Siang itu, sekitar pukul 12 saya baru menyelesaikan tugas kerja di kantor ESDM di kota Ende. Tujuan selanjutnya adalah ke kota Ruteng yang akan memakan waktu kurang lebih 6 jam, itu kalau tanpa berhenti beristirahat.
Pemandangan laut di depan kantor ESDM kota Ende
Kalau sebelumnya dari Maumere ke Ende saya melihat pemandangan pantai sebelah utara, perjalanan kali ini adalah pemandangan pantai selatan. Sama..., sama indahnya. Saya mengeluarkan kamera dan mengabadikan pemandangan sambil mobil terus berjalan.
di kiri laut dan di kanan tebing tinggi
dari dalam mobil saya menoleh ke belakang dan mengabadikan pemandangan ini
Pemandangan bertambah indah ketika melewati laut yang airnya berwarna hijau kebiruan. Mata saya tertuju pada hamparan batu batu yang berserakan di pinggir pantai. Di sepanjang pantai ini memang bukan pasir tetapi batu batu yang berwarna hijau kebiruan. Itulah sebabnya pantai ini disebut pantai Batu Hijau, begitu rekan saya yang orang lokal Flores ini menjelaskan. Mengingat tujuan yang masih jauh, saya tidak berhenti menginjak pantai Batu Hijau yang terletak di desa Penggajawa, Flores. Di samping itu, saya tidak melihat tempat beristirahat atau warung satu pun.
di sudut kiri foto ini terlihat tumpukan batu hijau yang siap untuk dijual
pandangan dari laut teralihkan ke truk yang mengangkut batu besar tanpa pengaman tambahan
Setelah masuk di kecamatan Nangaroo kabupaten Nagekeo, barulah ada sebuah warung yang terlihat cukup besar dan bersih. Disitu saya berhenti untuk menikmati mie yang selalu terasa lebih enak jika dinikmati di tempat seperti ini.
dari jendela di warung ini saya bisa menikmati indahnya laut Sawu dan samar samar terlihat pulau Ende
dua gadis kecil, anak pemilik warung
Tidak lama di warung ini, saya melanjutkan perjalanan dan kemudian berhenti lagi di tepi jalan tepatnya di kampung Wudu kecamatan Boawae masih di kabupaten Nagekeo. Di tempat ini memang orang biasa berhenti untuk mengabadikan keindahan gunung Ebulobo, gunung berapi yang masih aktif. Gunung Ebulobo menurut cerita rakyat Flores, berpasangan dengan gunung Inerie di kabupaten Ngada.
Versi cerita yang saya dengar, gunung Ebulobo adalah jelmaan sorang pemuda yang mencintai Inerie, tetapi kemudian Inerie memilih laki laki lain yang bernama Jaramasi. Itulah sebabnya gunung Ebulobo sampai saat ini selalu mengeluarkan asap, pertanda dia masih marah.
Gunung Ebulobo terlihat gagah dan marah
di sebelah kanan foto, di tepi jalan itu adalah tempat untuk dapat melihat gunung Ebulobo dengan jelas
Kabupaten Nagekeo berbatasan langsung dengan kabupaten Ngada. Sudah menjelang sore ketika masuk ke kabupaten Ngada di kota Mataloko. Kabut tipis mulai turun dan udara terasa dingin. Di Mataloko ini saya sempatkan turun untuk mengambil foto seminari St.Yohanes Berkhman dan rumah retret Kemah Tabor.
Seminari St. Yohanes Berkhman yang ada sejak tahun 1929 ini menyelenggarakan pendidikan calon imam tingkat SMP dan SMA
rumah retret Kemah Tabor yang didirikan tahun 1932 dulunya disebut rumah tinggi
Tidak jauh dari seminari juga ada sebuah gereja tua di dekatnya. Hari itu bukan hari beribadah, tetapi pintu gereja terbuka dan di dalamnya saya lihat sekelompok orang sedang menyanyikan lagu pujian.
gereja Roh Kudus di Mataloko
Yang saya lihat, yang saya alami, semuanya membuat mata saya basah seketika. Saya berlutut mengucap syukur karena mendapat kesempata menjelajahi Flores. Mungkin terkesan berlebihan, tetapi itu yang saya rasakan. Meskipun tahu bahwa saya tidak akan ke Labuan Bajo, tidak akan ke Pulau Komodo yang terkenal dan hanya bisa menggunakan sedikit waktu untuk liburan di sela waktu kerja , saya tetap amat bersyukur bisa menikmati keindahan Flores.
Perjalanan harus dilanjutkan segera, karena target hari ini adalah sampai di Ruteng. Sementara saya ingin mampir ke desa Bena.
Desa Bena terletak di lereng gunung Inerie, gunung yang sudah saya sebut diatas, ketika menceritakan tentang gunung Ebulobo. Maka tak heran perjalanan ke desa Bena amat berkelok kelok dan menanjak.
Saya membuka jendela merasakan kesejukan angin dan menikmati pemandangan yang indah. Seperti daerah Flores pada umumnya di sekitar Bena juga banyak tanaman kopi,kemiri dan kakao. Saya tidak sungkan untuk meminta berhenti di beberapa tikungan, untuk melihat gunung Inerie dan tentu saja untuk berfoto.
dari salah satu tempat pemberhentian ini sebenarnya gunung Inerie bisa terlihat jelas, tetapi ketika itu hari sudah sore dan kabut mulai turun (foto ini sudah sedikit diedit sehingga terlihat lebih terang)
Dengan kamera yang hanya biasa saja, saya tidak berhasil mengabadikan gunung Inerie dengan sempurna.
