu...
Bernard  Ndruru
Bernard Ndruru Mohon Tunggu... Dosen - Pantha Rhei kai Uden Menei

Pengagum Ideologi Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Parpol dan Kotak Kosong dalam Bingkai Demokrasi

26 Juli 2020   17:17 Diperbarui: 28 Juli 2020   20:25 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kotak kosong pemilu. (sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

"Pilkada merupakan sebuah ajang atau perhelatan demokrasi. Dalam pilkada, keterwakilan aspirasi masyarakat didahului dengan sebuah pernyataan sikap komunal"

Gaung Pilkada serentak pada tahun 2020, santer terdengar. Hiruk pikuk timses pemenangan Cakada mulai menghiasi media massa. 

Tidak tanggung-tanggung, para timses setiap cakada berusaha memoles setiap narasi dan pernyataan mengenai siapa jagoannya dan mengapa mereka layak menjadi pemimpin di daerah tertentu. 

Disisi lain, suara sumbang juga tidak terelakkan. Ada yang menyerang cakada secara verbal (personal) dalam bentuk makian dan hinaan, namun ada pula yang mendewakan cakada, ibarat tuhan yang mampu menyelesaikan segala persoalan dengan simsalabim.

Fenomena diatas tentu tidak bisa dinilai berdasarkan kategori salah atau benar dalam bingkai demokrasi, yang konon menganut asas kebebasan dan hak untuk menyuarakan aspirasi. 

Dalam bentuk pemerintahan yang dianut oleh NKRI, demokrasi menjadi sarana penyaluran kehendak rakyat tentang arah pembangunan yang berpihak dan bermuara pada bonum commune (kesejahteraan bersama). 

Dalam demokrasi, hak (partisipasi) setiap warga terakomodir (bisa) secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk keterwakilan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

Pilkada merupakan sebuah ajang atau perhelatan demokrasi. Dalam pilkada, keterwakilan aspirasi masyarakat didahului dengan sebuah pernyataan sikap komunal terhadap siapa calon yang akan diusung oleh masyarakat melalui dinamika tertentu, baik melalui rekomendasi partai politik maupun independen. 

Jadi, sudah bisa ditebak bahwa penentuan siapa yang akan menjadi Kepada Daerah, ada ditangan Pertai Politik maupun masyarakat.

Dalam konteks NKRI, peran Partai Politik menjadi sangat sentral dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin. Peluang dan keterbukaan ini memuat nilai plus-minus dalam bingkai demokrasi. 

Plusnya adalah bahwa dengan adanya partai politik, pemilihan menjadi lebih tersentralisasi  dalam kaitannya dengan heterogenisasi setiap keinginan elemen masyarakat untuk berkuasa, dan keberadaan sosok pemimpin menjadi terfilter sesuai dengan spesifikasi dan kompetensi. 

Tetapi, minusnya adalah karena begitu kentalnya kepentingan dalam setiap kontestasi yang dimaksud, maka membuka pintu lebar-lebar akan potensi 'perselingkuhan' dan politik transaksional yang berorientasi pada perhitungan untung-rugi elit partai. Dan ujungnya sudah bisa kita tebak yakni democrazy.

Peran Partai Politik tentu tidak bisa dipisahkan dalam kaitannya dengan birokrasi. Birokrasi yang melekat dengan Partai Politik akan dengan mudah melanggengkan kekuasaan dengan dalih hasil dari dinamika demokrasi yang diwakili oleh Partai Politik. 

Apalagi bila (Partai Politik) menghamba pada kepentingan internal partainya dengan deal-deal "komitmen operasional". Dan ini sudah tidak menjadi rahasia lagi. 

Maka dapat dimungkinkan, para calon yang akan bertarung di arena demokrasi dalam mencapai tujuan sebagai "make decision", akan menempuh segala cara untuk mewujudkan impiannya. 

Hal yang paling nyata akan terjadi adalah derasnya dukungan operasional dari para pemilik kepentingan untuk calon yang diusung, berpeluang untuk "membeli" secara serentak dukungan Partai Politik yang ada, yang pada akhirnya menciptakan cakada dengan lawan tarung kotak kosong. 

Memang ada landasan yuridis yang mengamini hal ini, yakni UU No. 10 tahun 2016 tentang mekanisme Pilkada yang hanya diikuti oleh Calon Tunggal. 

Tetapi, secara etis dan moral yang termuat dalam kaidah perang sekalipun, menang tanpa ada lawan adalah sebuah aib dan kenistaan. Ini menjadi refleksi penting bagi Partai Politik, terutama yang mengatasnamakan dirinya sebagai partai pejuang demokrasi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa perlawanan grassroot akan pembodohan demokrasi yang dipertontonkan, bisa dihalau. Hal ini bisa kita lihat dalam Pilwalkot Kota Makasar tahun 2018, dimana kotak kosong menang melawan calon yang diusung Partai Politik. 

Menjadi pertanyaan, apakah kejadian senada akan terulang dalam Pilkada serentak tahun 2020 ini? 

Harapan saya secara pribadi tentu tidak, walau hal tersebut tetap halal bagi mereka yang haus akan kekuasaan dan nyaman ber'onani' dengan konsep Politik sebagai strategi untuk merebut kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun