Berdasarkan pendapat dari Syarif Nuh mengenai syarat dibentuk dan disahkannya suatu Perppu adalah didasari dari keadaan darurat yang memaksa sehingga dalam hal ini Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan mempunyai wewenang untuk menetapkan suatu Perppu demi keberlangsungan kehidupan bernegara yang jauh lebih baik. Oleh sebab itu, sesuai dengan maksud, tujuan, dan syarat pembentukannya. Seharusnya Perppu ini membawa dampak yang baik bagi semua lapisan di Indonesia.
Jika dilihat dari sudut pandang pemerintah, terdapat beberapa urgensi, mengenai seberapa penting Perppu ini dibuat. Menurut kacamata pemerintah, saat ini Indonesia tengah menghadapi permasalahan global, dan Perppu Cipta Kerja merupakan langkah cepat pencegahan dari dampak krisis global. Menurut Airlangga (2023) Perppu Cipta Kerja merupakan salah satu langkah mitigasi dampak krisis global. Ibaratnya, mencegah lebih baik daripada memadamkan api kebakaran.
Saat ini, Indonesia tengah dihadapkan dengan berbagai peristiwa krisis global, di mana terjadi inflasi di negara-negara lain. Peristiwa ini tentu menjadi tantangan bagi Indonesia, usai menghadapi pandemi covid-19 yang sudah cukup membuat perekonomian Indonesia gonjang-ganjing dan hampir saja mengalami inflasi. Jika dilihat dari lain sisi, ini adalah dampak dari adanya perang Rusia-Ukraina. Menyikapi peristiwa demi peristiwa, pemerintah berkomitmen untuk menyelamatkan perekonomian dan kondisi negara, sebelum Indonesia turut merasakan implikasinya. Maka dari itu, dalam hal ini, Pemerintah  beranggapan bahwa dengan disahkannya Perpu Cipta Kerja akan menyelamatkan nasib bangsa dan negara.
Namun jika dilihat dari kacamata para pekerja, Perppu Cipta Kerja dibentuk dan disahkan hanya memihak kepada kaum investor saja. Karena dalam penyusunannya pemerintah seolah-olah melupakan dan mengabaikan hak-hak para pekerja, yang seharusnya jauh lebih diperhatikan ketimbang kepentingan penguasa dalam hal ini Pemerintah cenderung mengabaikan kepentingan umum. Realita ini sangat inkonsisten dengan teori kebaikan bersama yang dikemukakan oleh Aristoteles, yang menyatakan bahwa setiap warga negara yang berasosiasi berfungsi untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut penyelenggaraan dan kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat (Surbakti, 2011).
Maka dari itu, melalui demonstrasi para buruh berusaha untuk memperjuangkan hak-hak mereka, sebelum Perppu ini resmi diundangkan oleh DPR pada 21 Maret 2023. Bahkan partai-partai serikat pekerja juga telah mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi jauh sebelum Perppu diterbitkan oleh Presiden. Para buruh sempat menggugat terkait RUU Cipta Kerja, dan gugatan itu telah dikabulkan oleh hakim Mahkamah Konstitusi. Melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja cacat hukum atau inkonstitusional bersyarat. Berdasarkan putusannya, MK meminta agar pemerintah bersama DPR merevisi RUU tersebut dengan tenggat waktu dua tahun sejak putusan tersebut diucapkan. Akan tetapi setelah MK mengeluarkan putusan, bukan RUU yang direvisi, melainkan hakim MK lah yang direvisi.
Secara sepihak juga pemerintah terus meneruskan langkahnya dan berupaya mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja tanpa mempertimbangkan nasib rakyat (kelas pekerja). Respon buruh terhadap UU Cipta Kerja tidak berhenti di situ saja. Pada awal Januari 2023, tepat dua bulan sebelum Perppu resmi disahkan para serikat pekerja kembali mengajukan gugatan kepada MK. Sedikitnya ada sepuluh hingga tiga belas partai atau asosiasi serikat pekerja yang melayangkan gugatan terhadap Perppu Cipta Kerja. Namun sayang sekali, MK belum mengabulkan gugatan para serikat pekerja hingga Perppu itu disahkan menjadi Undang-undang.
Menyikapi hal tersebut, banyak sekali ahli hukum, politik dan HAM yang turut kontra terhadap Perppu ini. Memang benar, jika ditinjau dari sisi HAM, Perppu ini tidak menerapkan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti adanya aturan yang melarang buruh wanita untuk cuti hamil, pengaturan perihal hari libur dalam sepekan hanya satu hari, jam kerja yang dinilai berlebihan dan sebagainya. Tentu tidak relevan bagi dunia pekerja yang semestinya. Apabila ditinjau dari sisi demokrasi Perppu ini juga tidak dapat dibenarkan, karena demokrasi menurut, Abraham Lincoln adalah suatu sistem pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Akan tetapi Perppu Cipta Kerja justru bertolak belakang dengan demokrasi, di mana suara rakyat (serikat pekerja) tidak lagi didengar oleh pemerintah.
Begitu pula jika ditinjau dari sisi politik, terkait relasi antara terwakil dan pihak yang diwakili. Mengenai hal ini, DPR sebagai pihak terwakil, dinilai gagal merepresentasikan rakyat di atas parlemen. Selain itu, DPR juga tidak bisa menjalankan fungsi legislasinya dengan baik dan benar sesuai dengan amanat undang-undang. Akibatnya, rakyat semakin krisis kepercayaan terhadap para eksekutif dan legislatif. Terutama para legislatif (DPR) yang dianggap mengkhianati fungsi dan perannya sebagai wakil rakyat.
Simpulan
Kehadiran Perppu Cipta kerja justru menciptakan ketidakpastian kebijakan yang mengakibatkan investor ragu dengan aturan yang berubah-ubah. Bahkan faktanya, hadirnya Perppu Cipta Kerja sejauh ini tetap membuat investasi yang terbengkalai masih tinggi. Kondisi darurat penerbitan Perppu Cipta kerja untuk mengantisipasi dampak dinamika Global melalui pembuatan standar kebijakan bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN 2023, di mana pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% cenderung tinggi dan ancaman krisis akibat perang Ukraina memberikan keuntungan terhadap komoditas batu bara dan sawit. Surplus perdagangan berturut-turut yang terjadi di tahun 2022 merupakan windfall dari adanya perang di Ukraina. Selain itu seperti yang sudah saya Sebutkan pada paragraf di atas bahwasanya RUU Cipta kerja dengan Perppu Cipta Kerja memiliki isi yang sama hanya saja kemasannya yang berbeda. Implikasi dari diberlakukannya Perppu Cipta Kerja ini justru semakin merenggut hak-hak buruh, hingga mereka sulit bernafas.
Dengan demikian dapat diperoleh poin simpulan atau center conclusion yang menjadi sorotan dan perhatian publik:
- Pertama, bahwa pembuatan Perppu Cipta Kerja cenderung memiliki sifat tergesa-gesa disahkan dan dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo karena melihat subjektivitas pemerintah yang cenderung memainkan peran indikator "kegentingan memaksa" di dalam poin konsiderans Perppu Cipta Kerja merujuk pada Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009.
- Â Kedua, alih-alih Pemerintah "manut" Putusan MK No. 91 Tahun 2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan perlu diperbaiki dalam kurun waktu dua tahun, tetapi Pemerintah langsung menyerempet "jalan alternatif", yakni membuat Perppu Cipta Kerja yang sesuai dengan penjelasan di poin substansi memiliki kemiripan dengan UU Cipta Kerja
- Ketiga, substansi dan isu kontroversial yang menjadi sorotan utama di dalam UU Cipta Kerja dan Metode omnibus law tidak serta merta menjadi perhatian utama pemerintah untuk merevitalisasi substansi-materiil di dalam Perppu Cipta Kerja hal ini tentu cukup mengkhianati rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai bentuk legal spirit suatu peraturan perundang-undangan.