Tetapi, coba berhenti membaca tulisan ini, ambil pinsil dan kertas lalu buat dengan cepat gambar sebuah gunung, share hasilnya ya...
Saya yakin pasti banyak yang menggambar gunung dengan cara sekedar menarik dua buah garis yang membentuk sudut runcing. Begitulah gambaran gunung Inerie, gunung megah yang berbentuk pyramid, segitiga yang sempurna.
foto ini diambil dari tempat pemberhentian “Manu Lalu” panorama
Ketika masuk ke wilayah desa Bena, waktu seperti membawa saya kembali ke jaman dimana belum ada kata modern. Pohon bambu di sekitar situ amat besar dan subur. Bunyi daun daun bambu yang terkena angin memecah kesunyian di desa Bena. Pemandangan yang menakjubkan langsung terhampar di depan mata. Rumah adat dari kayu beratap serat ijuk berjejer dan ditengah tengah ada hamparan batu berupa kuburan, meja batu dan batu batu besar lainnya seperti yang diceritakan di sejarah peninggalan zaman Megalithikum. Semua masih terjaga keasliannya.
Banyak hal yang menarik perhatian saya di desa Bena. Ibu yang duduk di teras rumah sambil menenun kain, seorang nenek tua yang amat merah bibirnya sedang mengunyah sirih, anak-anak yang bermain bola dengan muka dan badan berlumur tanah, seorang bapak tua yang menjaga tokonya, tanduk kerbau yang digantung di tiang rumah, hiasan atap rumah yang berbentuk manusia, dan banyak hal unik lainnya. Semua mempesona.
desa Bena yang sederhana dengan bentuk yang seperti separuh perahu
Rumah dengan hiasanboneka laki laki merupakan simbol bahwa rumah tersebut adalah milik dari keluarga garis laki - laki penduduk asli desa ini, yaitu Suku Ngada
Rumah yang atapnya dihiasi rumah - rumahan kecil merupakan simbol bahwa rumah tersebut milik dari keluarga garis perempuan
Beberapa rumah dihiasi dengan tanduk kerbau yang menunjukkan status sosial masyarakat Bena
di tengah desa Bena ada bangunan rumah pondok kecil yang disebut Bhaga yang merupakan simbol nenek moyang perempuan. Ngadu dan Baga sebagai simbol nenek moyang laki-laki dan perempuan dan ada pondok yang hanya bertiang satu yang merupakan simbol nenek moyang laki laki
para wanita di desa Bena biasa menghabiskan waktu di serambi rumah untuk memintal benang dan menenun kain
kain tenun desa Bena
Satu hal yang juga menarik perhatian saya adalah bangunan yang terpisah dari rumah adat Bena. Meskipun dinding bangunan terbuat dari kayu dan juga beratap ijuk seperti rumah adat Bena, tetapi lantai bangunan ini bersemen.
Bangunan ini ternyata adalah toilet umum yang disediakan untuk para tamu, terutama turis asing yang sering menginap di rumah penduduk desa Bena. Begitulah rupayanya masyarkat desa Bena ini bisa menerima hal yang modern, tetapi mereka sendiri tetap teguh menjalankan dan menjaga warisan budaya mereka.
Kalau ke desa Bena jangan lupa untuk terus berjalan sampai di tepi paling atas tepat di ujung tertinggi desa ini. Dari situ akan terlihat rentetan gunung, bukit, jurang dan lautan bersatu menjadi sebuah panorama mengagumkan. Di atas ini penduduk desa Bena yang mayoritas beragama Katolik membangun gua kecil tempat berdevosi kepada bunda Maria.
Mengingat bahwa target malam ini harus ada di kota Ruteng, saya tidak bisa berlama lama di desa Bena. Kembali lagi seperti kemarin malam, saya tahu akan melalui jalan sepi yang gelap karena dari desa Bena saja sudah pukul 6 sore. Jalan di Flores memang rata-rata sepi dan gelap. Penerangan hanya dari lampu jalan yang jaraknya amat berjauhan. Jarang ada tukang tambal ban atau bengkel seperti di jalan antar kota di pulau Jawa.
Jarang pula ada warung apalagi restauran. Sudah 2 jam dari desa Bena dan perut sudah sangat lapar tetapi belum terlihat warung. Baru kemudian di Aimere ada warung yang masih buka, warung nasi padang, satu satunya pilihan. Tidak seperti di warung padang langgangan saya di Bogor, tidak banyak pilihan masakan di warung padang ini. Tidak ada perkedel dan ikan kembung favorit saya. Akhirnya saya makan dengan ikan dan sayur singkong. Ikan yang saya pikir adalah ikan tongkol, ternyata ikan tuna. Habitat ikan tuna memang banyak terdapat di laut Flores.
Makan malam hari itu saya tutup dengan segelas teh manis dan segera sesudahnya kembali menyusuri jalan yang gelap. Hampir pukul 12 malam saya baru sampai di Ruteng yang dingin. Artinya, 11 jam lebih saya di jalan, dari Ende ke Ruteng. Melelahkan tapi menyenangkan. Saya tetap bersyukur.
Tulisan pertama tentang Flores
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H