Setelah beberapa hari lalu saya menulis tentang Pendaki Tolol, tidak adil rasanya kalau saya juga tidak menulis bagaimana menjadi seorang Pendaki Cerdas. Menjadi pendaki cerdas tidak hanya untuk keselamatan dan kenyamanan diri sendiri, tapi juga bertanggungjawab terhadap teman, keluarga, alam, dan Tuhan. Tidak hanya mentaati peraturan, tapi juga menghormati etika konservasi.
[caption id="attachment_301961" align="alignnone" width="608" caption="Menikmati sunrise di Gunung, masih menjadi tujuan utama para pendaki gunung. (Foto; Bernard T. Wahyu Wiryanta)"][/caption] Sebagai ilustrasi, suatu kali saya pernah melakukan trecking ke Gunung Rinjani di Lombok. Dari Jakarta saya memang berangkat sendiri, tapi saya sudah mempunyai teman yang janjian akan bertemu di Sembalun. Saya belum pernah mendaki Rinjani, jadi saya melapor ke Pos dan mencari porter sekaligus guide yang mengerti medan.
Saya melakukan perjalanan ini pada bulan Desember pada saat cuaca buruk. Jadi saya mempersiapkan segala perlengkapan dan logistik untuk menghadapinya. Untuk waktu perjalanan 4 hari, saya menyiapkan logistik untuk 5 hari, siapa tahu harus lebih lama di gunung atau bertemu pendaki yang kekurangan makanan. Saya membuat surat pernyataan diatas materai untuk pendakian kali ini, yang isinya jika terjadi sesuatu hal diatas sana, karena cuaca buruk, saya akan bertanggungjawab dan tidak akan menuntut ke pihak Taman Nasional Gunung Rinjani.
Maka setelah semua perbekalan lengkap, termasuk P3K tentunya, paginya saya mulai melangkahkan kaki menyusuri trek Gunung Rinjani. Saya bertemu dengan teman-teman di Plawangan Sembalun sore harinya. Setelah beristirahat, kami memasak, makan malam dan tidur mempersiapkan fisik untuk pagi nanti melakukan perjalanan ke Puncak Rinjani. Maka jam 2 pagi kami semua mengisi perut dengan makanan dan minuman hangat sebelum melakukan “summit attack”. Cuaca mendung dan segera berubah menjadi hujan dan badai. Cuaca ini tidak berubah sepanjang perjalanan kami. Badai makin memburuk ketika matahari mulai muncul, angin semakin cepat, dan hujan semakin deras, padahal puncak sebentar lagi. Saya memutuskan, semua pendaki untuk turun. Untungnya semua menurut, walaupun dengan kekecewaan tinggi. Sebagian dari mereka baru beberapa kali naik gunung.
Kami turun, dan badai makin membesar, kami berlindung di tenda di Plawangan Sembalun. Semua selamat. Padahal saya tahu, sebagian besar dari mereka menabung bertahun-tahun untuk kesini. Tapi saya tekankan, Gunung Rinjani, tahun depan masih ada, juga tahun berikutnya. Siangnya setelah badai reda, kami turun ke Segara Anak, dan ikan bakar yang dipancing dari danau ini sedikit mengobati kekecewaan teman-teman. Jika saja kami nekat, mungkin saja ada salah satu dari kami, atau mungkin lebih yang harus dievakuasi. Tapi mereka paling tidak sudah berhasil mengalahkan egonya. Banyak pendaki yang tewas, bukan karena kalah oleh cuaca gunung, tapi mereka kalah atau tidak bisa menaklukkan egonya sendiri, bahkan pendaki senior sekalipun.
