Latar BelakangÂ
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau yang biasa disebut sebagai Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden ketika dalam keadaan genting dan memaksa.(Wikipedia, 2011) Regulasi mengenai perppu ini diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) yang berbunyi "Dalam Hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang." Perppu dapat juga disebut sebagai Undang-undang darurat, sebab munculnya Perppu selalu didasari dengan situasi nasional yang genting dan memerlukan penanganan darurat dan cepat. Berdasarkan levelnya, Perppu memiliki muatan dan kekuatan yang setara dengan Undang-undang pada umumnya.
Perppu merupakan Peraturan Pemerintah yang dibentuk dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa untuk mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945. Pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Menurut, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (2023) Perppu yang sebenarnya dibentuk karena adanya kegentingan yang memaksa, meniscayakan tahapan perencanaan tidak dilakukan, karena keadaan bersifat tidak terduga dan tidak terencana.
Berdasarkan Teori Pemisahan kekuasaan yang disadur dari berbagai sumber mengenai pembagian kekuasaan atau distribution of power atau yang dikenal dengan istilah trias politica Teori tersebut dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) yang lebih mengarahkan perihal pemisahan kekuasaan atau separation of power. Maksud dari kekuasaan yang dibatasi adalah kekuatan politik yang merupakan "kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah), baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri" (Budiardjo, 1996).
Menurut Syarif Nuh (2011), suatu negara perlu untuk membentuk Perppu, karena pada hakikatnya dalam praktik penyelenggaraan negara atau pemerintahan acap kali terjadi hal-hal di luar dugaan yang bersifat tidak normal dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Apabila sistem hukum yang biasa digunakan tidak mampu untuk mengakomodasi kepentingan negara atau masyarakat sehingga memerlukan pengaturan tersendiri untuk menggerakkan fungsi-fungsi negara agar dapat berjalan secara efektif guna menjamin penghormatan kepala negara dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara. Oleh sebab itu beberapa hal yang mendasari dibentuknya Perppu: dasar dibentuknya Perppu oleh Presiden dilatarbelakangi oleh peristiwa luar biasa (tidak normal) dari kondisi suatu negara yang berupa kondisi darurat negara; hakikat atau kandungan dari keadaan darurat negara yang menimbulkan kepentingan yang memaksa terdiri atas 3 (tiga) unsur, yakni: adanya ancaman yang membahayakan (dangerous threat); adanya kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity); dan adanya keterbatasan waktu (limited time)Â yang tersedia (Syarif Nuh, 2011).
Oleh sebab itu, pengesahan Perppu No. 2 Tahun 2022 ini perlu dikaji kembali terkait manfaat, urgensi, serta dampaknya bagi kelangsungan siklus investasi dan perdagangan di Indonesia. Singkatnya waktu perumusan hingga pengesahan undang-undang menuai pro dan kontra. Pada akhirnya menyebabkan ketimpangan antara serikat pekerja dan kaum investor. Oleh karena itu, Fungsi legislasi DPR saat ini tengah dipertanyakan dan diragukan oleh rakyat. Sebab, dalam hal ini pemerintah seolah-olah mengatasnamakan "demi kebaikan bersama" hingga suara dan hak rakyat tidak lagi berharga.
Isi
Perppu Cipta Kerja berisi regulasi-regulasi yang mengatur tentang kegiatan usaha, investasi dan perdagangan. Saat Perppu ini diterbitkan secara resmi oleh pemerintah pada 30 Desember 2022 dan jauh sebelum disahkan pada 21 Maret 2023 oleh DPR RI. Perppu ini sudah ditentang keras oleh masyarakat, khususnya kelas pekerja atau buruh. Menurut, pernyataan M. Nurdin dalam artikel CNBC Indonesia (2023) Secara garis besar isi dari Perppu Cipta Kerja yang baru, dapat terbagi menjadi beberapa pokok bahasan:
1. KetenagakerjaanÂ
- Pada pasal 64 (mengenai ahli daya atau outsourcing) telah diatur kembali mengenai ketentuan penyerahan sebagai pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya. Jenis pekerjaan yang ditetapkan oleh pemerintah pada pasal ini adalah ahli daya.
