Mohon tunggu...
BERNADETA CHRISTANOVASIAHAAN
BERNADETA CHRISTANOVASIAHAAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

Mahasiswa Hubungan Internasional yang memiliki antusias dan motivasi yang tinggi dalam mempelajari isu - isu politik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Benarkah Indonesia dalam Masa Transisinya Menuju Digital Otoritarianisme

30 November 2023   18:10 Diperbarui: 1 Desember 2023   10:34 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Digital Forensic Center 

Selain itu, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) melakukan survey di tahun 2021 yang sebagian besar menyasar masyarakat kelas menengah dan atas perkotaan, dengan hasil bahwa sebanyak 52,1 persen mengaku takut mengutarakan pendapat dan berserikat. 

Saat Indonesia masih berada ditengah pandemi Covid-19, pemerintah menciptakan berbagai kebijakan untuk mengontrol masyarakatnya. Beriringan dengan munculnya pandemic covid-19 semakin memberikan peluang bagi aparat penegak hukum untuk menggunakan UU ITE guna menerapkan pembatasan berlebihan terhadap kebebasan berekspresi.

Dalam data Engage Media oleh Damar Junianto, adapun jumlah tuntutan yang diajukan berdasarkan klausul pencemaran nama baik UU ITE mengalami peningkatan sebagai berikut : pada tahun 2012 sebanyak 24 tuntutan, tahun 2020 bertambah menjadi 84 tuntutan, dan pada tahun 2021 menjadi 91 tuntutan. Beberapa tuduhan ini berasal dari kritik yang ditulis ditujukan pada respons pemerintah dalam menangani pandemic Covid-19.

Selain itu, menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dalam rentang waktu 2020 sampai 2021, terdapat laporan masuk terkait dengan masalah peretasan terhadap media, organisasi, dan individu yang mengkritisi pemerintah.

Salah satunya adalah kasus Ravio Putra yang kritis terhadap respon pemerintah terhadap Pandemi Covid-19. Ravio Putra dianggap melakukan provokasi dan diduga menyebarkan pesan ujaran kebencian dan kekerasan.

UU ITE sendiri pada kebanyakan kasus telah menjadi senjata yang digunakan untuk membungkam kritik, terkhusus kebanyakan adalah politisi atau pejabat dan pengusaha untuk melawan kritik mereka.

Pada cluster pejabat pemerintah atau politisi banyak menggunakan UU ITE sebagai senjata terhadap individu yang menyampaikan kritiknya terhadap program kerja dan kinerja pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sementara, pengusaha sering menggunakan UU ITE karena dianggap memiliki kekuatan finansial, sehingga lebih mudah memanfaatkan pasal tersebut.

Kemudian kondisi ini dinilai semakin parah pada tahun 2020, dimana menurut laporan situasi hak digital oleh SAFEnet, perkiraan ada 147 serangan digital. Adapun hampir seluruh serangan digital tersebut merujuk pada mereka-mereka yang melakukan kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah pada berbagai isu saat itu, terutama pada saat bagaimana pemerintah Indonesia merespon Pandemi Covid-19. Pada tahun 2021, jumlah serangan digital bertambah menjadi 193, dimana rata-rata terdapat 12 insiden per-bulannya.

Melihat pada kondisi dan fakta tersebut, menunjukkan bahwa Indonesia akan akan semakin dekat dengan otoritarianisme digital, yang akan menyebabkan semakin menyempitnya ruang demokrasi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun