Pembuktian dalam hal terjadi pelecehan seksual mengikuti ketentuan dalam hukum pidana yang berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan :
Alat bukti yang sah ialah :
keterangan saksi;
keterangan ahli;
surat;
petunjuk;
keterangan terdakwa.
Namun dalam hal apabila korban mengalami pelecehan seksual secara fisik dapat melengkapi pembuktian dengan Visum et Repertum yaitu surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, untuk dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan.
Mengaku pada definisi di atas, maka Visum et Repertum dapat digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP yang menyatakan :
"surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya."
Penggunaan Visum et Repertum sebagai alat bukti, diatur juga dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang menyatakan :
"Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya."
Namun terdapat satu hal yang perlu diperhatikan dalam mengajukan Visum et Repertum sebagai alat bukti. Memang tidak ada ketentuan mengenai batas waktu kapan korban harus melakukan visum setelah mengalami pelecehan seksual fisik, akan tetapi, akan lebih baik apabila korban melakukan visum secepatnya setelah ada tindakan pidana agar bukti yang ditinggalkan tidak hilang. Namun prosedur yang perlu diketahui adalah korban perlu melaporkan terlebih dahulu tindak pidana pelecehan seksual (perbuatan cabul) kepada pihak Kepolisian. Setelah Laporan Polisi (LP) dibuat, maka penyidik akan mengeluarkan Surat Permintaan untuk melakukan visum. Setelah surat permintaan dikeluarkan, lalu penyidik akan mendampingi korban dalam pemeriksaan visum.
Bagaimana perlindungan hukum bagi korban pelecehan seksual di Indonesia?
Dan bagi para korban pelecehan seksual secara khusus diatur mengenai perlindungannya dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ("UU PSK").