[caption id="attachment_301982" align="alignnone" width="641" caption="Keindahan alam di gunung boleh dinikmati siapa saja, dengan syarat mentaati peraturan, disiplin, dan menghormati etika konservasi. (Foto Sindoro-Sumbing-Bernard T. Wahyu Wiryanta)"]
Mentaati Peraturan dan Disiplin
Rata-rata gunung yang masuk kawasan konservasi, misalnya Taman Nasional sudah mempunyai peraturan baku untuk para pendakinya. Mentaati semua peraturan ini, 50% perjalanan kita sudah berhasil. Salah satu contohnya adalah kewajiban membawa perlengkapan standar pendakian seperti raincoat, sepatu trecking yang menutup mata kaki, baju ganti, baju hangat atau jacket, sleeping bag, tenda, perlengkapan P3K, dan perbekalan yang cukup. Masalah perbekalan ini juga kadang disepelekan, padahal sebenarnya juga masalah sepele. Cukup bawa makanan sehari-hari. Berapa lama kita di gunung, dan makan berapa kali, itu saja. Raincoat, jacket, pakaian ganti, dan sleeping bag yang sering diabaikan ini biasanya menyebabkan para relawan harus mengevakuasi korban atau mayat karena hipotermia.
Lalu kemudian akan timbul pertanyaan “bagaimana dengan pendaki yang tidak mempunyai perlengkapan cukup, apakah tidak boleh ikut menikmati keindahan alam?”. Jawabannya sangat simpel sebenarnya. Apakah tidak bisa ditunda, dengan didahului dengan menabung misalnya. Atau menyewa, atau jika terpaksa meminjam. Toh harga sebuah sleeping bag hanya setara 10 bungkus rokok misalnya. Kadang saya melihat foto-foto puncak gunung di jejaring sosial dengan caption, “sebuah impian yang terwujud”. Bukankan untuk mencapai sebuah impian butuh pengorbanan dan perjuangan, menabung adalah salah satu proses perjuangan untuk mencapai impian.
Terbukti di lapangan, pendaki-pendaki bonek ini banyak menjadi korban keganasan gunung. Beberapa kali saya menemui pendaki demikian ini, kadang logistik minta-minta di tenda lain. Baju basah tanpa pengganti. Tidak memakai raincoat dan kedinginan tanpa sleeping bag. Mereka ngotot tetap melanjutkan perjalanan “nggak apa-apa bang, sudah biasa”. Namun akhirnya beberapa anggota kelompoknya akan turun tergopoh-gopoh sambil menangis “bang tolong bang, teman saya meninggal di atas.” Atau sekedar air panas untuk menghangatkan badan saja mereka tiada.
Peraturan lainnya adalah wajib melapor dan berjalan sesuai jalur yang sudah ditentukan. Dua hal ini dilaksanakan, maka tidak bakalan ada korban tersasar di gunung, khususnya di Gunung Gede dan Gunung Pangrango di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Kadang teman-teman yang sudah sering mendaki gunung sampai kemana-mana sering bercanda, bahwa Gunung Gede itu sudah ada jalan tolnya. Kebangetan kalau sampai ada pendaki tersasar. Prakteknya tetap saja ada pendaki yang hilang tersasar. Bahkan saya pernah menemui ada pendaki yang berteriak-teriak di kawah Gunung Gede sendirian. Ini aneh, bagaimana dia bisa sampai disana sendirian, padahal teman lainnya ada 8 orang? Salah satu etika berjalan di gunung adalah berjalan bersama dalam rombongan dan jangan tinggalkan teman. Jawaban dari kasus ini adalah “etika ini pasti dilanggar”.
Aturan lain untuk mendaki gunung adalah para pendaki atau rombongan pendakian ke Gunung yang belum mendapat pendidikan dasar kegiatan di luar ruang/pendakian gunung atau belum mengerti medan tidak boleh naik gunung. Artinya silahkan naik gunung tapi didampingi oleh orang yang ngerti. Misalnya guide lokal, atau seniornya. Pelanggaran kasus ini paling banyak menimbulkan celaka di gunung. Pengalaman ini tidak hanya pengalaman mengerti jalan untuk sampai ke puncak gunung, tapi termasuk mental bagaimana menghadapi kondisi tidak terduga. Bagaimana harus mengambil keputusan saat kritis, dan mengkoordinir pendaki lain dalam tim ketika terjadi kekacauan di gunung.
Memang waktu di TNGGP mulai ada peraturan wajib guide, saya yang pertama menolak dan menentang. Pasalnya saya sudah membayar porter, tapi tetap saja diwajibkan membayar guide. Juga karena guide dan porternya masih belum siap waktu itu, masih harus dididik dan dibuatkan SOP-nya. Pengenalan medan oleh guide yang ditunjuk juga tidak lebih baik dari saya.
