Kabupaten Nganjuk tidak hanya lekat dengan Prasasti Candi Lor yang telah melambungkan namanya ke tataran sejarah nasional saja, akan tetapi banyak hal-hal yang melekat pada Kabupaten Nganjuk dan masyarakat yang ada didalamnya. Entah itu berupa kisah sejarah kerajaan dan kepahlawanan, legenda dan mitos, maupun kuliner khas yang selalu berkembang dari waktu ke waktu.
1080 tahun memang bukanlah usia yang muda bagi sebuah wilayah. Dengan usia sedemikan lamanya, Anjuk Ladang yang lebih dikenal dengan sebutan Nganjuk telah menjadi saksi bisu perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan yang terjadi diatasnya. Mulai pemerintahan era kerajaan dan kesultanan, era penjajahan, era revolusi, hingga saat ini. Kabupaten Nganjuk genap berusia 1080 pada tanggal 10 April 2017 dan selama 10 abad lebih selalu berbenah diri menjadi lebih baik. Pada hari bersejarah tersebut, selalu diperingati dengan event-event besar yang hanya digelar setahun sekali. Salah satunya adalah Pawai Alegoris yang memang merupakan agenda wajib di HUT Kabupaten Nganjuk.
Sekilas mengenai Pawai Alegoris yang merupakan agenda wajib tahunan di HUT Kabupaten Nganjuk. Menurut sejarah, Pawai Alegorisini pertama kali di lakukan pada tahun 1930. Hal ini dibuktikan dengan adanya foto dokumentasi HUT Kabupaten Nganjuk ke-50 tahun (dengan menghitung 1930 kebelakang hingga tahun 1880). Mengapa sampai tahun 1880? Berdasarkan sejarah, pusat pemerintahan Kabupaten Nganjuk dipindah dari Berbek menuju Nganjuk (saat ini) pada tahun 1880 pada saat pemerintahan Bupati Sosrokoesoemo III.Â
Hal ini dibuktikan dengan adanya tulisan di mimbar Masjid Agung Baitus Salam Nganjuk yang ditulis dengan huruf pegon dengan bunyi, Ngalihipun negari saking Berbek, Bupati Kanjeng Adipati Sosrokoesoemo tahun walandi 1880, tahun 28-3-1901 lajeng gantos putro Kanjeng Raden Mas Sosrohadikusoesoemo (Pindahnya negara dari Berbek bupati Kanjeng Adipati Sosrokoesoemo pada tahun 1880, tahun 28-3-1901 lalu digantikan oleh putra Kanjeng Raden Mas Sosrohadikusoesoemo). Dengan berbagai pertimbangan, Nganjuk (ibukota kabupaten saat ini) lebih strategis sehingga dapat mempercepat laju peradaban di wilayah Kabupaten Nganjuk.
Sesuai dengan judul 1080 Tahun Berbenah Diri Memayu Hayuning Buwana Anjuk Ladang, Pawai Alegorisatau pemindahan pusat pemerintah yang dilakukan saat itu merupakan salah satu usaha guna memayu hayuning buwana di bumi Anjuk Ladang (Nganjuk).
Memayu Hayuning Buwana merupakan filosofi kehidupan masyarakat jawa, yang dikemukakankan oleh seorang pujangga besar Ki Ronggowarsito dari Kasunanan Surakarta.  Memayu Hayuning Buwanaberasal dari 3 suku kata yakni, 1) Memayu berasal dari kata hayu/ayu yang berarti cantik atau indah. Ditambah kata me- pada awal kata maka berubah arti menjadi memperindah atau mempercantik, 2) Hayuning berasal dari kata hayu+ ning, hayu/ayu berarti  cantik atau indah, sedangkan ningmerupakan kata ganti kepemilikan atau dalam bahasa Indonesia berarti '--nya'. Jadi arti dari hayuning adalah kecantikannya atau keindahannya, dan 3) Buwana berarti bumi (tempat manusia hidup, tinggal, dan beraktifitas).
Maka Memayu Hayuning Buwana berarti mempercantik atau memperindah keindahan dunia. Memperindah disini bukan hanya secara fisik saja tetapi juga aspek non-fisik seperti aspek spiritualitas. Memayu Hayuning Buwana juga merupakan interaksi 2 arah, yakni horizontal dan vertikal. Interaksi horozontal adalan interaksi yang dilakukan manusia dengan sesamanya maupun dengan alam. Sedangkan interaksi vertikal adalah interaksi antara manusia dengan penciptanya, Tuhan Yang Maha Esa. Objek utama dalam kegiatan memperindah keindahan dunia ini adalah manusia.
Lalu apa yang dilakukan Nganjuk selama 1080 tahun?
Memperbaiki diri pada seluruh aspek kehidupan yang ada, yakni aspek ekonomi dan politik seperti pemindahan kekuasaan, pembangunan infrastruktur yang semakin baik dari masa ke masa, aspek sosial seperti pembebasan pajak untuk beberapa daerah (masa kerajaan) dan toleransi antar umat beragama, aspek pendidikan seperti berkembangnya mutu pendidikan dan motivasi untuk menjadi instansi percontohan, aspek spiritual seperti berkembangnya kesadaran akan agamanya dalam diri masyarakat tanpa membuang rasa toleransinya.
Nganjuk adalah tempat dimana masyarakat hidup damai berdampingan dengan alam, dimana umat Hindu dapat melakukan upacara Kuningan dengan tenang, dimana umat Islam dapat berdampingan dan berjalan beriringan bersama umat Kristen dan Katholik, dimana tidak adanya labelisasi etnis 'bermata minimalis' sehingga masyarakat masih bisa menikmati kemeriahan Imlek pada tiap tahunnya. Meskipun pada 2 dekade terakhir, Kabupaten Nganjuk mengalami sakit parah terlebih pada bidang politik.
Terimakasih sudah mau membuka dan membaca...Â
Jangan lupa buka dan baca lagi yaa... "Perabuan Sang Agung di Ngatas Angin (Part III)"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H