Mohon tunggu...
Bernadeta Novi Andriyani
Bernadeta Novi Andriyani Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Saya Bernadeta Novi Andriyani, seorang guru bahasa Indonesia dengan pengalaman mengajar sejak tahun 2015. Saya memiliki kecintaan mendalam terhadap bahasa dan sastra Indonesia, yang saya sampaikan kepada para siswa dengan penuh semangat. Di luar jam mengajar, saya sangat menikmati membaca novel. Kegiatan ini tidak hanya memberi saya hiburan, tetapi juga memperkaya pengetahuan saya tentang berbagai gaya penulisan dan wawasan budaya yang berbeda.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ujian Nasional Kembali Digelar: Solusi ataukah Ilusi?

13 Desember 2024   18:36 Diperbarui: 13 Desember 2024   19:31 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"The direction in which education starts a man will determine his future in life" merupakan kutipan dari Plato yang berarti arah pendidikan seseorang akan menentukan masa depannya. Pernyataan ini menegaskan pentingnya arah dan tujuan pendidikan dalam membentuk masa depan generasi penerus bangsa. Seperti yang kita ketahui, pendidikan tidak hanya berfokus pada aspek akademik melainkan secara holistik. Artinya, pendidikan juga mencakup seluruh aspek baik emosional, sosial, fisik, spiritual, dan moral. Hal ini juga berarti melalui pendidikan diharapkan mampu membentuk individu yang berpikir kritis, berempati, berinovasi, serta memiliki nilai-nilai yang positif dalam bermasyarakat.

            Wacana kembalinya Ujian Nasional (UN) menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan. Sebagai alat evaluasi, UN diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap kualitas pendidikan dan kemampuan siswa secara menyeluruh. Kebijakan ini dianggap sebagai upaya untuk mengembalikan standar dan tolok ukur pendidikan secara nasional. Di sisi lain, dengan dilaksanakannya UN juga menuai kritik karena hanya berfokus pada hasil akademik dan mengabaikan aspek lain yang sama pentingnya seperti karakter dan keterampilan. Filosofi Plato di atas mengingatkan bahwa arah pendidikan hari ini akan menentukan wajah Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, apakah dengan kembali digelarnya UN akan menjadi solusi bagi permasalahan pendidikan di Indonesia ataukah hanya ilusi perbaikan tanpa menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya?

Situasi

            Sejalan dengan Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 61 Ayat (2) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, evaluasi hasil belajar dan penentuan kelulusan peserta didik seharusnya dilakukan oleh pendidik dan satuan pendidikan (Arisandi, 2015). Dalam Kurikulum Merdeka yang diterapkan pada masa Nadiem Anwar Makarim, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) resmi menghapus Ujian Nasional (UN) yang terakhir dilaksanakan pada tahun 2020. Sebagai pengganti, mulai tahun 2021 diberlakukan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter, yang mencakup literasi, numerasi, dan penguatan pendidikan karakter.

            Menurut Lingkar.news dalam artikel 'Banyak Masyarakat Minta UN Kembali Digelar, Mendikdasmen Belum Bisa Putuskan', Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti menyatakan bahwa pemerintah masih mengkaji kemungkinan diadakannya kembali Ujian Nasional. Ia juga menambahkan bahwa banyak masukan dan kajian menunjukkan adanya keinginan untuk mengembalikan UN sebagai penentu kelulusan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mengambil keputusan final terkait kembalinya Ujian Nasional.

Tantangan

            Wacana kembali digelarnya Ujian Nasional (UN) sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan melalui standarisasi evaluasi menghadirkan beragam tantangan yang memunculkan pro dan kontra. Dalam artikel Kompas.com berjudul 'Pro dan Kontra UN Digelar Kembali, Sebagian Guru Setuju dan Menolak' disebutkan bahwa isu ini menjadi mosi debat spesial dalam acara Temu Pendidik Nusantara XI (TPN XI) yang berlangsung di Pos Bloc, Jakarta Pusat, pada Sabtu (2/11/2024). Poin yang menjadi sorotan dalam debat tersebut antara lain:

  • Apakah UN dapat meningkatkan motivasi atau justru memberikan tekanan pada siswa?
  • Pantaskah UN dijadikan standar pendidikan?
  • Bagaimana posisi UN di mata internasional?
  • Efesienkah pengadaan UN yang membutuhkan biaya besar?

            Diskusi ini mencerminkan beragam pandangan di kalangan pendidik mengenai relevansi era pendidikan modern dan efektivitas UN dalam sistem pendidikan Indonesia.

Aksi

            Untuk mengatasi tantangan terkait Ujian Nasional (UN) di atas diperlukan langkah konkret berbasis riset. Pertama, penelitian dari National Academy Science menunjukkan bahwa UN dapat menyebabkan tekanan psikologis pada siswa termasuk stres akibat penentuan passing grade. Sebagai alternatif, sistem evaluasi yang berorientasi pada pembelajaran berkelanjutan dapat menjadi solusi. Sistem ini tidak hanya menitikberatkan pada ujian akhir tahun tetapi juga mencakup metode seperti penilaian berbasis proyek, portofolio dan tes formatif. Pendekatan ini memungkinkan siswa menunjukkan pemahaman mereka secara konsisten sepanjang tahun, mengurangi tekanan ujian besar, mendorong belajar kontinu, meningkatkan keterampilan berpikir kritis, serta memperkuat pemahaman mendalam terhadap materi yang telah dipelajari.

            Kedua, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap relevansi UN sebagai satu-satunya standar pendidikan. Pemerintah melalui kementrian pendidikan perlu mempertimbangkan standar pendidikan yang lebih beragam meliputi kemampuan kognitif, keterampilan sosial, dan karakter siswa. Selain itu, diperlukan riset untuk melihat apakah UN benar-benar mencerminkan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia mengingat kesenjangan kualitas antardaerah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan bahwa rasio guru terhadap murid di tingkat SD masih mencapai 1:28, jauh dari standar ideal 1:15. Kondisi infrastruktur sekolah di berbagai daerah juga timpang. Sekolah-sekolah di daerah terpencil dan miskin seringkali kekurangan fasilitas, tenaga pengajar yang berkualitas, dan sumber daya belajar yang memadai. Hal ini berdampak pada prestasi belajar siswa dan pada akhirnya membatasi peluang mereka untuk meraih masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, reformasi sistem evaluasi pendidikan harus dirancang untuk memperhitungkan berbagai faktor ketimpangan ini, sehingga dapat memberikan kesempatan yang setara bagi semua siswa di seluruh Indonesia.

             Ketiga, sebelumnya ramai di media sosial salah satu konten kreator @irwanprasetiyo mengunggah di Instagramnya bahwa universitas di Belanda tidak lagi menerima lulusan SMA dari Indonesia karena dampak penghapusan Ujian Nasional (UN). Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo pun menanggapi hal ini. Melalui SINDOnews.com pada Kamis, 26 September 2024 pada artikel 'Kepala BSKAP: UN Dihapus Seharusnya Tak Mengubah Peluang Masuk Kampus Luar Negeri' beliau menyampaikan perlu dibedakan dulu antara ujian untuk kelulusan, ujian untuk seleksi, dan asesmen untuk monitoring dan evaluasi sistem. Lebih lanjut beliau menjelaskan oleh karena UN adalah ujian kelulusan dan bukan ujian seleksi maka dihapuskannya UN seharusnya tidak mengubah peluang masuk ke perguruan tinggi dalam dan luar negeri. Dengan demikian, penghapusan UN tidak semestinya menjadi penghalang selama Indonesia memastikan bahwa lulusan SMA tetap memiliki standar kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan global.

            Keempat, berdasarkan penelusuran Kompas.com dari data Litbang Kompas, anggaran pengadaan Ujian Nasional sejak 2015 hingga 2017 rata-rata sekitar Rp 500 miliar. Pada 2015, biaya anggaran sekitar Rp 560 miliar dan mengalami penurunan menjadi Rp 540 miliar pada 2016. Biaya kembali turun menjadi Rp 490 miliar pada 2017. Pemerintah kemudian menekan anggaran menjadi Rp 35 miliar pada 2018. Riset terhadap biaya sosial dan ekonomi dari pelaksanaan UN ini harus dilakukan untuk memastikan bahwa anggaran yang dikeluarkan benar-benar memberikan dampak yang positif terhadap kualitas pendidikan. Dengan dihapusnya UN, anggaran besar yang sebelumnya dialokasikan untuk ujian ini dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih strategis, seperti peningkatan kualitas guru, penyediaan fasilitas pendidikan di daerah tertinggal atau pengembangan kurikulum berbasis kompetensi.

            Melalui serangkaian aksi tersebut, kita berharap dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih berfokus pada pengembangan kompetensi, karakter, dan kesejahteraan siswa, bukan hanya mengukur keberhasilan melalui angka atau ujian semata. Evaluasi pendidikan yang menyeluruh dan berbasis pada kebutuhan abad ke-21 akan membuka jalan bagi Indonesia untuk maju dalam bidang pendidikan.

 

Refleksi

            Wacana kembalinya Ujian Nasional (UN) mengundang kita untuk merenungkan arah dan tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana Plato mengingatkan bahwa pendidikan adalah penentu masa depan bangsa. Keberadaan UN dalam sistem pendidikan Indonesia selama bertahun-tahun telah memberikan standar evaluasi namun juga menimbulkan kritik terkait tekanan psikologis dan ketimpangan kualitas pendidikan di berbagai daerah. Di sisi lain, penghapusan UN juga membawa tantangan baru terutama dalam membangun kualitas siswa di Indonesia. Oleh karena itu, dalam memutuskan kebijakan seperti UN penting untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap kualitas pendidikan secara holistik bukan sekadar evaluasi akademik.

            Reformasi pendidikan harus lebih dari sekadar ujian serta harus menjawab kebutuhan siswa secara menyeluruh. Dengan memanfaatkan anggaran secara strategis untuk meningkatkan kualitas guru, infrastruktur, dan kurikulumnya diharapkan pendidikan Indonesia lebih berkualitas terutama di tingkat dasar dan menengah sehingga memberikan peluang yang lebih baik bagi generasi muda untuk berkembang dan bersaing secara global. Lalu, apakah kita ingin melangkah maju dengan sistem yang memperhatikan semua aspek kompetensi siswa atau kembali ke metode evaluasi yang terpusat pada angka? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan wajah pendidikan Indonesia di masa depan.

Daftar Pustaka

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20241105194427-20-1163347/menteri-pendidikan-         muti-kaji-penerapan-kembali-ujian-nasional

https://www.kompas.com/edu/read/2024/11/06/134240571/pro-dan-kontra-un-digelar-      kembali-sebagian-guru-setuju-dan-menolak?page=all#page3

Arisandi, B. (2015). Ujian nasional mengkebiri kedaulatan guru. Al-Insyiroh: Jurnal Studi Keislaman,      1(1), 1--22. https://doi.org/10.35309/alinsyiroh.v1i1.3338

            Badan Pusat Statistik (BPS). (2020). Angka Partisipasi Sekolah (APS) Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. https://www.bps.go.id/id/publication/2022/11/25/a80bdf8c85bc28a4e6566661/statistik-pendidikan-2022.html

            https://www.kompas.com/edu/read/2024/09/26/153203171/kemendikbud-bantah-un-dihapus-bikin-siswa-sulit-kuliah-di-luar-negeri

            https://edukasi.sindonews.com/read/1462911/211/kepala-bskap-un-dihapus-seharusnya-tak-mengubah-peluang-masuk-kampus-luar-negeri-1727330951?showpage=all

            https://edukasi.kompas.com/read/2019/03/18/10515041/cek-fakta-sandiaga-uno-sebut-ujian-nasional-menguras-biaya-tinggi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun