Siar siur mengayun -- ayun terusan kenanga. Ia tahu lantaran melihat gugup si gadis keranjan putih di tangan. Senyum terpasang hampir memudar, tertutupi rambutnya tergerai lebat.
Sepatu diketukkan tanpa tempo, sambil sesekali menatap langit -- langit atap toko roti. Langit mendung seraya menahan air tuk dijatuhkan. Agar senyum si gadis mewarnai toko roti sore itu.
Menarik nafas dalam, entah apa yang sedang ia komat kamitkan sejak tadi.
Dug, dug, dug, dug...
Suara kaki yang berlari dari arah berlawanan terdengar semakin jelas. Sambil terengah -- engah, ia berteriak,"Keke!"
Sontak, gadis itu terkejut. Matanya berbinar, melihat di ujung berlawanan ada sosok yang ia nantikan. Segera, ia merapikan terusan yang melekat, dan kerangjang putih kembali digenggam erat.
"Kenanga ku, sudah siap?", ujar sosok pria yang baru saja tiba.
Aroma vanila yang khas berhasil menerbangkan gadis keranjang putih. Ia langsung mengangguk tanpa sepatah kata pun. Ribuan frasa telah tertelan bersama wangi toko roti yang seirama dengan pria disebelahnya.
Jalan bersandingan, si gadis dan sang pria tak kunjung menyudahi lengkung bibir nan elok.
Matahri pun terbenam malu -- malu. Ia mengiringi sepasang sayap yang siap terbang tinggi oleh asmara muda.
Toko roti menyambut tanda siluet matahari. Seketika harum roti bermunculan, mengelilingi Kenanga dan Sang Jejaka.
Ah, gemar sekali mengenang masa lalu ku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H