Mari kita coba buka mesin pencarian di dunia maya dan mencari berita kecelakaan di gunung. Korban kecelakaan di gunung pasti didominasi oleh para pendaki gunung pemula dan yang tidak mengikuti aturan. Beberapa pendaki yang sudah kawakan pun ada juga yang meninggal di gunung karena mengabaikan aturan dan melanggar etika, ditambah tidak mampu mengalahkan ego.
Para pendaki pemula yang belum mendapat pendidikan dan minim pengalaman ini biasanya akan tidak bisa mengambil keputusan dengan pikiran sehat dan tepat. Terutama ketika tersasar atau terjadi kecelakaan menimpa mereka. Satu lagi, jumlah kecelakaan di gunung juga didominasi pada saat perjalanan turun.
Latihan dan Aklimatisasi
Gunung itu bukan mall dan tempat wisata umum. Gunung adalah alam liar dan tempat wisata terbatas. Artinya perlu syarat khusus untuk bisa sampai disana. Saya kira para pendaki gunung pasti sudah pernah membaca bagaimana harusnya hidup di hutan dan gunung, bagaimana aturannya, bagaimana penanganan mountain sickness, bagaimana menangani korban hipotermia misalnya. Tapi mereka hanya membaca, tidak pernah melakukan latihan. Itulah gunanya diklat, gunanya kelompok PA melakukan pendidikan dasar. Goup PA tidak hanya untuk hura-hura saja. Segala jenis gadget sekarang ada di ransel para pendaki gunung, tapi bisa dihitung yang membawa perlengkapan P3K. Ini sangat memprihatinkan, iPad dan smartphone hanya akan membantu Anda dengan mesin pencarian semacam Google, itupun ketika ada sinyal. Gadget tidak bisa mengeluarkan paracetamol, asam salisilat, dan yodium misalnya.
Perlu latihan serius untuk bisa bertahan hidup di luara ruang. Juga berlatih bagaimana menghadapi kondisi kritis, bagaimana menangani korban, dan harus berwawasan luas. Ketika semua ini belum dimiliki, sebaiknya tidak menginjakkan kaki di hutan dan gunung. Ini berbahaya dan merepotkan.
Aklimatisasi juga sering diabaikan. Buat para pendaki dari daerah dataran rendah, seyogyanya melakukan aklimatisasi di lereng gunung tidak serta merta sprint berlomba untuk segera keatas. Jika dilanggar maka bisa dipastikan akan terkena mountain sickness.
Menghormati Etika Konservasi
Selain mentaati peraturan yang ada, sebaiknya para pendaki gunung juga menghormati etika konservasi. Misalnya tidak menangkap, membunuh, memberi makan, mengganggu, melukai satwa, dan/atau membawa keluar satwa yang ditemui di kawasan. Membawa binatang peliharaan selama melakukan perjalanan atau pendakian di kawasan. Mengambil, memetik, memotong, dan membawa keluar kawasan tumbuhan/tanaman atau bagian-bagiannya yang ada di kawasan Gunung.
Biarlah mereka tetap di habitatnya. Flora dan fauna itu akan lebih indah dinikmati di habitat aslinya, bukan di rumah kita di kota. Bunga Edelweis juga akan lebih cantik dinikmati di puncak gunung dengan bentang alam di sekitarnya, dalam suhu dingin dan hangatnya sinar matahari pagi, dan udara dengan kandungan oksigen yang tipis.
Toleransi juga sangat diperlukan ketika berada di hutan dan gunung. Mendengarkan desiran suara angin yang meneronos sela-sela daun, mendengarkan nyanyian burung yang membentuk orkestra dengan suara kodok, primata, dan binatang lainnya akan lebih bijak daripada membawa alat musik, dan sumber bunyi elektronik lainnya.
Marilah kita menjadi pendaki yang cerdas dan bijak. Jangan sampai kita menjadi pendaki gunung yang jatuh ke lubang yang sama berkali-kali. Atau lebih parah lagi jatuh terperosok ke lubang yang sudah jelas terlihat dan ditunjukkan. Untuk kasus seperti kalimat yang saya sebut terakhir ini,saya akan tetap menyebutnya dengan “pendaki Tolol”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H