- Terdapat perubahan diksi atau frasa atau kata cacat pada Pasal 67 menjadi disabilitas. Pada pasal ini diatur bahwa pekerja disabilitas harus diberi perlindungan (sesuai dengan tipe disabilitasnya) oleh perusahaan atau pengusaha tempat dia bekerja.
- Regulasi mengenai upah minimum pekerja dalam Perppu diatur dalam Pasal 88C, 88D, 88F, dan Pasal 92
2. Jaminan Produk Halal
Adanya ketentuan umum perluasan pemberian fatwa halal yang berasal dari Majelis Ulama Indonesia, Majelis Ulama Provinsi, dan Majelis Ulama Kabupaten/Kota, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, atau komite produk halal serta adanya penyesuaian atau adaptasi dengan beberapa norma dan pasal lainnya. (Pasal 1 terkait sertifikat halal)
3. Pengelolaan sumber daya air
Guna mendukung penyelesaian proyek strategis nasional, maka dalam pasal 40 telah diatur perihal pengelolaan air dengan mengalihkan alur sungai dengan berdasarkan izin dan persetujuan pemerintah. Terkait sanksi administrasi telah diatur dalam Pasal 70, 73, dan 75 A
4. Harmonisasi dan sinkronisasi dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan UU hubungan keuangan pusat dan daerah,Â
UU Ketentuan Umum dan Perpajakan, UU Pajak Penghasilan, dan UU Pajak Penjualan Barang Mewah.
5. Perbaikan teknis penulisan, seperti terdapat kesalahan penulisan, peletakan huruf yang tidak lengkap, perbaikan rujukan pasal,
 ayat yang tidak tepat, kesalahan dalam pengetikan judul dan atau nomor urut bab, bagian, paragraf, ayat, pasal dan atau butir yang dinilai tidak sesuai dan bersifat tidak substansial.
Selain lima pokok bahasan itu, Perppu Cipta Kerja juga memuat ketentuan tentang jangka waktu/lama bekerja, kompensasi, waktu istirahat. Selain itu Perppu Cipta Kerja juga mengatur perihal waktu cuti serta ketentuan yang mengatur PHK dan pesangon PKWT. PKWT merupakan kepanjangan dari Perjanjian waktu tertentu atau perjanjian kerja yang mengikat karyawan kontrak dan pekerja lepas.
Ditinjau dari isinya, RUU Cipta Kerja sebetulnya hampir sama dengan Perppu. Meskipun sekilas keduanya seperti bayi kembar, namun RUU Cipta Kerja memiliki banyak perbedaan dengan Perppu Cipta Kerja. Banyaknya pasal yang dihapus dalam RUU Cipta Kerja dan banyak pula pasal dalam Perppu Cipta Kerja yang diubah. Seperti pada beberapa pasal yang bisa disoroti, misalnya adanya pasal 64 Â mengenai ketenagakerjaan pada RUU Cipta Kerja dihapus, namun pada Perppu pasal ini tetap ada hanya saja muatan atau isinya diubah. Begitu pula dengan pasal 67 dan 84 mengenai ketenagakerjaan, dalam RUU Cipta Kerja yang tetap dan tidak diubah, pada Perppu justru diubah. Ada pula pasal sisipan yakni pasal 88C yang tidak diubah di RUU justru mengalami perubahan pada Perppu.
