Mohon tunggu...
Bernadeta Lingga Devayani
Bernadeta Lingga Devayani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Cheerful

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Nilai Kesetaraan Sosial vs Preferensi Sosial: Menavigasi Konflik Batin dalam Kerangka Rasial

20 September 2023   19:23 Diperbarui: 20 September 2023   22:08 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tatanan kehidupan sehari-hari, disonansi kognitif antara kesetaraan sosial dan preferensi rasial mempengaruhi cara individu berinteraksi, memandang orang lain, dan membuat keputusan. 

Saat seseorang dengan sepenuh hati mendukung prinsip kesetaraan sosial, mereka secara sadar berupaya menjalani interaksi sosial serta membina persahabatan dengan individu yang memiliki latar belakang rasial yang beragam. Namun, dalam konteks ini, sering kali muncul konflik batin yang kompleks, yang lebih dikenal sebagai disonansi kognitif. 

Seseorang  yang memegang teguh nilai-nilai kesetaraan dan mengharapkan adanya interaksi yang didasari oleh keadilan tanpa memandang ras, kerap mengalami ketidaknyamanan emosional atau bahkan rasa tidak enak di dalam diri apabila, tanpa disadari, terlintas prasangka atau stereotip terhadap anggota kelompok ras tertentu. 

Misalnya, seseorang yang memiliki pemahaman mendalam tentang pentingnya kesetaraan rasial bisa merasakan rasa bersalah yang mendalam jika pikiran-pikiran atau prasangka negatif tiba-tiba muncul secara tidak terduga ketika berinteraksi dengan teman atau kenalan yang memiliki latar belakang etnis yang berbeda. 

Seseorang dengan latar belakang etnis Jawa yang teguh pada prinsip-prinsip kesetaraan sosial dan penghargaan terhadap keragaman budaya dapat menghadapi disonansi kognitif ketika berinteraksi dengan teman atau kenalan yang berasal dari etnis Tionghoa. 

Walaupun memegang keyakinan dan nilai-nilai yang mempromosikan kesetaraan serta menolak diskriminasi rasial, mungkin timbul pikiran-pikiran atau prasangka tak disengaja ketika berinteraksi dengan teman yang memiliki latar belakang rasial yang berbeda. 

Hal ini bisa dipengaruhi oleh stereotip atau persepsi subliminal yang tertanam dalam alam bawah sadar individu, bahkan jika secara sadar mereka menentang pandangan-pandangan semacam itu. 

Sebagai contoh, saat berkomunikasi dengan teman dari etnis Tionghoa, mungkin muncul pikiran-pikiran negatif atau prasangka yang tidak diinginkan, seperti stereotip mengenai ciri-ciri atau perilaku yang diidentikan dengan orang Tionghoa. 

Penting untuk diingat bahwa respons emosional terhadap munculnya stereotip ini seringkali tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dipeluk individu, seperti kesetaraan sosial dan penghargaan terhadap keragaman. Dalam konteks ini, konflik batin muncul antara keyakinan akan kesetaraan sosial dan respons emosional terhadap stereotip yang tidak diinginkan. 

Individu perlu berupaya memahami lebih dalam asal mula stereotip tersebut dan bekerja menuju peningkatan kesadaran diri, sehingga tindakan dan pandangan yang diambil sesuai dengan nilai-nilai kesetaraan dan apresiasi terhadap keberagaman yang dipegang teguh. 

Situasi kasus semacam ini memperlihatkan bahwa individu tersebut sebenarnya telah membentuk keyakinan yang kuat mengenai urgensi untuk mengatasi perbedaan dan menghargai keragaman. Namun, ketika mereka berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang rasial yang beragam, pikiran-pikiran yang tidak sejalan dengan keyakinan tersebut tiba-tiba muncul.

Faktor lingkungan atau pesan-pesan yang tidak terlihat yang diterima dari masyarakat di sekitar bisa menjadi penyebab munculnya pikiran-pikiran tersebut. Namun, tidak peduli sumbernya, konflik batin ini mencerminkan pertarungan antara nilai-nilai yang diyakini individu dan respons emosional terhadap munculnya stereotip atau prasangka yang tidak diinginkan. 

Penting untuk diakui bahwa menangani disonansi kognitif bukanlah tugas yang sederhana (Littlejohn dkk, 2017:65).

Seseorang perlu mempertahankan tekad yang kuat untuk menggali lebih dalam dan memahami akar dari stereotip atau prasangka yang tersembunyi. Selain itu, perlu dipastikan bahwa tindakan yang diambil selaras dengan nilai-nilai yang diyakini. Refleksi yang mendalam dan kesadaran diri menjadi kunci dalam menanggapi dan mengelola konflik ini. 

Dengan meningkatkan kesadaran diri, individu dapat mengenali dan menanggulangi disonansi kognitif ini, mencapai konsistensi antara keyakinan yang dipegang dan tindakan yang diambil dalam kehidupan sehari-hari (Littlejohn dkk, 2017:64).

Daftar Pustaka

Littlejohn, S. W., Foss, K. A., & Oetzel John G. (2017). Theories of Human Communication (11 ed.). Waveland Press, Inc.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun