Mohon tunggu...
Bernard  Ndruru
Bernard Ndruru Mohon Tunggu... Dosen - Pantha Rhei kai Uden Menei

Pengagum Ideologi Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hikmah Wabah Covid-19 dalam Peresmian Kades di NIAS

6 April 2020   22:38 Diperbarui: 7 April 2020   11:21 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi: Mengarak Raja dalam Budaya Nias

Kontestasi Demokrasi dalam skala grass root (khususnya desa-desa) di Kepulauan Nias sudah usai. Dinamika 'sengit' yang terjadi (sebagaimana diberitakan oleh media massa) hampir cooling down. Pola kepemimpinan sudah mulai dibentuk dengan melengkapi struktur.

Sebagaimana saya paparkan dalam tulisan sebelumnya berjudul  'Dana Desa jadi Dana Dosa, Tolonglah Pak Jokowi', tersirat begitu kentalnya euforia masyarakat desa yang merindukan sebuah pembangunan yang berkualitas di pelbagai bidang kehidupan di desa. Khususnya di Kepulauan Nias, kerinduan masyarakat pada umumnya adalah bagaimana agar konsep pembangunan nasional sebagaimana digaungkan oleh pak Jokowi dalam periode pertama pemerintahannya dengan hastag "membangun Indonesia dari Desa".

Sebagai Bapak Infrastruktur Indonesia, Pak Jokowi melihat bahwa kebutuhan utama mayoritas masyarakat di desa adalah infrastruktur dalam bentuk jalan (transportasi), listrik dan komunikasi, selain soal kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan ekonomi. Maka tidak mengherankan bahwa karena intensi ini, Pak Jokowi menggelontorkan trilliunan rupiah dana untuk pembangunan fisik dan SDM masyarakat melalui DD (Dana Desa).

Semenjak bergulirnya DD ini pada tahun 2015, komponen masyarakat desa mulai menggeliat membangun idealisme pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan di desa masing-masing karena negara memfasilitasinya tanpa tahapan birokrasi yang ribet.

Tetapi untuk mampu membuat legacy atas hal itu, perlu ada (masuk) dalam sistem yang kita kenal dengan hierarki kepemimpinan di desa. Caranya adalah menjadi Kepala Desa agar berperan sebagai Making Decision.

Dinamika yang muncul kemudian adalah geliat demokrasi dalam bentuk politik praktis mendapat tempat. Manuver untuk mendapat posisi making decision (menjadi kepala desa) menjadi lahan perebutan.

Hal ini sangat berbeda dengan situasi sebelumnya bahwa yang layak menjadi kepala desa adalah sosok yang dituakan, terkenal karena kebijaksanaannya di masyarakat dan mayoritas masyarakat setempat mengafirmasi hal itu. Yang terjadi adalah tiba-tiba semua masyarakat menjadi lebih pintar dan semua merasa layak mendapat peran sebagai making decision.

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menggerakkan semua masyarakat melakukan itu. Apakah gelontoran DD yang jumlahnya MM itu atau memang ada roh baru yang menginspirasi untuk melakukan perubahan yang lebih baik dari sebelumnya untuk pembangunan masyarakat desa?
Ok, niat apapun semua sah-sah saja dalam negara demokrasi seperti kita anut. Kembali pada peresmian Kades terpilih di desa-desa di Kepulauan Nias. Apa sih hubungannya dengan Covid-19? Jauh banget yah... linknya dimana? Jangan mengada-ada donk coey hehehe..

Setelah pelantikan kepala desa oleh otoritas setempat (Pemda), euforia baru mencuat ke publik. Kepala desa terpilih dan terlantik seolah baru pulang dari medan perang mulai melakukan perayaan.

Perayaan dalam bentuk syukuran peresmian digelar diberbagai pelosok dan melibatkan semua elemen masyarakat. Masyarakat senang, karena dalam perhelatan peresmian itu, masyarakat kecil mendapat jatah makan dan lauk (daging enak).

Pesta peresmian menciptakan hiruk pikuk, ada keyboard, ada gelar baru bagi kepala desa (sebagian  La'owasa dengan lambaian bendera/loyo dari kerabat yang mengadakan pesta) dan didatangi oleh petinggi-petinggi daerah. Amazing...

Agar publik tahu, bahwa dalam pesta yang dimaksud di atas (khususnya masyarakat Kepulauan Nias), menu yang disajikan tidak akan lengkap tanpa mengorbankan Si'ofa ahe (Daging B2). Dan setiap petinggi daerah yang hadir atau yang dituakan akan mendapat penghargaan dalam bentuk simbi (kepala atau rahang B2). Jadi bisa dibayangkan berapa jumlah B2 yang akan dikorbankan.

Di sekitaran desa tempat tinggal saya, ada yang mengorbankan sampai 80 puluhan ekor babi hanya untuk pesta peresmian kepada desa baru. Jika ditaksasi secara normal 80 ekor babi dikali harga 2,5 juta/ekor, maka dana yang harus dikeluarkan oleh sang pemilik pesta berkisar  200 juta belum ditambah yang lain-lain seperti biaya keyboard, beras dan 'minuman ringan' yang disuguhkan kepada tamu yang hadir.

Memang, kita tidak serta merta mengatakan ini sebagai biaya murni yang digelontorkan Kepada Desa terpilih, karena sistem kekerabatan di Kepulauan Nias mengenal apa yang disebut dengan Faezono, talifuso ba dambai (keluarga dekat) yang turut bahu membahu mendukung pesta peresmian ini.

Tetapi sebagian besarnya adalah hutang yang dipinjamkan dari tetangga, kenalan dan teman sekampung. Contoh sederhana saja, di daerah saya di Nias Selatan, ada sekitar 400 an kepala desa. Jika semua melakukan pola yang sama, maka hitung sendiri dana yang akan keluar (Sekitar 8 Milyar), jumlahnya hampir 6% dari APBD Kabupaten Nias Selatan yang berkisar 1,5 Triliun  per tahun. Wow...

Mirisnya adalah bahwa peresmian ini selalu saja diikuti oleh embel-embel hastag berbau politik praktis dengan tujuan corona (latin: mahkota/kekuasaan). Untungnya, belum setengah dari jumlah Kades terpilih yang melakukan hal yang sama, Wabah Covid-19 datang melanda.

Peraturan PSSB mengenai physical distancing atau social distancing sudah mulai diberlakukan. Kerumunan dilarang dan pesta-pesta diminta untuk dilaksanakan sesudah ada pemberitahuan resmi dari pemerintah untuk beraktivitas seperti biasa.

Hal ini juga didukung oleh keputusan KPU RI yang melonggarkan jadwal pilkada serentak tahun 2020 di seluruh Indonesia. Sehingga nuansa politisasi dalam setiap perayaan peresmian kades menjadi terhenti total dan fokus untuk menghadapi musuh bersama tanpa mengenal aliran politik yakni Covid-19. Hehehe... terimakasih Corona.

Sisi lain yang membuat kita harus berterimakasih kepada Covid-19 adalah bahwa Kepala Desa terpilih terhindar dari hutang karena biaya peresmian yang tidak tangung-tanggung. Kalau semua biaya yang akan dikeluarkan dari kantong Kepala Desa sendiri, bolehlah kita mengatakan wajar, toh itukan hartanya sendiri dari usahanya sendiri.

Tetapi jika ada Kepala Desa yang berharap bahwa biaya yang akan dikeluarkan akan tergantikan dengan cara "mengelolah-mengolah" DD yang akan diterima desa setiap tahunnya, maka tanpa lockdown, masyarakat kita sudah diambang chaos.

Hm... para Kades terpilih, sudah dengar gak isu bahwa pemerintah akan menghold sementara pencairan DD karena kedatangan tidak sengaja musuh bersama ini? Jika benar itu terjadi, silahkan kembang-kempis nafasnya yah hehehe..

Covid-19 datang pada waktu yang tepat, walau kami sangat tidak menginginkannya. Semoga kehadiranmu menjadi refleksi akan nilai kepemimpinan yang kami raih dalam intensi pembangunan daerah kami yang tercinta.

"Covid-19, cepatlah minggat... biar kami bisa bermanuver kembali", eitssss... salah, cepatlah berlalu biarlah kami bisa bekerja menghidupi keluarga dan belajar bersyukur atas kehidupan yang diberi oleh Sang ADA".

Salam anak Desa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun