"The direction in which education starts a man will determine his future in life" merupakan kutipan dari Plato yang berarti arah pendidikan seseorang akan menentukan masa depannya. Pernyataan ini menegaskan pentingnya arah dan tujuan pendidikan dalam membentuk masa depan generasi penerus bangsa. Seperti yang kita ketahui, pendidikan tidak hanya berfokus pada aspek akademik melainkan secara holistik. Artinya, pendidikan juga mencakup seluruh aspek baik emosional, sosial, fisik, spiritual, dan moral. Hal ini juga berarti melalui pendidikan diharapkan mampu membentuk individu yang berpikir kritis, berempati, berinovasi, serta memiliki nilai-nilai yang positif dalam bermasyarakat.
      Wacana kembalinya Ujian Nasional (UN) menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan. Sebagai alat evaluasi, UN diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap kualitas pendidikan dan kemampuan siswa secara menyeluruh. Kebijakan ini dianggap sebagai upaya untuk mengembalikan standar dan tolok ukur pendidikan secara nasional. Di sisi lain, dengan dilaksanakannya UN juga menuai kritik karena hanya berfokus pada hasil akademik dan mengabaikan aspek lain yang sama pentingnya seperti karakter dan keterampilan. Filosofi Plato di atas mengingatkan bahwa arah pendidikan hari ini akan menentukan wajah Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, apakah dengan kembali digelarnya UN akan menjadi solusi bagi permasalahan pendidikan di Indonesia ataukah hanya ilusi perbaikan tanpa menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya?
Situasi
      Sejalan dengan Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 61 Ayat (2) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, evaluasi hasil belajar dan penentuan kelulusan peserta didik seharusnya dilakukan oleh pendidik dan satuan pendidikan (Arisandi, 2015). Dalam Kurikulum Merdeka yang diterapkan pada masa Nadiem Anwar Makarim, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) resmi menghapus Ujian Nasional (UN) yang terakhir dilaksanakan pada tahun 2020. Sebagai pengganti, mulai tahun 2021 diberlakukan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter, yang mencakup literasi, numerasi, dan penguatan pendidikan karakter.
      Menurut Lingkar.news dalam artikel 'Banyak Masyarakat Minta UN Kembali Digelar, Mendikdasmen Belum Bisa Putuskan', Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti menyatakan bahwa pemerintah masih mengkaji kemungkinan diadakannya kembali Ujian Nasional. Ia juga menambahkan bahwa banyak masukan dan kajian menunjukkan adanya keinginan untuk mengembalikan UN sebagai penentu kelulusan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mengambil keputusan final terkait kembalinya Ujian Nasional.
Tantangan
      Wacana kembali digelarnya Ujian Nasional (UN) sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan melalui standarisasi evaluasi menghadirkan beragam tantangan yang memunculkan pro dan kontra. Dalam artikel Kompas.com berjudul 'Pro dan Kontra UN Digelar Kembali, Sebagian Guru Setuju dan Menolak' disebutkan bahwa isu ini menjadi mosi debat spesial dalam acara Temu Pendidik Nusantara XI (TPN XI) yang berlangsung di Pos Bloc, Jakarta Pusat, pada Sabtu (2/11/2024). Poin yang menjadi sorotan dalam debat tersebut antara lain:
- Apakah UN dapat meningkatkan motivasi atau justru memberikan tekanan pada siswa?
- Pantaskah UN dijadikan standar pendidikan?
- Bagaimana posisi UN di mata internasional?
- Efesienkah pengadaan UN yang membutuhkan biaya besar?
      Diskusi ini mencerminkan beragam pandangan di kalangan pendidik mengenai relevansi era pendidikan modern dan efektivitas UN dalam sistem pendidikan Indonesia.
Aksi
      Untuk mengatasi tantangan terkait Ujian Nasional (UN) di atas diperlukan langkah konkret berbasis riset. Pertama, penelitian dari National Academy Science menunjukkan bahwa UN dapat menyebabkan tekanan psikologis pada siswa termasuk stres akibat penentuan passing grade. Sebagai alternatif, sistem evaluasi yang berorientasi pada pembelajaran berkelanjutan dapat menjadi solusi. Sistem ini tidak hanya menitikberatkan pada ujian akhir tahun tetapi juga mencakup metode seperti penilaian berbasis proyek, portofolio dan tes formatif. Pendekatan ini memungkinkan siswa menunjukkan pemahaman mereka secara konsisten sepanjang tahun, mengurangi tekanan ujian besar, mendorong belajar kontinu, meningkatkan keterampilan berpikir kritis, serta memperkuat pemahaman mendalam terhadap materi yang telah dipelajari.
      Kedua, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap relevansi UN sebagai satu-satunya standar pendidikan. Pemerintah melalui kementrian pendidikan perlu mempertimbangkan standar pendidikan yang lebih beragam meliputi kemampuan kognitif, keterampilan sosial, dan karakter siswa. Selain itu, diperlukan riset untuk melihat apakah UN benar-benar mencerminkan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia mengingat kesenjangan kualitas antardaerah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan bahwa rasio guru terhadap murid di tingkat SD masih mencapai 1:28, jauh dari standar ideal 1:15. Kondisi infrastruktur sekolah di berbagai daerah juga timpang. Sekolah-sekolah di daerah terpencil dan miskin seringkali kekurangan fasilitas, tenaga pengajar yang berkualitas, dan sumber daya belajar yang memadai. Hal ini berdampak pada prestasi belajar siswa dan pada akhirnya membatasi peluang mereka untuk meraih masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, reformasi sistem evaluasi pendidikan harus dirancang untuk memperhitungkan berbagai faktor ketimpangan ini, sehingga dapat memberikan kesempatan yang setara bagi semua siswa di seluruh Indonesia.