Dibalik, diubahnya beberapa pasal dalam Perppu tetap saja isi dan esensinya tidak jauh berbeda dengan pasal-pasal kontroversial yang ada di RUU Cipta Kerja sebelumnya. Buktinya, banyak pasal-pasal kontroversial yang justru masih terpampang di dalam draft undang-undang. Bahkan hingga Perppu resmi disahkan. Berikut adalah pasal-pasal kontroversial Perppu No. 2 Tahun 2022, yang telah disadur dari berbagai sumber: adanya aturan mengenai hari libur kerja dalam sepekan, yakni hanya satu hari; tidak jelasnya upah minimum para pekerja; dan tidak dijelaskan secara terperinci tipe pekerjaan apa saja yang diperbolehkan menggunakan tenaga outsourcing, sehingga nanti itu akan merugikan para pekerja. Hal ini lah yang membuat ketimpangan antara kaum buruh dengan pengusaha semakin terlihat dengan jelas
Berdasarkan pendapat dari Syarif Nuh mengenai syarat dibentuk dan disahkannya suatu Perppu adalah didasari dari keadaan darurat yang memaksa sehingga dalam hal ini Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan mempunyai wewenang untuk menetapkan suatu Perppu demi keberlangsungan kehidupan bernegara yang jauh lebih baik. Oleh sebab itu, sesuai dengan maksud, tujuan, dan syarat pembentukannya. Seharusnya Perppu ini membawa dampak yang baik bagi semua lapisan di Indonesia.
Jika dilihat dari sudut pandang pemerintah, terdapat beberapa urgensi, mengenai seberapa penting Perppu ini dibuat. Menurut kacamata pemerintah, saat ini Indonesia tengah menghadapi permasalahan global, dan Perppu Cipta Kerja merupakan langkah cepat pencegahan dari dampak krisis global. Menurut Airlangga (2023) Perppu Cipta Kerja merupakan salah satu langkah mitigasi dampak krisis global. Ibaratnya, mencegah lebih baik daripada memadamkan api kebakaran.
Saat ini, Indonesia tengah dihadapkan dengan berbagai peristiwa krisis global, di mana terjadi inflasi di negara-negara lain. Peristiwa ini tentu menjadi tantangan bagi Indonesia, usai menghadapi pandemi covid-19 yang sudah cukup membuat perekonomian Indonesia gonjang-ganjing dan hampir saja mengalami inflasi. Jika dilihat dari lain sisi, ini adalah dampak dari adanya perang Rusia-Ukraina. Menyikapi peristiwa demi peristiwa, pemerintah berkomitmen untuk menyelamatkan perekonomian dan kondisi negara, sebelum Indonesia turut merasakan implikasinya. Maka dari itu, dalam hal ini, Pemerintah  beranggapan bahwa dengan disahkannya Perpu Cipta Kerja akan menyelamatkan nasib bangsa dan negara.
Namun jika dilihat dari kacamata para pekerja, Perppu Cipta Kerja dibentuk dan disahkan hanya memihak kepada kaum investor saja. Karena dalam penyusunannya pemerintah seolah-olah melupakan dan mengabaikan hak-hak para pekerja, yang seharusnya jauh lebih diperhatikan ketimbang kepentingan penguasa dalam hal ini Pemerintah cenderung mengabaikan kepentingan umum. Realita ini sangat inkonsisten dengan teori kebaikan bersama yang dikemukakan oleh Aristoteles, yang menyatakan bahwa setiap warga negara yang berasosiasi berfungsi untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut penyelenggaraan dan kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat (Surbakti, 2011).
Maka dari itu, melalui demonstrasi para buruh berusaha untuk memperjuangkan hak-hak mereka, sebelum Perppu ini resmi diundangkan oleh DPR pada 21 Maret 2023. Bahkan partai-partai serikat pekerja juga telah mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi jauh sebelum Perppu diterbitkan oleh Presiden. Para buruh sempat menggugat terkait RUU Cipta Kerja, dan gugatan itu telah dikabulkan oleh hakim Mahkamah Konstitusi. Melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja cacat hukum atau inkonstitusional bersyarat. Berdasarkan putusannya, MK meminta agar pemerintah bersama DPR merevisi RUU tersebut dengan tenggat waktu dua tahun sejak putusan tersebut diucapkan. Akan tetapi setelah MK mengeluarkan putusan, bukan RUU yang direvisi, melainkan hakim MK lah yang direvisi.
Secara sepihak juga pemerintah terus meneruskan langkahnya dan berupaya mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja tanpa mempertimbangkan nasib rakyat (kelas pekerja). Respon buruh terhadap UU Cipta Kerja tidak berhenti di situ saja. Pada awal Januari 2023, tepat dua bulan sebelum Perppu resmi disahkan para serikat pekerja kembali mengajukan gugatan kepada MK. Sedikitnya ada sepuluh hingga tiga belas partai atau asosiasi serikat pekerja yang melayangkan gugatan terhadap Perppu Cipta Kerja. Namun sayang sekali, MK belum mengabulkan gugatan para serikat pekerja hingga Perppu itu disahkan menjadi Undang-undang.
Menyikapi hal tersebut, banyak sekali ahli hukum, politik dan HAM yang turut kontra terhadap Perppu ini. Memang benar, jika ditinjau dari sisi HAM, Perppu ini tidak menerapkan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti adanya aturan yang melarang buruh wanita untuk cuti hamil, pengaturan perihal hari libur dalam sepekan hanya satu hari, jam kerja yang dinilai berlebihan dan sebagainya. Tentu tidak relevan bagi dunia pekerja yang semestinya. Apabila ditinjau dari sisi demokrasi Perppu ini juga tidak dapat dibenarkan, karena demokrasi menurut, Abraham Lincoln adalah suatu sistem pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Akan tetapi Perppu Cipta Kerja justru bertolak belakang dengan demokrasi, di mana suara rakyat (serikat pekerja) tidak lagi didengar oleh pemerintah.
Begitu pula jika ditinjau dari sisi politik, terkait relasi antara terwakil dan pihak yang diwakili. Mengenai hal ini, DPR sebagai pihak terwakil, dinilai gagal merepresentasikan rakyat di atas parlemen. Selain itu, DPR juga tidak bisa menjalankan fungsi legislasinya dengan baik dan benar sesuai dengan amanat undang-undang. Akibatnya, rakyat semakin krisis kepercayaan terhadap para eksekutif dan legislatif. Terutama para legislatif (DPR) yang dianggap mengkhianati fungsi dan perannya sebagai wakil rakyat.
Simpulan
Kehadiran Perppu Cipta kerja justru menciptakan ketidakpastian kebijakan yang mengakibatkan investor ragu dengan aturan yang berubah-ubah. Bahkan faktanya, hadirnya Perppu Cipta Kerja sejauh ini tetap membuat investasi yang terbengkalai masih tinggi. Kondisi darurat penerbitan Perppu Cipta kerja untuk mengantisipasi dampak dinamika Global melalui pembuatan standar kebijakan bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN 2023, di mana pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% cenderung tinggi dan ancaman krisis akibat perang Ukraina memberikan keuntungan terhadap komoditas batu bara dan sawit. Surplus perdagangan berturut-turut yang terjadi di tahun 2022 merupakan windfall dari adanya perang di Ukraina. Selain itu seperti yang sudah saya Sebutkan pada paragraf di atas bahwasanya RUU Cipta kerja dengan Perppu Cipta Kerja memiliki isi yang sama hanya saja kemasannya yang berbeda. Implikasi dari diberlakukannya Perppu Cipta Kerja ini justru semakin merenggut hak-hak buruh, hingga mereka sulit bernafas.
Dengan demikian dapat diperoleh poin simpulan atau center conclusion yang menjadi sorotan dan perhatian publik:
- Pertama, bahwa pembuatan Perppu Cipta Kerja cenderung memiliki sifat tergesa-gesa disahkan dan dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo karena melihat subjektivitas pemerintah yang cenderung memainkan peran indikator "kegentingan memaksa" di dalam poin konsiderans Perppu Cipta Kerja merujuk pada Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009.
- Â Kedua, alih-alih Pemerintah "manut" Putusan MK No. 91 Tahun 2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan perlu diperbaiki dalam kurun waktu dua tahun, tetapi Pemerintah langsung menyerempet "jalan alternatif", yakni membuat Perppu Cipta Kerja yang sesuai dengan penjelasan di poin substansi memiliki kemiripan dengan UU Cipta Kerja
- Ketiga, substansi dan isu kontroversial yang menjadi sorotan utama di dalam UU Cipta Kerja dan Metode omnibus law tidak serta merta menjadi perhatian utama pemerintah untuk merevitalisasi substansi-materiil di dalam Perppu Cipta Kerja hal ini tentu cukup mengkhianati rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai bentuk legal spirit suatu peraturan perundang-undangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H