"Pilkada merupakan sebuah ajang atau perhelatan demokrasi. Dalam pilkada, keterwakilan aspirasi masyarakat didahului dengan sebuah pernyataan sikap komunal"
Gaung Pilkada serentak pada tahun 2020, santer terdengar. Hiruk pikuk timses pemenangan Cakada mulai menghiasi media massa.Â
Tidak tanggung-tanggung, para timses setiap cakada berusaha memoles setiap narasi dan pernyataan mengenai siapa jagoannya dan mengapa mereka layak menjadi pemimpin di daerah tertentu.Â
Disisi lain, suara sumbang juga tidak terelakkan. Ada yang menyerang cakada secara verbal (personal) dalam bentuk makian dan hinaan, namun ada pula yang mendewakan cakada, ibarat tuhan yang mampu menyelesaikan segala persoalan dengan simsalabim.
Fenomena diatas tentu tidak bisa dinilai berdasarkan kategori salah atau benar dalam bingkai demokrasi, yang konon menganut asas kebebasan dan hak untuk menyuarakan aspirasi.Â
Dalam bentuk pemerintahan yang dianut oleh NKRI, demokrasi menjadi sarana penyaluran kehendak rakyat tentang arah pembangunan yang berpihak dan bermuara pada bonum commune (kesejahteraan bersama).Â
Dalam demokrasi, hak (partisipasi) setiap warga terakomodir (bisa) secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk keterwakilan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Pilkada merupakan sebuah ajang atau perhelatan demokrasi. Dalam pilkada, keterwakilan aspirasi masyarakat didahului dengan sebuah pernyataan sikap komunal terhadap siapa calon yang akan diusung oleh masyarakat melalui dinamika tertentu, baik melalui rekomendasi partai politik maupun independen.Â
Jadi, sudah bisa ditebak bahwa penentuan siapa yang akan menjadi Kepada Daerah, ada ditangan Pertai Politik maupun masyarakat.
Dalam konteks NKRI, peran Partai Politik menjadi sangat sentral dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin. Peluang dan keterbukaan ini memuat nilai plus-minus dalam bingkai demokrasi.Â