Pergeseran paradigma kefarmasian dari “Drug Oriented” menjadi “Patient Oriented” merupakan sebuah hal yang mesti direspon positif oleh semua kalangan, baik itu pemerintah, farmasis maupun masyarakat. Perubahan paradigma ini melahirkan sebuah produk yang dinamakan dengan “Pharmaceutical Care”.
Tidak hanya meracik obat
Secara sederhananya, pharmaceutical care merupakan sebuah bentuk optimalisasi peran apoteker dalam melakukan terapi obat pada pasien guna meningkatkan derajat kesehatan pasien itu sendiri. Hal ini berarti mengubah bentuk pekerjaan apoteker yang semula hanya berada di belakang layar menjadi sebuah profesi yang langsung bersentuhan dengan pasien.
Perubahan ini juga berarti bahwa pekerjaan apoteker tidak lagi hanya meracik dan menyerahkan obat saja kepada pasien, tetapi bertanggung jawab juga terhadap terapi yang diberikan kepada pasien. Hal ini berarti pekerjaan kefarmasian di era patient orientedini jika terlaksana dalam sebuah sistem kesehatan nasional maka dipastikan akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Mengapa? Karena kompetensi apoteker menjamin keselamatan pasien dalam hal penggunaan obat.
Kompetensi dan kolaborasi
Namun, perubahan paradigma ini bukan berarti tidak menimbulkan permasalahan. Ada hal-hal yang menjadi penyebab sulitnya menerapkan konsep pharmaceutical care dalam dunia kefarmasian Indonesia, di antaranya adalah ketidaksiapan kompetensi apoteker untuk langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Hal ini disebabkan oleh kurikulum perguruan tinggi farmasi yang belum mendukung ke arah ini. Selama ini, kurikulum pendidikan tinggi farmasi kebanyakan mengarah kepada kurikulum industri ataupun pengembangan bahan alam. Namun di era pharmaceutical care saat ini, kurikulum perguruan tinggi farmasi yang ingin mengabdi di ranah pelayanan dituntut berubah ke arah klinis. Perubahan ini sudah dimulai secara perlahan, namun memang masih jauh dari kesempurnaan. Tetapi setidaknya titik terang menuju kejayaan kefarmasian sudah terlihat dari hari ini.
Knowing is not enough, we must apply. willing is not enough, we must do.
(tidak cukup sekedar tahu, kita harus mengaplikasikannya, tidak cukup hanya sekedar kemauan, kita harus melakukannya)
_John Van Goethe_
Kembali ke tema di atas bahwa untuk menciptakan sebuah derajat kesehatan masyarakat Indonesia, dibutuhkan sebuah sistem kesehatan nasional yang melibatkan peran peran multi disiplin ilmu: dokter, apoteker, perawat, asisten apoteker, ahli gizi dan sebagainya. Kesemua disiplin ini bekerja secara interpersonal, artinya saling ada koordinasi yang mesti terjalin dalam sebuah pelayanan. Contohnya, komunikasi antara apoteker dengan dokter, apoteker dengan perawat, dokter dengan ahli gizi dan sebagainya.
Khusus bagi pekerjaan kefarmasian, yang menjadi kompetensi dasarnya dalam dunia pelayanan adalah bagaimana menganalisa atau menskrining resep, memantau terapi obat, melakukan konseling dan memberikan informasi seputar obat. Ini adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang farmasis untuk menjalankan konsep pharmaceutical care.
Untuk itu, butuh keseriusan yang optimal dari pribadi masing-masing untuk memperkaya kompetensinya tersebut serta membangun hubungan yang baik antara sesama pelaku di bidang kesehatan, menciptakan rasa saling membutuhkan dan kemauan yang tulus dalam mendedikaasikan disiplin ilmu masing masing.
Jika sudah berada dalam kondisi ideal seperti ini, bukan tidak mungkin masyarakat yang sejahtera bisa terwujud. Hayooo apoteker, sudah saatnya kita bangun dari tidur panjang ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H